Bahasa bukan hanya sebuah kode tapi juga sebuah sistem untuk memproduksi dan mereproduksi makna dalam masyarakat. Bahasa juga terikat dengan budaya yang dibawa oleh penutur dari bahasa itu. Dalam jurnal yang pernah saya baca berjudul Lingua Francas in a World of Migrations (2016), Karen Risager menyebutnya sebagai lingua kultur dari individu yang mana terkait dengan riwayat kehidupan pribadi seseorang dalam lingkup sosial, budaya, dan sejarah tertentu.
Dalam jurnal itu, Risager mengaitkan pembahasan mengenai lingua Kultur dengan lingua Franca. Apa itu lingua franca? Singkatnya, ia adalah bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang tidak menggunakan bahasa itu sebagai bahasa ibu alias bahasa aslinya. Hal ini menarik ketika dibahas dalam konteks ke-Indonesia-an di mana bahasa Indonesia digunakan oleh masyarakat yang sebenarnya bahasa aslinya bukan bahasa Indonesia, seperti masyarakat Jawa, Bali, Sunda, Papua, dan lainnya.
Di sini saya ingin merefleksikan pengalaman personal saya ketika menggunakan bahasa Indonesia sebagai lingua franca saat saya sedang belajar di Kampung Inggris Pare sekitar empat tahun yang lalu. