Awal pertama kali saya melihat Mas Pandji Pragiwaksono di acara TV adalah saat dia memandu sebuah acara game show di RCTI, berjudul Hole in the Wall. Saat itu, saya memahaminya tak lebih dari pembawa acara TV biasa.
Beberapa tahun berselang, wajahnya yang familiar kembali saya saksikan di Kompas TV, sebagai juri Stand Up Comedy Indonesia. Acara yang saat itu disponsori oleh brand pasta gigi Ezactly itu adalah favorit saya dan teman-teman di awal-awal kuliah.
Sampai pada sebuah kesempatan saya menyaksikan Mas Pandji Pragiwaksono perform, sejak awal, dia berbicara dengan santai nan asyik. Siapa pun bisa langsung menyimpulkan bahwa levelnya berbeda dari kontestan komika “amatiran” lain. Materi yang nasionalis disampaikan dengan cerdas berisi dan kritis, diselingi dengan jokes-jokes dan punchline yang tak kalah bernas. Sejak saat itu, saya langsung memutuskan bahwa saya sudah punya idola baru, seorang komika Indonesia yang keren banget!.
Saya bahkan meyakini, Mas Pandji Pragiwaksono jauh lebih keren dari Raditya Dika, bukan hanya soal keren, tapi juga pada gaya stand up-nya. Tentu saja ini sangat subjektif tergantung selera masing-masing, kalian sangat dibolehkan untuk tidak setuju.
Puncak keyakinan saya untuk menasbihkan Mas Pandji sebagai komika paling keren di Indonesia bahkan dunia adalah saat menyaksikannya grand show tour 5 benua bertajuk “Juru Bicara”. Dengan gayanya yang khas, ia mengangkat persoalan bangsa ini. Mulai dari yang paling receh soal tawuran pelajar sampai ke persoalan HAM dan prostitusi, serta legalisasi ganja. Belum lagi materi lain seperti “Merdeka dalam Bercanda” dan “Mesake Bangsaku”, menjadi bukti sahih bahwa dia adalah seorang masterpiece. Bagi saya, dia tidak sedang ber-stand up, tapi dia sedang mengkritisi persoalan bangsa ini dengan cara yang elegan, kemudian dibungkus dengan komedi, sehingga layak untuk dinikmati.
Oleh karena itu, ketika mengetahui Mas Pandji menjadi trending karena menyebut NU dan Muhammadiyah sebagai Ormas elitis, saya yakin sekali, dia sedang nge-jokes, hanya saja jatuhnya malah ampas. Komika yang selama ini saya anggap layak dijadikan sebagai role model oleh komika lain, justru tampil wagu di acara podcast-nya sendiri. Kali ini dia terlampau berani cenderung sembrono.
Menyeret nama Pak Tamrin Tomagola, Pandji Pragiwaksono menyebut bahwa FPI lebih merakyat. Lantaran FPI menjadi tempat orang kecil mengadu saat mendapatkan masalah terutama soal kesehatan dan pendidikan. Sementara NU dan Muhammadiyah, cenderung elitis, (((mungkin))) ini adalah bahasa halus karena enggan menyebut Muhammadiyah dan NU sebagai ormas politis.
Saya tidak tahu sejauh mana pengetahuan Mas Pandji tentang NU dan Muhammadiyah. Namun, menyebut keduanya sebagai ormas elitis, jelas sudah cukup untuk membuat gaduh dan memancing sensitivitas pengikut salah satu atau keduanya. Seperti saya ini, meski ayah saya adalah orang Muhammadiyah, dalam praktiknya, saya lebih dekat dengan NU.
Namun, bukan berarti ke-Muhammadiyah-an saya dipertanyakan, terbukti saya pernah ikut sebagai penggembira dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar tahun 2015 lalu. Dalam muktamar itu, dengan bangga saya membeli dan membawa pulang baju muktamar serta beberapa pulpen yang telah dilabeli untuk dibagikan kepada keluarga dan teman-teman. Saya juga pernah ikut pengkaderan IMM, meski tidak sampai selesai acara. Dan yang terpenting, saya bahkan dilahirkan di RSIA Sitti Khadijah, Muhammadiyah Makassar.
Sedikit bercerita tentang kampung ayah saya di Wajo yang merupakan salah satu basis Muhammadiyah terbesar di Sulawesi Selatan. Di sana, sekolah-sekolah mulai dari tingkat terendah Taman bermain, TK, SD, SMP, hingga SMA, di bawah naungan Kementerian Agama, mayoritas menyertakan nama Muhammadiyah di akhir. Hal ini sebagai bukti identitas lembaga pendidikan tersebut.
Saat saya bertanya pada ayah mengapa Muhammadiyah? Jawabannya tak lain tak bukan adalah karena Ormas Muhammadiyah adalah perintis sekaligus donatur utama dalam pembangunan sekolah-sekolah tersebut, baik atas nama lembaga maupun individu yang merupakan kader Muhammadiyah. Bolehlah Mas Pandji kapan-kapan berkunjung ke kampung halaman ayah saya ini.
Kalau tidak mau repot-repot, Mas Pandji tinggal menonton kembali film terbaik tahun 2000-an berjudul Laskar Pelangi. Di awal pemutaran, kita langsung disuguhkan dengan masalah pendidikan Indonesia. Menceritakan tentang sebuah sekolah yang menunggu waktu untuk dibubarkan karena tidak cukup murid. SD Muhammadiyah, Gantong, Belitung Timur, yang reot dengan dinding kayu yang sudah lapuk, tinggal ditiup angin saja kemudian rata dengan tanah. SD Muhammadiyah, kok, gitu? Elitis dari mananya coba?
Bagi saya, sulit memaklumi pernyataan Mas Pandji apalagi sekadar mengutip, “…kata Pak Tamrin Tomagola.” Hal ini nggak bisa dijadikan alasan seorang Pandji. Apalagi, ia menyampaikannya di podcast-nya sendiri. Hal itu cukup menjadi bukti bahwa secara tidak langsung dia menyetujuinya, ditambah dengan argumen-argumen setelahnya yang cenderung mendukung pernyataannya tersebut.
Sangat disayangkan, Mas Pandji, untuk kali jokes Anda sangat ampas dan puncline-nya wagu.
BACA JUGA Dark Joke Pandji Pragiwaksono dan Kebingungan atas Humor Kita dan tulisan Muhammad Dzal Anshar lainnya.