“Bulik cita-citanya apa, sih?”
Suatu hari, Iben, keponakan saya yang masih kelas 5 SD bertanya. Ketika saya menjawab bahwa cita-cita buliknya ini adalah menjadi ibu rumah tangga, dia mengernyit heran.
“Terus pekerjaan Bulik ngapain?”
Saya pikir dia sudah tahu bahwa sehari-hari tantenya ini kerjaannya ya nyapu, ngepel, masak, nyuci baju, ngosek WC, momong anak, dan buanyak lagi. Semua pekerjaan itu tentu tidak bisa dilakukan dengan rebahan. Mengerjakannya penuh effort, mencurahkan segenap tenaga, hati, dan perasaan. Dan dia masih bertanya “pekerjaan Bulik ngapain?” Welah, minta ditabok bocah iki.
Saya paham betul bahwa yang dimaksud Iben dengan “pekerjaan” adalah sesuatu yang menghasilkan uang. Seperti menjadi dokter, guru, polisi, tentara, pilot, dan sederet profesi mentereng lain yang sering anak-anak tulis dalam kolom cita-cita. Pemikiran Iben persis seperti pemikiran banyak orang bahwa ibu rumah tangga adalah pengangguran. Dikira nyebokin anak jam dua belas malem bisa sambil merem apa?
Obrolan tentang beratnya menjadi ibu rumah tangga itu memang tidak pernah mati di kalangan ibu-ibu. Kalau bapak-bapak mungkin sudah bosan ya mendengarnya. Apalagi di bulan April, bulannya R.A. Kartini. Bulannya emansipasi wanita. Obrolan tentang wanita, terutama tentang emansipasi, pasti naik daun.
Akan tetapi sejujurnya, sebagai seorang ibu rumah tangga, saya kadang merasa terjepit pada situasi ini. Di satu sisi saya senang dengan kemajuan para wanita. Namun di sisi lain, saya agak sulit menerima pandangan banyak orang yang seolah berkata, “Hari gini jadi ibu rumah tangga doang?”
Daftar Isi
Menghadapi respons banyak orang
Selama tujuh tahun berkarier menjadi ibu rumah tangga, rasa-rasanya saya cukup berpengalaman menghadapi respons orang-orang saat saya bilang “ibu rumah tangga” ketika mereka bertanya apa pekerjaan saya. Salut untuk yang menghargai. Tapi ada juga yang prihatin, dan banyak juga yang heran.
Misalnya saat saya belanja bahan kue di toko langganan. Mbak-mbak pemilik toko bertanya, “Njenengan kerja di mana, Mbak?” Ketika saya jawab, “Di rumah momong anak.” Si pemilik toko tidak percaya, atau bahkan lebih tidak terima, sih. Blio menerka-nerka bahwa saya pasti seorang guru, pegawai di sebuah instansi, atau paling tidak berjualan online. Bahkan di hari lain, saat suami saya yang berbelanja ke tokonya, si pemilik toko ini mengonfirmasi lagi apa pekerjaan saya. Yasalam. Ngebet banget saya kerja yang lainnya, ya.
Kali lain, ketika saya sedang naik bus keluar kota, penumpang di sebelah, seorang ibu paruh baya, menanyakan apa pekerjaan saya. Ketika saya jawab “ibu rumah tangga”, dengan nada prihatin blio berusaha menghibur. “Sabar ya, Mbak. Nanti kalau sudah tepat waktunya, pasti dapat pekerjaan. Sayang ijazahnya kalau ndak dipakai.”
Aduh, nano-nano sekali rasanya waktu itu. Hemmm. Saya ingin menjelaskan, tapi kok kayaknya tidak perlu juga. Mungkin memang pandangan banyak orang bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah suatu keterpaksaan. Bukan panggilan jiwa. Bukan pilihan.
Pernah suatu waktu saya merasa sangat terusik dengan cara beriklan teman-teman MLM dan pelaku bisnis online shop dalam menjaring reseller. Mereka mengajak segenap emak-emak berdaster untuk membantu perekonomian keluarga, bisa memiliki kebebasan mengelola uang, dan tidak menjadi beban suami.
Stereotipe soal ibu rumah tangga yang beredar di masyarakat
Saya tentu sangat mendukung teman-teman yang bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Tetapi menganggap kami-kami yang tidak berpenghasilan ini adalah beban suami atau keluarga, menurut saya sangat konyol. Bayangkan, beban suami. Seakan sungguh malang nasib para suami yang beristrikan ibu rumah tangga tanpa side job.
