Reuni, sebuah kata yang menjelma dari peristiwa berliku-liku yang memuat beragam macam rasa dan warna. Hadir menawarkan angin segar guna mengenang masa tempo dulu. Kenangan serupa bahan bakar perbincangan yang tak tergerus oleh waktu, menjadi daya tarik bagi sesiapa pemilik kenang itu. Meskipun tak bisa dielak, reuni dalam kamus saya bukanlah ajang yang ditunggu-tunggu.
Seperti yang sudah kalian tahu, reuni dimaksudkan untuk mempererat kembali tali silaturahmi antar teman yang sudah pada jauh rimbanya. Hal ini bukan sekedar ingin sapa “hai” maupun menjalin komunikasi instens kembali semasa sekolah dulu sambil haha hihi. Namun, ada yang jauh lebih penting dari itu. Yang mana dapat mengubah status kehidupan seseorang.
Jangan kira jika ini soal CLBK dengan mantan. Atau bibit dari perselingkuhan. Atau ajang cari jodoh bagi yang belum memiliki pasangan. Ya, saya tahu hal itu sering terjadi di balik acara reunian. Bahkan kadang imbasnya membuat diri kelimpungan dan menyesal di ujung jalan. Tetapi kali ini mari kita mengesampingkan persepsi demikian. Meskipun esensinya mungkin kurang sedap bagi netizen yang mengharap adegan konflik persilingkuhan.
Tentunya bagi mereka yang kini menjadi golongan orang sukses, entah karena pendidikan tinggi, pemilik usaha dengan omzet fantastis, profesi kerja yang gajinya melangit, atau memiliki pamor sebab sering wara-wiri membagikan sebagian rezeki. Mereka itu merupakan bagian terdepan orang-orang yang bersyukur diadakannya reuni. Bagaimana tidak, berbagi kebahagian itu indah, bukan? Sekalipun kuping orang lain menjadi panas dibuatnya.
Sebenarnya tidak salah jika memang itu nyata. Yang menyikapinya saja terlalu dengki, lupa bahwa sukses diraih bukan dari sehari dua hari melainkan berhari-hari yang tak terhitung diperas keringatnya juga darah. Sederhananya, ikuti saja jejak suksesnya agar menjadi balas dendam yang berkelas. Syukur-syukur bisa melebihi seraya katakan, “Wahai anak buahku, tolong buatkan teh manis.”
Adapun hal itu bukan semata jadi dongeng penghibur, jika semesta merestui tinggal tunggu tanggal mainnya. Tetapi jangan kebanyakan melamun emas langsung turun dari langit ya, gaes!
Sementara itu, berbanding terbalik dengan golongan dijelaskan di atas. Rupanya ajang reuni bagi mereka yang tak memiliki harta juga tahta, ajang ini paling dianti dan sebisa mungkin dihindari. Menjadi kucing di antara harimau memang tidak menyenangkan. Baju tak selevel, aksesoris tak senada, obrolan tak selaras. Jika sudah begitu inginnya mengurung di dalam toilet sampai acara berakhir sembari mengutuk diri yang memutuskan menghadiri.
Akar masalahnya tiada lain karena rendah diri, merasa paling bukan siapa-siapa dibandingkan yang lain, hingga membuat urung untuk bergabung mencipta obrolan ngalor-ngidul. Padahal belum tentu golongan yang dianggap lebih itu memang enggan menanggapi, melainkan bingung harus memulai dari mana. Cielah.
Namun, ada juga memang bertipe penikmat sunyi. Gagap di kala harus berhadapan orang banyak, sehingga menarik diri daripada nanti sampai bertingkah di luar kendali, seperti dilakukan saya berkali-kali. Maka jadinya menjaga jarak dengan si reuni. Meskipun menyadari pertemuan dengan teman-teman lama mampu menyemprotkan energi. Apalagi bila ada kisah lebih menyedihkan daripada diri ini, ternyata syukur jarang sekali disambangi.
Sebagaimana waktu sudah membuat jarak. Waktu juga mampu mengubah keadaan. Sudah barang tentu saat pertemuan yang dinamakan reuni itu terjadi, nama-nama yang lebih famous pada masanya akan dicari. Sang juara pararel yang dulu digadang bakal orang sukses, bisa jadi kini statusnya berada di bawah dia yang ranking kedua dari belakang.
Lalu, dia perempuan yang diberi lisensi paling cantik se-sekolah karena label mojangnya itu, kini tak ubahnya emak-emak berdaster bau asin. Sementara yang biasa-biasa saja: dicap madesu (masa depan suram) lolos casting dan masyur menjadi pelawak. Hal ini menunjukkan bahwa kelangsungan hidup tidak bisa diukur oleh matematika manusia. Dan itu pun berputar seiring tebal tipisinya kadar usaha seseorang.
Baru-baru ini Mamah saya disibukkan dengan kepanitiaan acara reuni, temu kangan teman-teman SMP. Tempatnya di gedung, setiap orang yang mau mengikuti acara itu diwajibkan membayar sebesar seratus ribu, gaes.
Lalu, apa kabar guru honer yang gajinya dua ratus lima puluh lima ribu? Apa kabar mang gojek yang penghasilannya dalam sehari hanya cukup buat makan seharian itu? Apa kabar pegawai serabutan yang ketemu uang lima ribu sehari sudah sangat syukur? Dan apa kabar nasib para pengangguran yang ingin ketemu mantan?
Usut punya usut ternyata para panitia mencari donatur, memang tidak jauh-jauh dari alumni itu sendiri alias mantan teman-teman sekolah yang kini sudah sukses. Tetapi untuk mengontaknya, mengutarakan maksud sekaligus membujuk agar uang donasi digelontarkan bukan perkara mudah. Bisa saja dijawab, “Siapa ya? Gak kenal tuh” atau “Saya tidak pernah pegang uang,” maksudnya tidak sedang berada dalam genggam tapi disimpan dalam dompet, lieur.
Namun, atas kegigihan para panitia yang mana sebagian besar emak-emak tersebut, uang donasi berhasil terkumpul. Entah hasutan apa yang Mamah saya berikan, saya tak ambil soal. Intinya hal itu membuat mereka yang ingin ikut reuni tetapi tak ada modal bisa mengikuti acara reuni tanpa menguras isi dompetnya yang sebenarnya juga sudah lama kempes.
Tak berhenti sampai di situ, dari pertemuan teman-teman lama dalam rangkain kegiatan reuni, ada saja yang pada akhirnya diajak berwirausaha, diberi tawari pekerjaan, maupun diberi bantuan secara cuma-cuma. Sungguh bagian paling manis dari silaturahmi. Jadi, masih berpikir kalau reuni itu hanya sebatas buang duit dan berpotensi membuat pasangan selingkuh?
Semoga yang membaca tulisan saya untuk mengulas sisi baik dari reuni ini didekatkan rezekinya dan dijauhkan dari para pelakor. Amiin!