Barangkali setelah film 5 CM pendakian gunung jadi populer. Apalagi romantisasinya terhadap gunung sebagai pemanis kisah begitu kuat ditambah horor pendakian gunung yang juga ramai. Sehingga, kebanyakan yang menonton film ini, termasuk saya, akan tergiur untuk mendaki gunung.
Kemudian muncul lagi acara televisi My Trip My Adventure yang mengangkat tema keindahan alam Indonesia. Tak lupa juga, Fiersa Besari yang ikut urun dengan mengangkat tema pendakian melalui novel, Instagram, dan YouTubenya. Orang-orang pun makin keranjingan untuk mendaki gunung.
Romantisasi dan glorifikasi terhadap kegiatan mendaki gunung pun bermunculan di media sosial dari para pendaki. Kebanyakan unggahan mereka itu berbentuk quotes, puisi, vlog, atau lainnya. Yang sering diangkat dalam unggahan tersebut yaitu keindahan alam Indonesia, kepedulian pada lingkungan, persahabatan, asmara, nasionalisme, dan solidaritas antarpendaki.
Meski sering terkesan berlebihan, menurut saya keberadaan konten tersebut ada baiknya juga. Tapi dari hal itu pula, nyinyiran muncul pada kelompok pendaki. Dengan romantisasi pada kegiatan mendaki, mereka kerap dilabeli anak indie lah, anak kopi-senja lah, dan sejenisnya oleh warganet. Pokoknya dianggap “garing” jika avatarnya pake foto di gunung. Segaring akun-akun dengan avatar hijab cringe dan oppa korea.
Tentu hal itu hanya stereotipe yang terbentuk sendiri dan kemudian disadari oleh banyak orang bahwa pendaki, ya berlebihan begitu. Ejekan kepada pendaki yang meromantisir gunung menjadi ramai. Jadi semacam tren baru lagi. Seolah-olah kehidupan bermedsos hanya perpindahan dari tren yang satu ke tren lainnya.
Tapi anehnya, saya nggak menemukan ejekan demikian pada konten-konten horor saat pendakian gunung. Alih-alih dinyinyir lambe warganet, konten horor seperti gangguan, penampakan, dan suara-suara dari makhluk halus atau pengalaman menakutkan lainnya saat mendaki justru laris.
Padahal kejadian di gunung dipengaruhi ketakutan dan kepercayaan pada hal gaib yang sebenarnya bisa diterjemahkan dengan sains, kerap berakhir dengan tragis. Contohnya, beberapa waktu lalu ada pendaki yang meninggal di Gunung Lawu karena terkena hipotermia. Tapi karena tingkah pendaki tersebut sedikit aneh, malah dianggap sedang dalam pengaruh makhluk gaib. Sehingga rombongan pendaki yang berpapasan dengan korban nggak mencoba menolongnya. Padahal tidak ada horor pendakian gunung dalam kisah ini.
Hal serupa pernah terjadi juga di Gunung Gede, Jawa barat. Karena hipotermia, korban terus mengigau meminta untuk diseduhkan kopi. Karena panik dan mengira sedang kesurupan, teman-temannya pun menurut menyeduhkan kopi untuknya alih-alih menghangatkan tubuhnya. Dan sangat disayangkan, nyawa korban nggak terselamatkan.
Meski konten horor pendakian gunung mendorong pada sesuatu yang berbahaya macam itu, tapi justru konten ini lah yang lebih laris jika dibandingkan dengan konten yang meromantisasi gunung. Terlepas dari siapa yang mengunggah, pasti jumlah views penonton video dengan tema horor pendakian gunung di YouTube akan lebih banyak. Thread horor di Twitter juga selalu mendulang banyak retweet dan like.
Padahal konten yang meromantisir pendakian gunung itu, hanya lebay aja. Nggak ada bahayanya dan pengaruh pada keselamatan saat mendaki. Malah terkadang ada muatan-muatan pengetahuan tentang kepedulian pada lingkungan, ilmu kependakian, solidaritas, bahkan nasionalisme. Meski hal tersebut memberi sedikit manfaat bagi pendaki dan kehidupan sehari-hari, eh, tapi malah dinyinirin.
Hasilnya, orang-orang yang biasa mengunggah konten romantisisme pendakian gunung, akan berpindah untuk ikut-ikutan mengunggah cerita horornya. Fiersa Besari atau Dzawin Nur, contohnya. Ya, meskipun nggak salah juga, sih.
Kan memang, cerita horor di mana pun latar tempatnya, selalu mampu mengundang perhatian banyak orang. Sehingga dapat menaikkan traffic mereka. Barangkali, konten horor pendakian gunung sangat menarik karena kondisi masyarakat kita yang percaya mitos dan takhayul.
Tentu saja kita nggak bisa mentah-mentah menyangkal bahwa hal gaib macam itu, khususnya di gunung, sama sekali nggak ada. Saya juga percaya keberadaannya. Tapi menurut saya, cukup saja dengan menghargainya tanpa membesar-besarkannya. Sudah menjadi kepercayaan masyarakat, eh, masih saja diglorifikasi dengan konten horor di banyak media sosial. Ya, jadinya semakin terawat dong kepercayaan itu. Awet tur ramashook~
Alangkah baiknya, jika ada peristiwa yang seolah-olah nggak masuk akal, mending kedepankan skeptis dan rasionalitas. Jika sudah mampu seperti itu, ada kemungkinan peristiwa seperti di atas nggak akan memakan korban. Karena kita akan mencari solusi dari sesuatu yang lebih masuk akal daripada mengaitkannya dengan hal gaib.
Kekalahan akal sehat oleh ketakutan pada hantu menjadi begitu membahayakan. Sebab ketakutan itu, selain mendorong pada pengambilan keputusan yang salah, juga mampu dijadikan kontrol oleh sesuatu yang menakut-nakuti.
Lebih jauh lagi, kontrol tersebut dapat dimanfaatkan sebagai alat berkuasa. Mau contoh? Itu hantu komunis, hantu yang setiap tahun langgeng dikabarkan akan bangkit dari kubur. Kita pun ketakutan dan yang menakut-nakuti itu punya kuasa terhadap kita. Hah, kita? Kalian aja, saya nggak takut sama hantu, apalagi hantu yang terus-menerus digoreng.
Sumber gambar: Pexels.com.
BACA JUGA Pengalaman Tersambar Petir saat Mendaki Gunung Slamet dan tulisan Fadlir Rahman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.