Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Menghitung Utang Budi (yang Bisa Diingat) Anak pada Orang Tua

Muhammad Adib Mawardi oleh Muhammad Adib Mawardi
20 April 2020
A A
orang tua

Menghitung Utang Budi (yang Bisa Diingat) Anak pada Orang Tua

Share on FacebookShare on Twitter

Sebagai seorang anak, seringkali kita menyangka diri kita sebagai pihak yang harus selalu mendapatkan fasilitas dari orang tua. Mulai dari uang jajan, makanan, jatah pulsa, dan lain sebagainya. Karena kita menganggap itu semua sebagai fasilitas yang diberikan oleh mereka, maka kita pun menjadi mangkel manakala tidak memperolehnya. Pada situasi ini sebenarnya kita telah melupakan kewajiban kita terhadap mereka.

Akan tetapi, suatu saat nanti kita pasti akan dihadapkan pada kondisi yang akan merubah cara pandang kita yang keliru itu, yang terlalu menuntut pada orang tua hingga mengabaikan kemandirian kita dan keharusan kita untuk membalas pengorbanan mereka. Namun, ketika kita telah sadar akan pengorbanan mereka, apakah kiranya kita sanggup membalas kebaikan budi mereka yang terlalu berlimpah itu?

Saya memiliki pengalaman pribadi tentang munculnya kesadaran saya akan pengorbanan orang tua dan utang budi yang harus saya bayar kepada mereka lantaran mendapatkan wejangan dari seorang takmir senior di masjid kampus saya, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Dulu, sewaktu saya masih menjadi mahasiswa di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, saya pernah bertamu pada salah seorang takmir masjid kampus yang bernama Pak Zulkarnaen. Proses bertamu dan obrolan saya dengan Pak Zulkarnaen ini sebenarnya tidak terencana. Awalnya saya sebenarnya ingin mencari teman saya yang kebetulan tinggal di asrama dan ruangan yang sama dengan Pak Zul—panggilan akrabnya. Namun karena saya tidak mendapatinya, akhirnya Pak Zul mengajak saya ngobrol sambil menunggu datangnya teman saya. Dan saya pun memenuhi permintaannya.

Pak Zul berbincang pada saya sambil merapikan buku-buku yang terserak di atas dipan kasurnya. Saya mengamati koleksi buku-bukunya yang begitu berlimpah berbaris rapi pada rak rotan dan rak dinding buatannya. Mencerminkan ia adalah seorang terdidik yang gemar membaca. Belum puas saya membaca-baca koleksi bukunya, Pak Zul menyodori saya sebuah buku catatan. Saya menerimanya dengan penuh penasaran, kira-kira apa yang tertulis di dalamnya?

“Ini tak kasih tahu. Ini adalah catatan pengeluaran saya selama kuliah. Saya catat semuanya di sini. Mulai dari semester satu, sampai semester lima.” Jelasnya tegas sambil menunjukkan beberapa pengeluarannya.

Saya mengamati beberapa transaksi yang ia beli dalam catatan itu. Ada tulisan pembelian makanan dan minuman beserta harganya. Pembelian sabun, pasta gigi, shampoo beserta harganya. Pembelian buku-buku, pembayaran biaya daftar ulang kuliah per semester, hingga biaya uang gedung kuliah. Sungguh catatan yang begitu rinci, dalam batin saya.

“Ini adalah seluruh pengeluaran saya selama kuliah yang dibiayai oleh orang tua saya. Saya harus membalas semua pengeluaran ini pada mereka.” Terangnya sambil tersenyum tipis membenarkan posisi kaca matanya.

Baca Juga:

30 Kosakata Parenting yang Njelimet, tapi Sebaiknya Dipahami Orang Tua Zaman Sekarang

Dear Bu Risma Mensos, Anak yang Menitipkan Orang Tua ke Panti Jompo Nggak Melulu Durhaka

Saya melihat total biaya yang ia tulis pada catatan itu sekitar 20 jutaan rupiah. Angka yang begitu fantastis untuk ukuran saya yang waktu itu hanya mendapat jatah uang saku Rp300.000 sebulan. Itu pun masih ditambah dengan pesan dari orang tua saya, “Karo tirakat ya Le. Pasa Senin Kamis, karo pasa sunnah liyane (Sambil tirakat ya Nak. Sambil puasa Senin Kamis dan puasa sunnah lainnya).”