Mau jajan, beli skincare, beli baju, kirim uang ke orang tua, semua minta suami. Bukankah itu beban? Mungkin demikian cara berpikir mereka. Pun ibu rumah tangga kebanyakan dianggap tidak mampu mengoptimalkan potensi, malas, tidak punya daya saing, tidak mau keluar dari zona nyaman, ketika hanya di rumah saja. Pekerjaan rumah tangga kan pekerjaan yang nggak pake mikir, mungkin begitu pikiran banyak orang.
Jujur, dengan stereotipe semacam itu, saya pernah merasa sangat insecure. Apalagi melihat pencapaian duniawi teman-teman saya di luar sana. Ada yang sudah menjadi PNS, dokter, insinyur, bahkan banyak yang bisnisnya sangat berkembang dan memiliki banyak karyawan. Dari segi ekonomi, mereka juga tampak lebih makmur dan berjaya. Mereka tampak dapat menaklukkan dunia, sementara saya menaklukkan kecoak terbang saja gentar.
Begitulah. Jamaknya pemandangan perempuan yang bekerja di sektor publik membuat perempuan-perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga saja menjadi tampak tidak lazim. Seakan hidup manusia tanpa menghasilkan uang adalah sebuah kesia-siaan dan nirmanfaat.
Padahal mencurahkan segenap pikiran, perasaan, dan tenaga untuk mengurus keluarga dan rumah juga termasuk memanfaatkan potensi. Hasil produktivitas kami tentu tidak bisa diukur dengan uang. Bahkan tak ada semacam promosi apa pun untuk menaikan jenjang karier.
Pun, tentang istri yang dianggap menjadi beban suami, saya memaknai lembaga pernikahan yang mengikat suami dan istri adalah sesuatu yang menimbulkan konsekuensi hak dan kewajiban. Maka memang sudah kewajiban suami untuk menafkahi istri. Dan sudah hak kita untuk mendapatkannya. Seharusnya itu sama sekali bukan beban. Saya yakin semua orang paham akan hal ini. Tapi, sekali lagi, karena lazimnya para perempuan bekerja mencari uang, maka bergantung sepenuhnya secara finansial pada suami menjadikan para ibu rumah tangga tampak lemah.
Menjadi ibu rumah tangga juga bentuk emansipasi wanita
Panjang perjuangan R.A. Kartini dan segenap pahlawan perempuan hebat lainnya untuk emansipasi agar wanita yang tadinya diam jadi didengar, yang tadinya terbatas jadi leluasa, yang tadinya terpojok bahkan sekarang bisa jadi di depan dan memimpin. Maka tak heran banyak perempuan yang berlomba-lomba untuk keluar. Adalah sebuah anomali jika seorang perempuan mau di rumah saja seakan membatasi diri.
Saat ini para perempuan tampil di ruang-ruang publik, menjadi pemimpin, berprestasi, mengoptimalkan potensi mereka, dan mengaktualisasikan diri mereka dengan seabrek citra positif lainnya. Bahkan banyak di sekitar kita ibu-ibu tangguh yang membatu perekonomian keluarga, atau bahkan beralih peran menjadi sumber utama nafkah keluarga. Tentu tantangan perempuan dengan peran ganda seperti itu sangat besar. Padahal menjalankan fitrah perempuan seperti menstruasi, mengandung, hamil, dan menyusui saja sudah berat.
Tapi semua itu memang pilihan. Emansipasi seharusnya membuat perempuan lebih bebas memilih untuk berperan di mana dan seperti apa. Termasuk memilih peran membangun peradaban dari dalam rumah. Kenyamanan dan validasi bagi perempuan semacam ini tidak berada di harumnya nama atau tingginya jenjang karier, tetapi ada di balik pintu-pintu rumah mereka.
Pilihan adalah pilihan. Apa pun itu harus dihargai dan diberi ruang. Seperti semangat emansipasi wanita, jangan sampai sesama wanita malah mendiskriminasi.
Kebebasan untuk memilih dan tetap dihargai, itulah emansipasi.
Penulis: Setyaning Nur Asih
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Ibu Rumah Tangga Rentan Terserang Stres. Pahami, Jangan Hakimi!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.