Judul: Merasa Dekat dengan Tuhan Itu Godaan yang Berat
Penulis: M. Zaid Su’di
Penerbit: Buku Mojok
Tebal Halaman: 129 Halaman
Tahun Terbit : 2022
Belum apa-apa saya sudah gentar membaca judul buku ini: Merasa Dekat dengan Tuhan Itu Godaan yang Berat. Pengambilan judul ini cukup representatif terhadap keseluruhan isi buku.
Buku ini memuat 23 esai reflektif seputar keimanan. Banyak uraian menarik yang berangkat dari berbagai referensi. Dari mulai kisah para nabi, laku para sufi, nukilan para tokoh dan ulama sampai anekdot-anekdot yang menggelitik sudut pandang normatif kita. Ada pula uraian yang berangkat dari reaksi atas keresahan-keresahan terhadap fenomena-fenomena sosial.
Membaca Merasa Dekat dengan Tuhan Itu Godaan yang Berat membuat kita merenungkan kembali banyak hal. Nasihat para nabi, kritik sosial dan sentilan-sentilan humor yang tidak hanya jenaka namun juga kontemplatif.
Kritik terhadap kecenderungan sikap otoriter dalam laku beragama menjadi esai pembuka dalam buku ini. Merasa saleh tapi naif juga tidak semestinya dibenarkan. Percaya diri itu baik tapi rendah hati itu mulia. Kesalehan bukan saja soal taat namun juga tabiat.
Buku ini seperti berkata kepada kita untuk senantiasa belajar dan memperkaya sudut pandang. Agama adalah suatu hal yang final namun implementasinya perlu pembelajaran dari lahir hingga ke liang lahat.
Terdapat pula beberapa contoh peristiwa aktivitas keseharian yang menyimpan pembelajaran spiritual. Hal-hal sederhana acap kali membuahkan hikmah yang, sialnya, luput tidak kita petik.
Dalam Merasa Dekat dengan Tuhan Itu Godaan yang Berat, salah satunya, dicontohkan dalam tulisan mengenai pentingnya membuatkan kandang bagi hewan peliharaan dan kaitannya dengan toleransi hidup bertetangga. Seperti yang kita ketahui bersama, toleransi menjadi hal yang vital dalam laku sosial. Terlebih di negeri yang mayoritas muslim ini, hal-hal berbau keagamaan acap kali ternormalisasi berdasarkan perspektif satu golongan saja.
Di sini kita diingatkan lagi akan bahayanya melihat hanya dari satu sudut pandang saja. Pola pikir inilah yang melahirkan stereotip tanpa telaah yang matang. Generalisasi lahir dari kombinasi pemikiran konservatif dan impulsif. Terburu-buru menilai suatu hal tanpa tabayun. Memang, ketergesaan dapat membawa diri menjadi yang paling cepat. Namun perihal tepat, itu bukan balapan. Itu soal kematangan.
Hal-hal lain yang juga disoroti dalam buku ini adalah kritik terhadap fenomena sosial yang barangkali tidak kita sadari. Misalnya, kritik terhadap kualitas acara pengajian yang diselenggarakan oleh televisi yang cenderung entertainment daripada kajian mendalam. Model dakwah dengan “menjual” gaya teatrikal dan pertanyaan-pertanyaan normatif dari penonton yang dijawab secara dikotomis. Padahal kasus-kasus tertentu membutuhkan tinjauan mendalam dan bahkan menghasilkan jawaban yang relatif menyesuaikan posisi si penanya. Bukan semata-mata menggunakan satu dua dalil sebagai legitimasi jawaban cepat.
Kita diajak untuk tidak memandang suatu permasalahan serba hitam-putih dan skriptualistik. Melainkan melihat dari beragam perspektif serta menelusuri lebih banyak referensi. Tidak lagi menyitir ayat secara manasuka sesuai keperluan dan kehendak sekaligus membuka mata kita agar melihat ayat bukan semata redaksi namun juga interpretasi, kontemplasi serta implementasi.
Tentu kita tidak ingin memiliki pola pikir yang serupa kerja sakelar tunggal itu. Serba-biner. Toh, rasanya surga juga terlalu luas untuk dinikmati seorang diri. Bukankah itu yang Nabi Adam rasakan sebelum Siti Hawa hadir?