Saat mencermati catatan pengeluaran Pak Zul, saya merenung. Pikiran saya menerawang hingga masuk dalam relung hati saya. Batin saya mengatakan, begitu ingin rasanya membandingkan kondisi Pak Zul dengan keadaan saya yang belum pernah sekali pun berinisiatif untuk menghitung apalagi mengganti biaya kuliah persis yang dilakukannya. Di tengah tenggelamnya saya dalam renungan ini, Pak Zul tetap asyik bercerita panjang lebar tentang kegiatan kuliahnya dan kabar keluarganya.

Setelah saya merasa cukup berbincang dengan Pak Zulkarnaen, akhirnya saya mohon pamit untuk kembali ke asrama. Sepanjang jalan, saya terus merenungi perkataan Pak Zul dan perilakunya yang berinisiatif untuk membuat catatan pengeluaran kuliah dan bahkan berencana untuk mengembalikan seluruh biaya kuliah itu pada orang tuanya.

Pitutur Pak Zul telah membuka kesadaran saya, bahwa meski orang tua tidak pernah menuntut apa pun pada kita untuk membalas pengorbanan mereka, tetapi kita sebagai anaknya tidak boleh melupakan budi baik dan pengorbanan mereka begitu saja. Saya benar-benar berterima kasih padanya yang telah mengantarkan saya pada tingkat pemahaman ini.

Begitu tiba di kamar, saya berangan-angan, iseng-iseng untuk mencoba meniru apa yang Pak Zul lakukan yakni membuat catatan pengeluaran kuliah dan taksiran biaya yang telah bapak dan ibuk keluarkan untuk memunuhi kebutuhan saya sejak kecil hingga dewasa. Saya menghitung-hitung secara abstrak untuk mengetahui berapa banyak utang budi saya pada mereka dalam bentuk finansial mulai saya dilahirkan hingga saya kuliah. Meskipun kalkulasinya tidak terlalu mendetail, setidaknya saya akan tahu kisaran rupiah yang harus saya bayar pada mereka.

Motivasi saya untuk menulis jumlah pengeluaran orang tua ini kian membuncah manakala mengingat posisi saya saat itu adalah seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi dengan konsentrasi manajemen keuangan. Idealisme saya sebagai seorang mahasiswa Jurusan Manajemen Keuangan seakan tercabik, setelah mendapatkan petuah dari Pak Zul. Saya merasa kalah telak dan malu bukan kepalang olehnya yang sanggup menyusun biaya kuliahnya meski latarbelakangnya ‘hanyalah’ mahasiswa Fakultas Tarbiyah.

Untuk memulai perhitungan pengeluaran orang tua saya, secara global saya membagi total biaya yang telah dikorbankan oleh orang tua dalam kategori kebutuhan ketika saya balita, sampai masuk ke jenjang-jenjang pendidikan tingkat TK, MI, MTs, SMA, hingga saat saya kuliah di semester kelima. Atau kalau mungkin, sekalian seluruh perkiraan biaya sampai saya menjadi seorang sarjana.

Selama balita, saya memperkirakan total pengeluaran terbesar saya adalah untuk kebutuhan makan, konsumsi susu, hajatan-hajatan, dan keperluan insidentil (jatah jajan, perawatan ketika saya sakit, dan sebagainya). Jika perkiraan biaya untuk sekali makan saja Rp5.000, dengan asumsi saya makan tiga kali sehari maka dalam sehari orang tua saya harus mengeluarkan uang sebanyak Rp15.000, untuk kebutuhan makan saya. Jika selama 365 hari berarti jumlahnya Rp5.475.000. Dikonversi dalam hitungan lima tahun menjadi sekitar Rp27.375.000.

Kebutuhan susu untuk tambahan nutrisi saya selama lima tahun sekitar Rp4.000.000. Untuk keperluan hajatan yang berkaitan dengan eksistensi saya seperti kebutuhan tingkepan, pitonan, aqiqahan, dan lain sebagainya saya asumsikan biayanya sekitar Rp15.000.000. Sedangkan untuk keperluan insidentil saya perkirakan sekitar Rp5.000.000. Jadi selama balita saja, saya sudah memiliki utang materi pada orang tua sekitar Rp51.375.000. Benar-benar tidak disangka, sebegitu banyaknya.

