Bapak pernah bercerita bahwa, beliau bekerja mulai dari usia 18 tahun. Saat itu Bapak terhitung baru saja lulus dari STM (Sekolah Teknik Menengah) jurusan bangunan. Bapak bercerita, di domisilinya kala itu masuk STM lebih digemari karena lebih banyak praktik dibanding teori, sehingga banyak pula kemampuan berkaitan dengan hardskill yang didapat, khususnya ilmu mengenai teknik bangunan.
Bapak mengisahkan, kali pertama bekerja hanyalah sebagai tukang kebun di suatu instansi, ya mengecek tanaman sekaligus menyiramnya di jam yang sudah ditentukan. Semacam kerja di lapangan dan terbilang serabutan. Waktu itu Bapak mengaku tidak keberatan apalagi malu, terpenting adalah bisa bekerja dan membantu orang tua.
Sambil bekerja, setelah dirasa uang tabungan cukup, Bapak mencoba melanjutkan jenjang pendidikan ke perguruan tinggi. Sayang, karena fokus terbagi dua antara bekerja dan kuliah, akhirnya banyak nilai yang terbengkalai dan Bapak harus merelakan proses kuliahnya tersebut.
Dengan segala perjuangan Bapak dalam bekerja sampai ke posisi terakhir yang diemban, akhirnya beliau pensiun setelah selama kurang lebih 40 tahun berkarir. Sebagaimana seseorang yang meninggalkan kebiasaannya setelah selama berpuluh tahun dilakukan, sedih tidak dapat dipungkiri dan tak terbantahkan.
Seperti halnya para atlet yang memutuskan untuk mengakhiri karirnya karena terpatok usia. Tentu masih terekam dalam ingatan, bagaimana David Beckham tak dapat menahan tangisnya saat mengumumkan dirinya pensiun di PSG. Baru-baru ini, pebulutangkis asal Malaysia, Lee Chong Wei juga mengumumkan bahwa dia pensiun dari dunia badminton dan tangis kesedihan pun tak dapat ditahan. Semuanya terasa emosional.
Oleh karena kurang berminat dalam berwirausaha, akhirnya Bapak memutuskan untuk menikmati masa pensiun di rumah, bermain dengan cucu dan menjadi “tukang ojek pribadi” bagi Ibu yang masih aktif mengajar.
Saya menghargai pilihan Bapak sebagaimana beliau menghargai tiap keputusan yang saya tentukan dalam hidup. Saya dan Bapak memang dikenal seringkali beda pendapat, maka tak jarang saya sering menegaskan bahwa, dengan segala resikonya saya sudah mempertimbangan mengenai beberapa langkah yang diambil.
Selain dari itu, saya teramat menyayangi dan menghormati beliau. Dalam kesederhanaannya, beliau selalu membuat saya bahagia tanpa kenal lelah dan itu semua membekas dalam ingatan hingga sekarang.
Sebagaimana anak-anak lain yang pada masanya suka menonton Tom & Jerry, saya pun ikut menyukainya dan Bapak mengetahui hal itu. Maka seringkali saya dibawakan CD Tom & Jerry walau bajakan. Hehe. Toh, bagi saya bukan soal bajakannya, lebih kepada niat membuat saya senang.
Bapak juga senang sekali memberi kejutan. Seringkali saya dibelikan mainan olehnya sepulang kerja. Itu kenapa sewaktu kecil, bagi saya menanti Bapak pulang bekerja adalah hal yang paling menyenangkan dibanding menanti jawaban darinya yang tak kunjung ada kepastian.
Saat ini, aktivitas Bapak selain antar-jemput Ibu untuk kebutuhan mengajar, layaknya beberapa pensiunan lain, adalah membaca. Sedari dulu beliau memang hobi membaca, dari mulai membaca koran sampai dengan beberapa majalah. Beliau juga bercerita semasa sekolah memiliki hobi kirim tulisan ke beberapa surat kabar, saat itu honor yang didapat sekitar 750 rupiah –yang pada masanya tergolong cukup untuk mentraktir gebetan di kedai soto terdekat.
Badminton menjadi salah satu olahraga favorit Bapak dan sampai dengan saat ini masih terus ditekuni dengan teman sebayanya. Tentu tidak akan selincah dulu, namun efektif dalam menghilangkan rasa jenuh dan suntuk pada masa pensiun. Paling penting, beliau tetap bahagia serta menjaga mood positifnya melalui badminton.
Atas apa yang dilakukan selama hidup sampai dengan saat ini, dari mulai bekerja, menafkahi serta membuat keluarga bahagia—tak terkecuali saya sebagai anak—Bapak layak menikmati hari tua sebagaimana mestinya dengan cara apa pun yang beliau mau.
Bapak juga menunjukan arti bekerja keras semasa hidupnya, dengan contoh langsung yang saya lihat, ternyata memang betul bahwa besar usaha yang dilakukan akan berbanding lurus dengan hasil –tiada yang sia-sia.
Sekarang, sudah semestinya saya yang bekerja keras, bahkan lebih keras dari apa yang beliau lakukan dahulu dengan segala tantangan dan kesulitan yang ada. Atas apa yang sudah dilakukan oleh Bapak, beliau layak mendapat apresiasi, sudah menjadi kewajiban sebagai anak harus menghormati. Sebab, bagaimana kondisi kita saat tua nanti masih menjadi misteri yang tidak ada seorang pun mengetahui.