Dunia sepakbola memang memiliki sosok satir yang diberi gelar “Lord” bernama Nicklas Bendtner. Gelar ini merupakan sebuah ejekan terselubung kepada sosok ini. Walau penampilan yang jauh dari kalimat mengundang decak kagum, namun ada hal yang membuat pecinta bola susah untuk membenci sosok yang satu ini. Kini, muncul satu sosok “Lord” lagi yang benar-benar Lord.
Sosok Lord ini adalah sosok yang membuat jagad sepakbola terbagi menjadi dua, antara cinta dan benci, antara benci namun menyimpan perasaan kagum atas betapa ndakiknya ia memerangi perkara maha luar biasa dalam sepakbola bernama financial fair play.
David Pannick namanya. Sosok yang tidak pernah panik ketika membela para pengguna jasanya, termasuk tim kaya yang dibilang oleh Sir Alex sebagai tetangga yang berisik, yakni Manchester City. Atas dugaan pelanggaran financial fair play, mulai dari gejolak dana 60 juta antara City dan Etihad sebagai sokongan dana memboyong Riyad Mahrez hingga dana dari perusahaan Aabar hanya 3 juta paun sedangkan sisanya, 12 juta, berasal dari kantung sang pemilik City, Sheikh Mansour.
Memang, financial fair play ini adalah sebuah tujuan menyeimbangkan neraca keuangan dari sebuah tim dan meminimalisasi dari campur tangan berlebih pemilik klub. Contohnya adalah Parma yang hampir menemui ajal lantaran medio 90an, ia terus berkubang dalam ketika sang pemilik, Parmalat. Dan ketika ada tim yang melanggar aturan ini, biasanya (biasanya lho, ya) tim-tim tersebut akan tergelincir dalam lembah bernama sanksi.
Sebut saja AC Milan yang didiskualifikasi dalam ajang Liga Europa dan Malaga pada tahun 2013 yang dilarang tampil di kompetisi UEFA. Bukannya tebang pilih, namun sosok David Pannick adalah koentji. Andai kata Milan dan Malaga meminang servis Pannick mungkin hasilnya…sama saja, sih. Jika pemilik Milan dan Malaga adalah Seikh Mansour dan pengacara mereka David Pannick, nah baru bisa mereka terlepas dari jerat financial fair play.
Tapi, jika mau membedah semuanya secara berimbang, sosok Pannick memang luar biasa. Dalam jagad sepakbola moderen, usaha Pannick memenangkan laga yang jarang bisa dimenangkan oleh tim mana pun. City tak mungkin menaruh panji berupa kedigdayaan mereka pada sosok biasa lantaran bisa mengagalkan upaya Theresa May, Perdana Menteri Inggris, dalam perkara Brexit yang menggaung pada tahun 2016 silam.
Sebenarnya, City dan Pannick sudah lama berkawin dalam kebersamaan. Misalkan pada kasus Joe Royle, mantan pelatih City medio 1998-2001 yang harus angkat kaki dari Maine Road dengan membawa denda 467 ribu paun. Ketika banyak orang menganggap Sheikh Mansour sebagai peletak dasar pondasi revolusi trofi, kemudian pergantian filosofi Kevin Keegan menuju era Stuart Pearce, banyak yang berpendapat bahwa peletak pondasi ini adalah Joe Royle.
Tidak sepenuhnya salah semisal kita mengatakan City menang karena uang. Menyewa sosok ulung yang satu ini, agaknya City harus merogok kocek yang amat dalam. Walau City sudah menggunakan jasanya selama belasan tahun, saya tidak akan memperkirakan bahwa ada kata-kata semisal “ayolah, Nick, harga temen,”. Nggak, nggak bakal ada. Jangankan menyewa jasa pengacara, beli gedungnya pun saya rasa City mampu.
Harga pengacara di daratan Britania tiap tahunnya akan terus meningkat. Juga, tingkat kasus pun sangat beragam. Tim Pannick juga menangani kasus-kasus kelas kakap, nama mereka melambung dan teorinya sih pasti harga jasa mereka terus mengalami peningkatan. Urgensi City sudah terlihat semenjak dibesut Guardiola yang terus menempel label Liga Champions di Barcelona. Dan dengan ancaman 2 tahun tidak mengikuti kompetisi Eropa, rasanya kasus ini menjadi urgensi yang amat besar bagi mereka.
20 ribu paun atau setara 360 juta rupiah bagi City adalah hal yang kecil. Dalam seminggu, Pannick dapat memperoleh gaji sebesar 140 ribu paun. Angka ini berada di atas para pemain City semisal Benjamin Mendy yang digaji 90 ribu paun per pekan, John Stones 100 ribu paun per pekan, Nicolas Otamendi dan Aymeric Laporte yang digaji 120 ribu paun per pekan. Dengan ini, Pannick adalah “pemain bertahan” termahal dalam squad Manchester City.
Kasus FFP yang dialami City bergejolak kurang lebih 5 bulan dan katakanlah 150 hari. Itu berarti, dalam kasus ini, City harus membayar Pannick sebesar 3 juta paun. Belum lagi ditambah bonus keberhasilan memenangkan perkara ini. David Pannick, yang jelas, bermandikan uang dalam jumlah tak masuk akal setelah membuat City keluar dari kubangan sanksi.
Dan setelah memenangkan dengan elegan, City harus berkeliling kota untuk merayakan kemenangan mereka melawan akal sehat. Tentunya, dengan David Pannick sebagai pemain terbaiknya.
BACA JUGA Menghitung Penghasilan Sandy Cheeks, Tupai Jenius di Bikini Bottom dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.