Setelah minggu sebelumnya disambangi Mustofa, kawan nyantri Kang Salim dan Misbah yang sekarang jadi redaktur surat kabar terkenal, siang itu keduanya ketamon kawan nyantrinya yang lain lagi, Danang.
Kebetulan siang itu Danang baru saja kelar membuat konten video review makanan khas daerah situ. Ia sengaja mampir ke rumah Kang Salim dan Misbah setelah mengetahui alamatnya dari Mustofa.
“Hla yo bejo kamu, Nang. Tadi pagi kami baru saja panen rambutan di kebun belakang,” sambut Misbah saat Danang tiba di kediaman Kang Salim dan Misbah. “Mantep tenan ini diganyang sambil ngobrol-ngobrol santai di cangkruk.”
“Kebetulan juga saya tadi ke warung lontong Tuyuhan yang legend itu loh, Mis. Ini saya bungkus buat disantap bareng-bareng,” timpal Danang sembari menyodorkan bungkusan plastik hitam di tangan kanannya.
“Sikaaattt, Bos. Dibikin satu nampan gitu makin gayeng kayaknya,” usul Kang Salim. “Itung-itung nostalgia jaman di pesantren dulu, hehehe.”
Selanjutnya, ketiganya menyantap lontong Tuyuhan dalam satu nampan dengan lhab-lheb, sampai tandas tak bersisa sama sekali. Bahkan sisa kuahnya pun turut disombor Misbah dengan ganas, sebagaimana kebiasaannya dulu kalau lagi makan ramai-ramai di pesantren.
Usai makan, sambil mencomot satu per satu rambutan yang tersaji, Danang kemudian membuka obrolan dengan pertanyaan, “Sampean udah pada tahu belum kalau Mustofa sekarang jadi redaktur di koran terkenal?”
Pertanyaan tersebut terbesit di benaknya setelah beberapa saat sebelumnya Kang Salim menyinggung soal Mustofa yang baru saja main ke rumah minggu lalu.
“Sementara saya. Duh, bikin konten video udah tahunan, tapi kok ya nggak terkenal-terkenal channel saya ini,” keluh Danang tiba-tiba.
“Tapi konten-kontenmu itu bagus loh, Nang,” aku Misbah. “Jangan salah, saya ini sering kok ngikutin konten-konten video yang kamu up. Lebih-lebih yang review tempat-tempat horor. Saya sering nyimak kalau itu.”
“Bagus itu lak menurut kamu tho, Mis,” respons Danang lesu. “Kamu bilang gitu hanya karena saya ini temen sampean saja, bukan karena konten saya bener-bener bagus. Iya tho, Mis?”
Mendengar ucapan Danang yang demikian, Misbah agak tersentak.
“Loh, loh, loh. Serius bukan gitu, Nang. Hla wong emang kontenmu itu bagus-bagus, kok.”
“Kalau konten saya bagus, kok kayak-kayak susah banget buat ngangkat,” keluh Danang lagi. “Padahal saya udah banyak evaluasi dan eksplorasi banyak hal. Saya malah jadi kepikiran, apa saya harus improve bikin konten prank sampah atau jual keperawanan gitu ya biar cepet viral.”
“Nang, saya mau nanya, nih,” Kang Salim menengahi sembari tangannya menimang-nimang sebuah rambutan. “Umpama pengin punya pohon rambutan yang rimbun dan berbuah ranum gitu, kira-kira apa yang perlu dilakukan?”
Sudah bisa menebak arah pertanyaan Kang Salim, Danang pun menjawabnya dengan sedikit kikuk. “Anu, anu, Kang, ya harus menanam benihnya di tanah yang cocok. Habis itu disiram terus, kalau perlu dipupuki, sampai akhirnya nanti bakal tumbuh pohon rambutannya.”
“Nah, gitu itu apa tumbuhnya langsung instan, Nang?” sentil Kang Salim.
“Hehehe, ya nggak tho, Kang. Harus sabar dan konsisten merawat benihnya dulu. Sedikit-sedikit, nanti tiba masanya benih tersebut tumbuh jadi pohon rambutan berbuah lebat seperti punya sampean ini.”
Melihat gerak tubuh Danang yang agak kikuk karena secara tak langsung telah menjawab keresahannya sendiri, Misbah cengar-cengir dari pojok cangkruk, sambil tak henti-hentinya mengganyang rambutan yang manisnya masya Allah itu.
“Kalau begitu, tetep sabar dan konsisten saja lah, Nang,” ucap Kang Salim dengan menyunggingkan senyum. “Kalau kata Ibnu Ajibah, rata-rata keberhasilan seseorang itu justru dimulai dari situasi khumul, situasi titik nol. Yaitu situasi ketika seseorang harus suquuth al-manzilah inda al-nas: nggak dianggap atau nggak dilihat sama sekali oleh orang lain.”
“Oh, saya inget maqalah itu, Kang,” sahut Misbah tiba-tiba. “Intinya, kalau pengin berhasil, maka tindakan pertama yang harus dilakukan itu kerja keras, mengerjakannya dengan pelan-pelan, tekun dan penuh komitmen, serta harus dibarengi dengan puasa dulu dari popularitas dan sorot publik. Pokoknya, nggak usah buru-buru pengin terkenal dulu lah, Nang.”
