Menyesalkan Film Indonesia yang Jarang Punya Original Story

Konsekuensi Memberi Predikat “Paling” dalam Menilai Film atau Serial terminal mojok.co

Konsekuensi Memberi Predikat “Paling” dalam Menilai Film atau Serial terminal mojok.co

Dunia perfilman Indonesia beberapa tahun belakangan kembali membaik. Bahkan banyak film-film Indonesia mampu menembus pasar internasional. Sebutlah film bertema superhero besutan sutradara Joko Anwar, Gundala yang berhasil masuk Toronto Internasional Film Festival pada 2019 kemarin. Atau film Kucumbu Tubuh Indahku yang disutradarai oleh Garin Nugroho. Meskipun terjadi pro dan kontra, film garapan Garin Nugroho itu berhasil menyabet Best Original Screenplay dalam ajang Asia-Pasifik Film Festival (APFF) ke-59 kemarin.

Dari dua film di atas, Gundala merupakan salah satu dari sekian film Indonesia yang tak memiliki original story. Pasalnya, ceritanya sedikit banyak diadaptasi dari komik Bumi Langit. Sementara film besutan Garin, mempunyai original story. Kedua film ini menunjukkan tren atau gaya film yang berbeda.

Sebagai penikmat film, saya menyadari bahwa film-film Indonesia lebih banyak yang hadir tanpa memiliki original story.  Kendati begitu, nggak terlalu ada masalah jika itu memang sudah menjadi pilihan. Apalagi supaya filmnya cepat laris. Toh, ketika diamati film Indonesia yang ceritanya adaptif jauh lebih banyak penontonnya, walau terkadang jika untuk persaingan di tingkat internasional jadi keok.

Sebutlah film Dilan 1990-1991 dan Milea. Keduanya adalah film yang diangkat dari novel yang ditulis Pidi Baiq. Film Milea sendiri sejauh ini telah berhasil menarik perhatian sekitar 2.339.427. Selain itu, film lain yang diadaptasi dari buku juga banyak yang laris, di antaranya film NKCTHI dan Imperfect.

Walaupun saya bilang film Indonesia sudah mulai banyak penikmatnya, termasuk saya. Namun penikmat film Indonesia jarang disodori film yang punya original story. Bukannya tidak ada, tapi coba lihat seberapa persen film Indonesia yang punya original story.

Yang justru lebih banyak, para sineas sekarang mengadaptasi dari cerita yang sudah ada sebelumnya, terutama cerita yang sudah populer. Misalnya, film KKN Desa Penari yang bakalan tayang ini, malah diadaptasi dari sebuah thread yang viral. Coba bayangin, kamu iseng aja gitu rebahan, terus bikin thread, tahu-tahu viral dan dibikinkan film.

Produser film Indonesia sekarang juga lebih suka bikin film tanpa harus “meminta bantuan” pengarang cerita. Tentu saja, ini lebih simpel dan biayanya jauh lebih bisa diminimalisir. Alhasil, penikmat film secara tak langsung dipaksa menonton film dengan cerita yang sudah mereka baca atau sudah mereka ketahui karena telah jadi cerita umum.

Saya nggak tahu kapan realitas perfilman Indonesia sampai sebegitu mandeknya, sampai terlihat kesulitan untuk bikin film dengan original story. Meski kalau kata Ernest Prakasa sih, ada film Indonesia yang punya original story dan hasilnya bagus. Film Dua Garis Biru yang digarap Gina S. Noer salah satunya. Film ini bahkan bisa menyabet beberapa penghargaan di Piala Maya. Well, Dua Garis Biru sama sekali tidak mengadaptasi dari buku, sekuel, sinetron, atau apa pun. Ceritanya murni dikarang sendiri, dan kamu lihat sendiri hasilnya, kan?

Padahal apabila industri perfilman kita hendak bersaing di ranah internasional, memiliki original story bisa membantu. Jadi nggak hanya terkenal dan meraup sebanyak-banyaknya penonton domestik, tapi juga di tingkat internasional. Film yang bisa menjadi contoh adalah Parasite.

Film yang disutradarai oleh Bong Joon-Ho ini berhasil menyabet empat penghargaan sekaligus di Piala Oscar. Salah satunya menjadi film terbaik. Dan film ini memiliki cerita yang tak diadaptasi dari buku atau sekuel mana pun. Keaslian cerita itulah yang kemudian patut dirayakan.

Bukan berarti film adaptif tidak bagus. Hanya saja, sebagai penikmat film kita tentu menginginkan sebuah dobrakan dan sesuatu yang baru dari para sineas. Sementara film-film Indonesia dengan original story di era sekarang cukup jarang, bahkan bisa disebut langka. Padahal apabila bicara soal film, berarti membicarakan seluruh aspeknya. Mulai dari ide cerita, penggarapan naskah, penyutradaraan, make up dan kostum, sampe sinematografinya. Maka dari itu, segala aspek film biasanya sangat diperhatikan dan bisa dinilai seberapa bagus film tersebut.

Namun yang nyatanya terjadi, film-film Indonesia justru terjebak pada jumlah penonton. Tujuan pembuatan film sudah beralih dari orientasi kualitas menjadi kuantitas. Nggak sedikit yang hanya fokus tentang bagaimana agar film bisa ditonton banyak orang, syukur-syukur masuk deretan film paling banyak ditonton.

Saya termasuk orang yang nggak begitu menyukai film-film adaptif. Bahkan, mungkin di antara kamu juga berpendapat demikian. Saat kita menonton film yang diadaptasi dari novel misalnya, kebanyakan dari kita sering kecewa karena merasa kualitas penceritaan di filmnya justru lebih buruk dibanding bukunya. Ya, nggak, sih?

Sebagai seorang penikmat film, sampai saat ini saya masih berharap kalau film-film Indonesia kaya akan original story. Sehingga kita bisa menyaksikan film dengan sensasi yang lebih utuh. Nggak kayak sekadar menonton visualisasi dari sebuah buku. Apalagi, biasanya jadi semakin mengecewakan bila visualisasinya nggak senada dengan apa yang kita imajinasikan.

BACA JUGA Rekomendasi Film yang Cocok Untuk Kaum Rebahan atau tulisan Muhammad Arsyad lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version