Ketika mata saya sinarnya macam lampu pijar karena baru bangun tidur, saya sudah dibingungkan dengan suatu trending di Twitter. Sebuah nama asing muncul lewat tagar trending #MaafkanAkuTiaraAndini. Saya tidak memiliki referensi untuk mengetahui siapa orang ini. Apakah saya memang kurang informasi? Karena iseng saya coba bertanya lewat cuitan dengan tidak lupa mengikutsertakan si tagar trending.
“Ngerasa goblok karena gak kenal Tiara Andini dan Tiara Andini sedang trending di Twitter lewat #MaafkanAkuTiaraAndini, Tiara Andini ini siapa?”
Ternyata saya tidak seorang diri. Beberapa kawan membalas cuitan saya dan bilang saya juga nggak kenal siapa dia. Ternyata saya tidak bodoh seorang diri karena beberapa teman-teman saya merasakan hal yang sama–tidak kenal Tiara Andini yang sedang trending, sebegitu acuhkah hidup saya dan teman-teman saya terhadap perkembangan kondisi sosial masyarakat Indonesia?
Tidak lama cuitan saya dibalas beberapa akun yang berusaha menjelaskan kepada saya siapa Tiara Andini. Salah satunya bahkan repot-repot membuat utas sejarah kehidupan Tiara Andini, bagaimana ia berjuang dari seorang yang bukan siapa-siapa sampai menjadi penyanyi warbiasah.
Ternyata dia adalah penyanyi yang sedang viral, dan saya serta kawan-kawan tidak tahu itu. Bahkan setelah membaca utas itu saya tetap tidak kenal. Saya tidak memiliki sedikit pun referensi yang membantu saya mengenalinya. Apakah saya dan kawan-kawan terlalu ignorant atau memang ada cara kerja industri kreatif 4.0 yang saya tidak mengerti?
Pertanyaan itu mengulik rasa penasaran saya. Gairah peneliti yang telah redup kembali berapi. Saya harus tahu cara kerja industri hiburan 4.0, maaf para fans Tiara Andini saya jauh lebih penasaran dengan cara kerja industri hiburan 4.0 ketimbang Tiara Andini itu siapa? Biarlah dosa saya yang tidak mau kenal calon selebritis (saya sebut calon selebritis lho ini! Saya mendoakan yang baik, bukan?) saya bawa ke liang lahat bila perlu akhirat, tentu saja jika itu dihitung dosa.
Dengan rasa penasaran dan gairah ingin tahu saya terus mencuit dengan mengikutsertakan tagar #MaafkanAkuTiaraAndini. Saya menyentil-nyentil mengatakan betapa luar biasa cara kerja industri hiburan 4.0. Saya dikagetkan dengan begitu banyak balasan yang datang dari mereka yang mengaku fans. Mereka mengatakan bahwa trendingnya Tiara Andini itu bukan kerja manajemen, tidak ada modal yang dikeluarkan ini murni bentuk perhatian fans kepada Tiara Andini. “Ini murni kerja fans” tegas mereka.
Balasan yang luar biasa ngegas dari fans yang membela seseorang yang tidak saya kenal membuat saya bertanya-tanya, apakah benar sehebat itu Tiara Andini? Saya jadi penasaran siapa-siapa sih fans Tiara yang terus menerus membalas cuitan saya. Benarkah basis fans ini sebegitu hebatnya? Kok rasanya mencurigakan?
Akhirnya saya buka akun-akun itu satu per satu. Setelah sampai lebih sepuluh akun yang buka– rasanya cukup mewakili sebagai sampel dari populasi akun-akun yang membuat Tiara Andini trending di Twitter–saya menyimpulkan para fans adalah akun bot. Bajilak saya dikerjain akun bot dan saya meladeninya satu per satu.
Semua akun itu merupakan akun baru yang pertama kali cuitannya adalah tentang Tiara Andini. Seketika saya terkagum-kagum dengan cara industri kreatif di era digital ini bekerja. Tidak perlu modal besar untuk memasarkan seorang baru yang bukan siapa-siapa dalam dunia industri hiburan. Cukup memainkan akun-akun bot serta beberapa influencer yang mungkin dibayar jauh lebih murah dari buzzer politik untuk membuat seseorang yang bukan siapa-siapa menjadi dikenal.
Sekarang akun-akun bot itu terus membagikan twit tagar #MaafkanAkuTiaraAndini dan single Tiara Andini berjudul Gemintang di YouTube yang dalam 17 jam berhasil tembus satu juta kali ditonton. Setelah trending #MaafkanAkuTiaraAndini, penambahannya semakin gila, dari 1 juta kali ditonton menjadi 5,4 juta kali ditonton.
Pemasaran yang efektif. Ada ribuan orang di luar sana yang hanya mendapat view kurang dari 100 di konten YouTube mereka. Dan entah dari mana, Tiara Andini mendapat 5,4 juta view dalam waktu singkat like it was nothing? Skema ini, entah mengapa, mengingatkan saya pada pengalaman saya bermain di pasar modal.
Setelah mempelajari dan ikut bermain di pasar modal meski kecil-kecilan, saya bingung dengan bagaimana perilaku pasar. Pasar itu suka ikut-ikutan, para pelaku pasar tidak ingin rugi ikut dengan hal yang tidak banyak diminati. Oleh karena itu ketika IHSG ambruk setelah mewabahnya corona di Indonesia, beberapa perusahan besar termasuk BRI, Sari Roti, dan beberapa lainnya membeli kembali (buy back) saham mereka untuk menjaga harga stabil dan tidak terjun bebas.
Dengan harga yang tidak terlalu terjun bebas, orang-orang berani mempertahankan saham mereka, yang telah menjual saham mereka bahkan berani membeli kembali. Belum lagi ditambah yang telah menjual saham mereka yang ambruk beralih ke saham yang berani melakukan buy back. Harga menjadi lebih stabil. Semua itu tidak terlepas dari perilaku manusia yang suka ikut terhadap sesuatu yang banyak diminati orang lain, suka mengikuti jalan yang ramai ditempuh orang. Intinya suka ikut-ikutan.
Cara yang kurang lebih sama juga pernah dilakukan seorang penulis yang membeli banyak bukunya dan membagikannya secara gratis. Setelah itu bukunya akhirnya nongol di rak best seller dan banyak dicetak ulang. Kemudian serahkan pada perilaku pasar maka buku itu akan bertahan lama di rak best seller. Begitulah industri pada sistem kapitalis bekerja.
Saya pikir-pikir lagi, mungkin ini cara industri bekerja. Sebarkan dulu trendingnya, buat orang bertanya-tanya, lalu klik. Taraa, adsense masuk. Cara yang amat efektif, walau menyebalkan. But hey, bukankah semua sah selama tidak merugikan? Tujuan tercapai kan yang penting.
Tagar trending ini setidaknya memberikan efek yang besar pada single Tiara Andini tanpa perlu kita tahu siapa dia. Mungkin setelah ini dia akan terkenal, tapi setidaknya apa yang dia pasarkan sekarang laku dengan cara promosi lewat tagar trending.
Pantes para buzzer itu mainnya bikin trending terus, efektif juga ya. Efektif bikin mangkel maksudnya.
BACA JUGA Riset Saya untuk Membuktikan Apakah Penjual Nasi Padang Memang ‘Bias Gender’ dan tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.