Saya berani bertaruh, tahun depan, andai ganti menteri pendidikan, yang akan pertama dilakukan adalah ganti kurikulum
Tahun politik sudah mulai bergulir, seluruh masyarakat Indonesia bergemuruh menjagokan pasangan Capres dan Cawapres pilihannya. Berbagai polemik perpolitikan di Indonesia juga mulai terlihat baik dan busuknya, mulai dari sistem hingga proses pemilihan. Tapi yang membuat saya tergelitik bukanlah proses pemilihan Capres dan Cawapres, tetapi pengangkatan menteri di kabinet pemerintahan yang baru nantinya. Khususnya menteri pendidikan.
Kenapa mesti menteri pendidikan? Ya, karena menteri ini yang kemudian memiliki tanggung jawab besar dalam mengemban amanahnya untuk mensejahterakan anak-anak bangsa. Katanya kan pendidikan merupakan tonggak kemajuan suatu bangsa.
Sebenarnya saya masih kurang yakin atau bahkan tidak yakin sama sekali dengan pendidikan di Indonesia. Mutu pendidikan kita tidak pernah ada peningkatan yang signifikan. Buktinya masih ada saja anak-anak yang tinggal di daerah 3T yang tidak dapat merasakan bangku sekolah. Masih banyak pihak-pihak dengan ekonomi menengah kebawah yang megeluhkan biaya pendidikan yang tinggi.
Permasalahan itu saja tidak pernah selesai dari dulu. Tapi anehnya kurikulum baru terus bergulir dan berganti sejalan dengan pergantian menteri pendidikan yang baru. Sebenarnya yang mau diganti apanya sih?
Daftar Isi
Perubahan kurikulum jadi rutinitas
Sejarah pergantian kurikulum oleh menteri pendidikan yang telah menjabat, saya yakin, bisa jadi satu artikel sendiri. Lihatlah betapa kompleksnya dan masifnya perubahan yang ada, dan lihat lagi efeknya apa.
Benar, hampir nggak ada.
Tapi ya itu terus dilakukan. Kesannya, ganti kurikulum itu tanda kalau menterinya kerja. Benar, kurikulum memang perlu diperbarui seiring zaman. Tapi, apakah tidak bisa membuat kurikulum yang benar-benar bisa bertahan lama?
Stigma “ganti menteri, ganti kurikulum” melekat di masyarakat
Rasanya tidak berlebihan kalau ada stigma ganti menteri pendidikan, ganti kurikulum. Dan tentu saja itu tindakan yang gegabah. Misalkan menteri menjabat paling lama lima tahun, artinya, kurikulum tersebut bertahan cuman lima tahun. Setelah itu, guru dan murid harus beradaptasi pada hal baru, lagi. Urus administrasi, urus urusan baru yang sama tak pentingnya lagi. Apa-apaan ini?
Setiap kurikulum yang berganti belum ada terobosan. Lantas yang ingin diubah dari segi apa? Yang ada hanya memberikan beban tersendiri kepada masyarakat yang bernaung dalam proses pendidikan.
Jika melihat dari sisi yuridis, hal ini dapat terjadi karena menteri pendidikan bekerja dalam menjalankan amanah dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang termuat dalam peraturan presiden pada setiap periode. Setiap Presiden dan Menteri saja biasanya memiliki pemikiran, visi, misi, dan filosofi yang berbeda dalam menilai pendidikan. Payahnya, sering kali apa yang dibawa tidak mendasar dan belum tentu efektif jika diterapkan. Jadi, para tenaga pendidik dan siswa dijadikan kelinci percobaan kah setiap pergantian kurikulum?
Padahal masih ada PR yang lebih penting untuk diselesaikan ketimbang kurikulum. Misalnya, gaji guru. Memperbaiki gaji guru itu bisa dianggap kalau menteri pendidikan beneran kerja lho. Nggak tertarik?
Tenaga pendidik kaget, apalagi siswanya
Adanya perubahan kurikulum oleh menteri pendidikan ini sebenarnya memiliki maksud yang baik. Tetapi, maksud yang baik tentunya akan dihadapkan oleh tantangan yang sama beratnya pula. Contohnya ya seperti yang saya sebutkan tadi. Tiap lima tahun, murid dan guru dipaksa beradaptasi lagi.
Guru terus-terusan dituntut untuk beradaptasi secara cepat. Padahal mereka telah menghabiskan waktu dan energi untuk memahami kurikulum lama dan mengembangkan metode pengajaran yang sesuai. Ketika kurikulum berubah, mereka harus mulai dari awal lagi.
Kalau menteri pendidikan yang selanjutnya hanya punya tawaran kurikulum baru, ya artinya nggak usah berharap apa-apa. Pendidikan tetap tak berdampak apa-apa. Guru tak akan meningkat kualitasnya. Murid cuman jadi sapi perah ekonomi sekolah. Dan negara, ya akan tetap jalan di tempat, nyenyak dalam mimpi jadi negara yang maju.
Penulis: Agung Anugraha Pambudhi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Hasil Pemilihan Rektor UNS Dibatalkan, Nadiem Makarim Dinilai Gagal Paham Mengeluarkan Produk Hukum