Merayakan Hari Ayah Nasional Sebagai Anak Yatim

Merayakan Hari Ayah Nasional Sebagai Anak Yatim

Entah sudah beberapa tahun saya tidak pernah peduli dengan perayaan-perayaan atau hari-hari besar. Jangankan untuk peduli, kalau misalkan saya ditanya mengenai hari-hari besar jatuh pada tanggal berapa saja, saya pasti tidak tahu. Menurut saya, orang yang selalu mengingat hari-hari besar, atau perayaan-perayaan tertentu adalah orang yang kurang kerjaan saja. Tapi tidak untuk hari ini. Saya terpaksa untuk tahu dan sedikit merayakan apa yang orang-orang rayakan hari ini. Itu pun karena saya tadi buka linimasa Twitter, dan banyak sekali yang merayakannya.

Iya, hari ini adalah Hari Ayah Nasional. Saya sendiri nggak tahu persis, kapan perayaan atau peringatan ini dimulai. Mungkin ada kecemburuan dari bapak-bapak yang merasa iri dengan perayaan hari ibu yang begitu semarak dan menguras emosi. Maka dari itu, aliansi bapak-bapak menuntut adanya perayaan serupa, yang jadilah Hari Ayah Nasional, yang kebetulan jatuh pada hari ini, 12 November 2019. Kalau urusan mengapa jatuhnya pada 12 November, ya itu saya nggak tahu ceritanya. Bisa jadi 12 November adalah hari ulang tahun ketua aliansi bapak-bapak yang menuntut tadi. Bisa jadi lho ya.

Saya nggak tahu, apakah saya adalah orang yang termasuk pantas merayakan Hari Ayah Nasional ini. Ya gimana, lha wong saya sudah nggak punya ayah, alias ayah saya sudah meninggal, alias yatim. Tapi harusnya siapa saja boleh aja sih merayakan Hari Ayah Nasional ini. Yang penting, pernah punya ayah, mau itu masih hidup atau sudah meninggal. Ya termasuk saya ini yang sudah menjadi yatim selama 6 tahun. Belum lama sih, tapi ya sama saja kan?

Bagi anak yatim seperti saya, perayaan Hari Ayah Nasional adalah perayaan yang menguras emosi, mengundang air mata, dan memicu gejolak hati. Apalagi buat laki-laki seperti saya, dengan badan besar dan wajah sangar ini. Nggak lucu juga kalau saya menangis haru karena perayaan ini. Ya meskipun bebas aja sih, mau laki-laki atau perempuan kalau mau nangis sedih, atau nangis haru ya silakan saja. Bebas. Tapi ya kalau urusan nangis dalam konteks ini, ya itu juga sangat wajar juga.

Saya nggak tahu, bagaimana cara merayakan hari ini. Apakah harus meniru perayaan hari ibu ketika saya kecil dulu, yang diharuskan bapak/ibu guru untuk memberikan bunga kepada ibu masing-masing, lalu meminta maaf dan menangis tersedu-sedu? Sepertinya sih nggak gitu ya. Para ayah sepertinya juga nggak mau diperlakukan seperti itu. Tapi jujur saja, saya belum pernah menemukan model perayaan Hari Ayah Nasional yang setidaknya bisa dijadikan template lah. Selama ini, perayaan Hari Ayah Nasional juga sebatas ucapan-ucapan saja.

Kalau untuk orang yang ayahnya masih hidup sih, enak. Ketika merayakan Hari Ayah Nasional, tinggal mengucapkan pada ayahnya masing-masing. Tapi kalau untuk seperti saya, yang sudah yatim ini bagaimana merayakannya? Mau ziarah ke makam, ya itu sudah tiap minggu. Berharap ayah datang di dalam mimpi, eh nggak datang. Makanya, bagi anak yatim seperti saya ini, perayaan Hari Ayah Nasional ini cukup menguras emosi dan air mata. Bingung mau merayakannya gimana. Ujung-ujungnya ya cuma doa saja yang bisa saya berikan. Nggak ada yang lain.

Tapi, saya nggak mau perayaan ini berakhir begitu saja. Kalau hanya berdoa, itu saya juga sudah lakukan tiap hari, tiap kali selesai ibadah. Sebagaimana lumrahnya sebuah perayaan, saya juga ingin merayakan perayaan ini, ya meskipun objek perayaannya sudah nggak ada. Salah satu cara yang akan saya lakukan, adalah saya akan berpenampilan seperti ayah saya selama sehari penuh. Terdengar aneh, tapi itu cara merayakan paling mudah dan masuk akal bagi saya.

Mengapa saya pilih cara merayakannya seperti itu, ya karena saya mirip banget dengan ayah saya (ya iya lah, anaknya). Mulai dari wajah, tinggi dan berat badan, hingga ukuran pakaian juga sama. Ya saya pakai saja pakaiannya selama sehari penuh ini, toh ukurannya sama. Makanya, saya pilih cara ini. Ya setidaknya saya merayakannya untuk diri saya sendiri lah. Cara ini juga bisa ditiru oleh teman-teman yang bernasib sama dengan saya. Supaya, perayaan Hari Ayah Nasional nggak hanya sebatas haru, tapi juga bisa seru.

BACA JUGA Ayah adalah Pria yang Pemarah: Bagaimana Jika Sebenarnya Kita yang Kurang Memahami Bahasa Kasih Sayangnya? atau tulisan Iqbal AR lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version