Memiliki wajah mulus adalah dambaan setiap orang. Nggak peduli betapa gencar kampanye self love, tetap saja kalau bisa memilih, kita pasti memilih untuk punya kulit wajah kinclong. Nggak harus selicin kulit wajah artis Korea, deh. Wajah nggak kayak kilang minyak bocor, bebas komedo dan jerawat saja sudah bahagia banget. Sayangnya, nggak semua orang beruntung mendapatkan wajah seperti itu. Ada yang meski sudah habis duit banyak, perawatan sana-sini, tetap saja nggak bisa terhindar dari kutukan jerawat dan kawan-kawannya.
Seperti video TikTok yang pernah tanpa sengaja saya lihat. Seorang perempuan dengan mata sembab bercerita tentang jerawatnya yang tak kunjung membaik. Padahal segala cara sudah ia coba, tapi asa itu tak kunjung tiba. Keadaan menjadi semakin buruk kala orang-orang di sekitar mulai gencar menuduhnya. Dituduh sering ganti kosmetik lah, jorok lah, nggak rajin bersihin muka lah, dan bacotan lainnya termasuk selentingan kala jerawat survivor ini kedapatan menggunakan riasan.
Selentingan yang mana? Itu, lho, yang sinis menyebut kalau jerawat itu diobatin, bukan didempul! Ya Lord, boleh nggak sih request orang-orang yang suka bacot gini, BAB-nya dipersulit saja? Sebagai salah satu orang yang wajahnya rentan kena jerawat, meski hanya satu dua biji trus kemudian lewat, saya kan jadi ikut gemas. Selentingan jerawat itu diobatin bukan didempul seolah menuduh kami—para acne survivor—tak pernah ada usaha mengobati si jerawat, alias membiarkannya tumbuh subur, lalu menutupinya dengan makeup. Lha, kok, lucu? Ingatlah, Kawan, yang berjerawat itu wajah kami, bukan otak. Jadi, kami masih cukup waras untuk tahu bahwa jerawat itu harus dibuat sirna, bukan dipelihara.
Soal kenapa sudah tahu berjerawat tapi tetap maksa pakai riasan, kami punya alasan tersendiri. Dan kalau kalian penasaran, nih, saya kasih tahu.
Pertama, jelas semata-mata karena tuntutan profesi. Para acne survivor yang ndilalah kerjanya dituntut penampilan prima, tentu nggak bisa mengelakkan diri dari penggunaan riasan. Kawan saya yang bekerja di sektor perbankan, misalnya. Sebagai teller, nggak mungkin dia berangkat hanya bermodal pelembap wajah khusus kulit berjerawat saja. Tentu blio harus mempersenjati dirinya dengan alat makeup yang lain.
Lalu, apa dengan menutupi jerawat—atau mendempul seperti kata kalian—itu berarti kami nggak mengobati jerawat? Jelas nggak. Yakinlah, setiap insan yang berjerawat pasti menempuh segala macam daya dan upaya untuk mengempas si jerawat. Mulai dari lotion totol, obat minum, krim pagi malam, dsb. Tapi, ketika nggak kunjung sembuh sementara kebijakan perusahaan mengisyaratkan harus berhias diri, kami bisa apa? Mengajukan cuti dengan alasan mau fokus dengan penyembuhan jerawat dulu? Perusahaan mbahmu!
“Lha itu, si anu, nggak kerja tapi sering kelihatan pakai makeup. Padahal, kan, jerawatan!”
Julid amat, Kisanak. Coba baca ini dulu.
Kedua, alasan lain kami memakai riasan meski wajah sedang berjerawat adalah karena kami juga selayaknya perempuan lain yang ingin tampil cantik. Ada saat-saat tertentu kami lelah karena jerawat tak kunjung membaik. Padahal kami juga ingin melihat wajah kami sedikit lebih mulus. Dan memakai riasan itulah jawabannya. Toh, inovasi di dunia kosmetik telah membuat segalanya jadi mungkin. Dengan kekuatan foundation, concealer, sampai acne plast, dosa-dosa jerawat akan tersamarkan. Boleh, kan? Nggak setiap hari ini. Kalian nggak tahu, sih, rasanya ketika jerawat lagi-lagi jadi topik obrolan.
“Lagi jerawatan, ya?”
“Jerawatnya kok nggak sembuh-sembuh, sih?”
Dan bla bla bla. Sedih tahu! Kayak nggak ada tema obrolan lain saja. Jerawat lagi, jerawat lagi. Mbok ngobrolin yang lain saja. Soal PPKM yang perpanjangan lagi, misalnya. Eh, bosen, ya? Sama.