Ada pula beberapa kisah para nabi yang diuraikan dalam buku ini dengan menyesuaikan konteks peristiwa atau bahasan tertentu dan kita bisa banyak belajar dari suri tauladan mereka.
Penolakan atas rasa putus asa dan ketabahan Nabi Ayyub dalam menyikapi segala macam cobaan. Piwulang Nabi Sulaiman agar kita tidak berhati-hati dalam keduniawiaan. Serta alegori-alegori Nabi Khidir yang mengajarkan iman kepada qadha’ dan qadar dan kesabaran dalam menghadapi paradoks-paradoks kehidupan. Semua itu adalah pengajaran bagi kita semua. Suri teladan dari para nabi baiknya kita tekuri bukan sebatas kisah sejarah. Namun konkretnya, juga diamalkan dalam tata laku hidup sehari-hari.
Mengerti takdir adalah hal yang tak mudah. Beberapa tulisan dalam buku ini membuat kita berpikir mengenai takdir. Kapan kita harus berusaha menjemput takdir dan kapan harus menerima dan menyadari takdir. Pemaknaan nasib dan takdir kadang kala tertukar. Takdir sering kali dibilang irasional hanya karena berlainan dengan pengharapan. Manusia kadang lupa kalau kehendak Tuhan tidak terbatas pada hukum kausalitas. Anomali-anomali yang terjadi di jagad raya justru menandakan kemahakuasaan-Nya sebagai Sang Pencipta. Sebagaimana yang dapat kita pelajari dalam salah satu tulisan di buku ini yang membahas seputar pertemuan Nabi Khidir dan Nabi Musa serta tokoh-tokoh lainnya.
Buku ini juga mengulas sisi lain dari Rasulullah saw. yang kadang luput dari sudut pandang kita. Sebagai seorang nabi, pastilah membawa misi ketauhidan di muka bumi. Oleh karenanya, citra yang tampak umumnya sekadar pemberi fatwa perihal halal-haram saja. Padahal nabi pun juga manusia. Sisi humoris Rasulullah saw. bisa kita lihat dari bagaimana rileks beliau menyikapi tingkah laku Nuaiman bin Amr.
Selain itu, kita juga diingatkan untuk selalu menyayangi anak-anak. Sebab, anak-anak adalah kita yang nanti. Bagaimana kita mendidik anak, begitu pulalah bumi terawat.
Oleh karenanya, perlu hati-hati betul dalam bersikap kepada anak-anak. Ada dua tulisan dalam buku ini yang membahas tentang pengalaman pribadi Cak Zaid, si penulis buku ini dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan polos dari anaknya.
Menjelaskan suatu persoalan kepada anak-anak terlebih yang berkaitan dengan hal-hal yang konseptual perlu pengajaran runut sejak dalam definisi dan persepsi karena buntutnya bisa fatal karena menyangkut akhlak sang anak. Toh, agama juga bukan melulu perkara teologis. Keluhuran akhlak juga termasuk yang utama. Bukankah nabi tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak?
Terakhir, buku ini ditutup dengan tulisan yang mengantarkan kita untuk menelaah kembali bagaimana kita berdoa. Belajar dari etika Nabi Zakaria kala berdoa kepada Sang Khaliq. Dan sebagaimana pesan Rabi’ah al-Adawiyyah, seyogianya kita jangan menganggap doa sebagai sesuatu hal yang transaksional. Lebih-lebih kalau mengibaratkannya bak lampu Aladdin. Sekali gosok, kabul.
Bisa saja ada doa yang memang sengaja tidak dimakbulkan karena berpotensi mencelakakanmu. Doa-doa tolol yang terus-menerus kamu tangisi padahal ketidakmakbulan itulah yang menyelamatkanmu. Kita menyesali hal-hal yang telah hilang sampai melupakan apa yang masih kita miliki.
Kehilangan kadang memang tak adil. Tetapi, apa yang menyakitimu setelahnya sebetulnya bukanlah kepergiannya melainkan rasa memiliki yang masih kau genggam.
Mudah-mudahan, kita bisa lebih fleksibel dalam mengejawantahkan syukur. Sebab, rasa syukur adalah sebenar-benarnya kekayaan. Barang siapa kehilangannya, sengsaralah ia sepanjang hayat.
Toh, tanpa rasa syukur, manusia hanyalah monster.
Penulis: Lindu Ariansyah
Editor: Rizky Prasetya