Dalam momen berkumpul dan membuat janji di suatu tempat dengan seseorang atau banyak orang, sudah sewajarnya jika tak kunjung tiba kita sering bertanya, “sudah sampai mana? Kita semua udah kumpul nih”. Lalu dengan santai dan mudahnya dijawab, “OTW (on the way)—lagi di jalan” tanpa memberi tahu letak atau lokasi terkini.
Hal tersebut juga bukannya tidak mungkin pernah dilakukan oleh kita sendiri. Seringkali kata OTW ini hanya sebagai penghibur sementara. Secara harafiah, arti OTW seharusnya sedang dalam perjalanan, dalam proses menuju lokasi—entah sudah setengah jalan atau sebentar lagi sampai, bukannya baru bangun tidur atau baru saja mau bersiap mandi.
Banyak dari teman saya yang masih melakukan praktik ini. Saya yang gemas dengan perilaku seperti itu seringkali menyiasati hal tersebut, caranya meminta share live location atau membuat probing via telfon atau chat dengan menanyakan sudah di mana tak jarang langsung di video call agar betul-betul terjamin dan tahu sudah sampai mana.
Bukannya posesif, tapi saya rasa jika dibiarkan, lama-lama akan jadi kebiasaan dan budaya yang tidak baik. Tuman. Sampai-sampai sempat ada ucapan dari salah satu teman, “halah, udah jadi budaya orang Indonesia apa-apa telat”. Loh, orang Indonesia yang mana? Masih banyak mereka yang menghargai waktu saat janjian dan datang tepat waktu.
Jika ada orang yang berkata seperti itu, selain dia sudah menggeneralisir, yang dia lakukan hanyalah proyeksi (dia yang suka telat atau tidak menghargai waktu, tapi orang lain yang dianggap demikian).
Maka tak jarang, mereka yang membuat acara berkumpul seringkali mempercepat jadwal yang semestinya sudah dibuat untuk mengantisipasi beberapa orang yang dikenal seringkali telat. Misal, sebetulnya acara dimulai pukul 4 sore, namun yang diinfokan adalah 3 sore. Ada rentang satu jam untuk “kebohongan” yang dibuat—perihal OTW.
Ada kalanya cara demikian berjalan sesuai rencana dan efektif mengurai kebohongan soal OTW, namun bagi orang yang sudah ngeyel dan tidak menghargai waktu, sudah pasti mereka hanya akan menyepelekan sekaligus berkata, “halah, paling-paling mulainya jam berapa, pasti pada telat. Ujung-ujungnya pasti ngaret acaranya”. Sekali lagi, yang berpikir begitu, tentu sedang melakukan proyeksi.
Menyebalkan memang jika budaya ini terus berlanjut. Cara yang saya lakukan jika berhadapan dengan orang yang seperti ini, tidak perlu dikasih perhatian atau dimanja. Pada suatu acara, jika memang harus dimulai, akan tetap saya mulai dengan atau tanpa yang bersangkutan. Sebab, menghargai yang datang tepat (waktu) lebih baik daripada menunggu yang telat. Apalagi yang sudah datang lebih awal sampai terabaikan.
Namun, saya menyadari cara demikian masih sulit dilakukan di lingkungan instansi atau suatu perusahaan. Rasanya saya akan langsung ditegur atasan atau bagian manajemen jika bersikeras melakukan hal tersebut. Kecuali, atasan atau orang yang ditunggu sudah memberi mandat acara bisa dimulai dengan atau tanpanya. Lebih fair dan nyaman satu sama lain.
Saya harap bagi yang seringkali mengabaikan waktu tersadar, di smartphone yang mereka genggam tiap waktu itu ada aplikasi yang namanya google maps atau waze yang bisa digunakan sebagai penunjuk jalan sekaligus memperhitungkan estimasi lama perjalanan. Sehingga, alasan macet sudah tidak relevan (khususnya pada saat janjian).
Ada yang menyiasati dengan cara mempercepat waktu yang ada pada ponsel, jam tangan, atau jam dinding di rumah. Biasanya dibuat lebih cepat sekitar 10-15 menit dari waktu sebenarnya, tujuannya mungkin baik, agar bisa berangkat lebih awal dari biasanya. Namun kelemahan dari cara ini, jika sudah mengetahui waktu sudah diset lebih cepat akan berujung kepada gumaman, “ah, berangkatnya sebentar lagi aja, ini jamnya kecepetan, kok”. Tidak efektif dan sia-sia.
Bukannya membenci mereka yang suka telat dengan embel-embel kata OTW, tapi cobalah jujur dalam memberi kabar jika memang tidak memungkinkan datang tepat waktu. Saya sering melakukan hal ini kepada teman-teman sekaligus menginfokan kondisi jalan juga estimasi kapan kira-kira akan sampai di tempat tujuan. Respon yang saya dapatkan lebih nyaman dan mereka dapat lebih memahami juga menghargai kejujuran yang disampaikan.
Bagi saya, manajemen waktu adalah salah satu softskill yang harus terus diasah. Walaupun terkesan sepele, sadar atau tidak, hal ini akan terus dipakai seumur hidup. Dalam ruang lingkup pekerjaan khususnya. Coba tanya ke mereka yang berbisnis, mungkin akan lebih ketat lagi dalam manajemen waktu, sebab waktu adalah uang dan itu bernilai.
Dengan menghargai waktu artinya kita juga menghargai orang lain. Jadi, sudah sewajarnya jika mereka yang tidak menghargai waktu diberi tahu atau tak jarang mendapat teguran dari teman juga atasan.
Jangan sampai karena tidak menghargai waktu—kita jadi kehilangan teman, pekerjaan, dan tidak menutup kemungkinan juga gebetan. Maaf sekadar mengingatkan.