Ah, saya benar-benar mohon maaf, tidak akan melanjutkan perhitungan berapa banyak pengorbanan yang telah beliau keluarkan untuk pendidikan dan kebutuhan hidup saya yang subhaanAllah banyaknya itu. Toh, meski saya menghitungnya secara detail pun, sebenarnya pengorbanan beliau tentu tidak hanya berbentuk materi saja. Ada juga pengorbanan fisik, waktu, tenaga, pikiran, dan lain-lainnya. Yang jelas, saya tidak mungkin akan sanggup untuk menghitung apalagi membayar semuanya.

Dari sini, saya kembali disadarkan oleh sebuah pesan orang bijak bahwa kasih orang tua pada anaknya memang sepanjang jalan sedangkan kasih seorang anak pada orang tuanya hanyalah sepanjang galah. Dan meski tak sanggup untuk membalas semua kebaikan yang telah mereka berikan, namun kita tetap harus berusaha sekuat tenaga untuk dapat membayar utang budi ini pada mereka.

BACA JUGA Gaya Pengasuhan Orang Tua Punya Pengaruh Ke Kepribadian Kita dan tulisan Muhammad Adib Mawardi lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 20 April 2020 oleh

Tags: Orang Tuautang budi
Muhammad Adib Mawardi

Muhammad Adib Mawardi

Pedagang yang suka nulis.

ArtikelTerkait

Risiko Jadi Orang Tua yang Melek Kesehatan Anak

Risiko Jadi Orang Tua yang Melek Kesehatan Anak

12 Desember 2022
baca buku orang tua anak minat baca mojok

Bertobatlah wahai Orang Tua yang Tidak Suka Baca Buku tapi Menuntut Anaknya Suka Baca

14 Oktober 2020
aturan lalu lintas 4 orang menyebalkan saat kecelakaan lalu lintas lakalantas mojok

Orang Tua Adalah Penyebab Generasi Penerusnya Melanggar Aturan Lalu Lintas

25 Juli 2021
keinginan orang tua pisah rumah dari orang tua pengalaman manfaat mojok.co

Menebak Keinginan Orang Tua Lebih Rumit daripada Menolaknya

6 Agustus 2020
orang tua

Cara Melawan Keinginan Orang Tua

9 Mei 2019
gaya pengasuhan

Gaya Pengasuhan Orang Tua Punya Pengaruh Ke Kepribadian Kita

21 Oktober 2019
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Menanti Gojek Tembus ke Desa Kami yang Sangat Pelosok (Unsplash)

“Gojek, Mengapa Tak Menyapa Jumantono? Apakah Kami Terlalu Pelosok untuk Dijangkau?” Begitulah Jeritan Perut Warga Jumantono

29 November 2025
5 Alasan yang Membuat SPs UIN Jakarta Berbeda dengan Program Pascasarjana Kampus Lain Mojok.co

5 Alasan yang Membuat SPs UIN Jakarta Berbeda dengan Program Pascasarjana Kampus Lain

1 Desember 2025
6 Hal Sepele, tapi Menyebalkan Saat Zoom Meeting Mojok

6 Hal Sepele, tapi Menyebalkan Saat Zoom Meeting

30 November 2025
Rekomendasi Tempat Jogging Underrated di Semarang, Dijamin Olahraga Jadi Lebih Tenang Mojok.co

Rekomendasi Tempat Jogging Underrated di Semarang, Dijamin Olahraga Jadi Lebih Tenang

3 Desember 2025
Pengajar Curhat Oversharing ke Murid Itu Bikin Muak (Unsplash)

Tolong, Jadi Pengajar Jangan Curhat Oversharing ke Murid atau Mahasiswa, Kami Cuma Mau Belajar

30 November 2025
4 Alasan Saya Lebih Memilih Ice Americano Buatan Minimarket ketimbang Racikan Barista Coffee Shop Mojok.co

4 Alasan Saya Lebih Memilih Ice Americano Buatan Minimarket ketimbang Racikan Barista Coffee Shop

4 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.