Cuitan PS HW UMY membuat saya sedih. Bukan karena saya menjadi bagian di klub tersebut, melainkan karena saya adalah penikmat “tim desa”. Artinya, saya tahu jatuh bangun sebuah klub desa membangun kesebelasan untuk sekadar tanding di tarkam. Apalagi PS HW UMY yang bermarkas di Bantul dan akan bermain di Liga 3, “digagalkan” Arema FC.
Tetap semangat kawan kawan @PS_HW_UMY pic.twitter.com/8mUpZ11U0X
— Info Suporter Indonesia (@InfosuporterID) January 3, 2023
Cuitan tersebut bermakna banyak hal. Pertama, tentang dibatalkan Liga 3 Zona DIY karena buntut dari Tragedi Kanjuruhan yang memang membuat sektor sepak bola terguncang. Kedua, jelas kerugian PS HW UMY yang sudah melakukan persiapan.
Poin kedua bisa jadi banyak hal, terutama ekonomi klub dan juga kekecewaan para pemain muda yang benar-benar menunggu mentas di Liga 3. Hal ini nggak bisa disepelekan karena atlet rentan mendapatkan gangguan psikis yang bisa berdampak pada performanya kelak.
Ketiga, mempertanyakan maksud dari Arema FC yang dengan mudahnya memilih Stadion Sultan Agung sebagai markas. Padahal ya Liga 3 Zona DIY bakal banyak terdampak karena tim tersebut. Arema FC bisa dibilang gagal untuk mengurus internalnya dalam hal tanggung jawab moral pada Tragedi Kanjuruhan.
Masih ada borok di dalam Arema FC
Begini, Gilang Widya Permana “Juragan 99” yang menanggalkan jabatan Presiden Arema FC, dampaknya terlalu kecil. Masih ada “ikan kakap” di dalam tubuh tim Arema FC yang seharusnya bertanggung jawab, kini malah masih santai-santai saja duduk di singgasana.
Terlebih, pentolan Aremania yang masih saja pasif dalam mengusut tuntas tragedi ini. Aremania di akar rumput sudah berdarah-darah dan berjuang lho, kok ya tega, masih saja ada beberapa (((oknum))) pentolan bak mati suri tiada tindakan. Jelas ini membuat banyak pihak geram.
“Ra nalar blas!” begitu yang dicuitkan oleh @segogareng di Twitter. Persiba Bantul sudah melakukan persiapan selama enam bulan lebih dan mengeluarkan uang operasional yang jelas nggak sedikit untuk ukuran tim desa.
Mimpi yang terkubur
Ketika Liga 3 dibatalkan dan berdampak untuk Persiba, lalu Arema FC mau main begitu saja di stadion miliknya. Astaga. Rasanya nggetih ketika melihat tim desa di Liga 3 harus mengubur mimpi, sedangkan tim yang seharusnya bertanggung jawab malah menari-nari di atas stadion milik tim yang mengubur mimpi.
Kalau menganggap buat apa menjalankan sebuah liga yang klubnya hanya diisi oleh pemain-pemain desa, saya akan menawarkan sudut pandang lain.
Pertama, yang sudah saya sebut di awal, masalah dana. Bagi klub elite kalian itu, mungkin cari sponsor pasti mudah. Namun, bagi beberapa tim desa, dapat sponsor itu seperti oasis di tengah panas terik sebuah gurun. Datangnya sponsor ini bak pedang bermata dua. Memuaskan kedua belah pihak, itu susah sekali bagi tim desa.
Sulitnya menggaet sponsor
Apa untungnya sponsor naruh uang di sebuah klub desa selain gambling dan untung-untungan? Makanya, kebanyakan sponsor hanya meneken kontrak jangka pendek. Bahkan bisa saja dalam hitungan bulan. Arema FC apa peduli sama hal-hal kayak gini?
Lihat saja postingan Instagram Persiba Bantul. Ketika mereka deal dengan Muncul Grub dan Le Minerale, warga Bantul riuh betul menyambut hal itu. Saya yakin, klub Liga 1 juga ada yang mengalami keresahan macam ini. Makanya, uang dari sponsor itu seperti kartu mati, sedangkan gagalnya kompetisi adalah Joker yang tiba-tiba masuk di meja perjudian.
Nah, balik lagi. Ketika klub desa sudah dapat sponsor, maka uang yang masuk akan diperhitungkan masak-masak. Jika kompetisi tiba-tiba dibatalkan, kerugian nggak hanya menyasar satu pihak, namun bisa saja dua-duanya.
Perih, kan? Tim desa nggak semudah itu dapat sponsor borongan macam Indofood atau Astra seperti tim-tim papan atas.
Baca halaman selanjutnya….