“Emang kenapa kalau awal-awal udah ngebet pengin terkenal?” protes Danang. “Bukankah itu justru bisa jadi pelecut semangat, tho, Mis?”
“Lah, mana? Nyatanya kamu malah putus asa gitu, og. Malah terbesit buat lewat jalur alternatif, bikin konten-konten sampah. Hayooo,” balas Misbah yang langsung membuat Danang menundukkan wajah.
“Nang, ilustrasi sederhananya ya dari kasus nanem pohon rambutan tadi itu, loh. Dan kamu udah tahu jawabannya,” Kang Salim kembali berujar setelah menelan kunyahan rambutan di mulutnya.
“Yang dikatakan Misbah tadi itu juga masuk banget, Nang. Yang kalau dibahasakan pakai dawuhnya Ibnu Athaillah, jadinya itu gini, ‘Kuburlah dirimu di dalam bumi khumul; bumi ketidaktenaran. Sembunyikan dirimu atau proses kerjamu dari perhatian orang banyak. Sebab, pohon besar yang menghasilkan buah yang banyak bermula dari benih kecil yang ditanam dan tersembunyi di dalam tanah.’ Pelan-pelan, nggak usah terburu-buru, apalagi sampai ngambil langkah sembrono. Sekarang terus tekun berkarya saja. Lebih awet orang yang terkenal lantaran prestasi dan kualitas karyanya kok ketimbang yang hanya moncer lewat sensasi.”
“Iya sih, Kang. Udah banyak kasus artis, penyanyi, atau YouTuber yang tanpa proses kreatif yang panjang tapi tahu-tahu jadi viral,” kini Danang mulai tercerahkan. “Dan kebanyakan emang mendompleng sensasi yang mereka buat-buat. Tapi umur kariernya juga nggak panjang sih, Kang. Ujung-ujungnya juga ngilang dari peredaran.”
“Iyap, betul banget. Banyak juga contoh kalangan artis, musisi, atau yang lain-lain bisa eksis sampai hari ini,” imbuh Misbah. “Itu karena mereka memulainya bener-bener dari titik nol, dari keadaan khumul yang dibarengi dengan ketekunan, komitmen, konsistensi berlatih, dan kerja keras. Bener begitu, Kang?”
“Mantep sekali kawan saya ini,” ujar Kang Salim sambil menggeleng-gelengkan kepala kepada Misbah. “Hasilnya bakal kelihatan tho, Mis, Nang. Penyanyi yang terkenal setelah melewati proses latihan yang lama, pasti bakal awet. Karena dia memperhatikan betul kualitas karyanya. Begitu sebaliknya.”
“Ibnu Athaillah yang kemudian disarahkan oleh Ibnu Ajibah juga menyebut, khumul sama maknanya dengan proses uzlah, mengisolasi diri dari keramaian,” lanjut Kang Salim. “Dari uzlah inilah seseorang akan mengambil langkah besar dan prestisius dalam hidupnya. Seperti Kanjeng Nabi yang setelah uzlah kemudian jadi sayyidu al-anbiya, pemimpin para Nabi, penyempurna ajaran-ajaran Tuhan. Namun dengan catatan, harus uzlah bi al-fikrah, uzlah dengan tafakur dan penuh perenungan. Karena tanpa itu, kata Ibnu Ajibah, uzlahmu hanya menyepi biasa, tanpa menghasilkan efek apa-apa bagimu sendiri, apalagi buat sekitarmu.”
“Apa maksud sampean, proses khumul saya; pelan-pelan dalam meniti karier, nggak keburu pengin viral dan terkenal itu, bakal sia-sia belaka jika tanpa saya barengi dengan perenungan, saya berkarya ini sebenernya buat apa dan untuk siapa?” respons Danang. “Proses khumul saya nggak akan ada hasilnya jika saya nggak mengikutinya dengan ketekunan, komitmen, dan kerja keras. Begitu, Kang?”
Kang Salim mengangguk membenarkan.
“Kamu pasti akan menikmati gemerlap popularitas kok, Nang, kalau udah melewati situasi khumul atau uzlah yang panjang itu,” sambung Kang Salim. “Tapi itu hanya bonus, jangan jadikan sebagai tujuan utama kamu berkarya. Mmmm, uzlah bi al-fikrah itu juga bisa dimaknai uzlah pikiran. Mengasingkan atau mengosongkan pikiran dari harapan-harapan duniawi yang kesemuanya itu sesaat belaka, yang sejatinya hanyalah fana.”
“Lantas, apa dong yang harus saya jadikan tujuan utama dalam berkarya?” Tanya Danang. “Dan, oh ya, bisa sampean perjelas lagi soal tafsir kedua dari uzlah bi al-fikrah tadi?”
“Dua pertanyaanmu itu, coba tanyakan saja pada Mustofa,” jawab Kang Salim. “Minggu lalu kami udah ngobrol banyak soal itu. Agak panjang kalau harus diulangi lagi sekarang, hahahaha.”
“Wooo, asem tenan sampean ini, Kang,” ujar Danang tidak terima. “Saya udah kadung sepaneng, je.”
Sementara Kang Salim dan Danang masih beradu mulut, di pojok cangkrung, diam-diam Misbah menandaskan sendiri rambutan di hadapannya yang tinggal tiga biji.
Disadur dari Menjadi Manusia Rohani karya Ulil Abshar Abdalla.
BACA JUGA Bekerja Kok untuk Duit, Aneh dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.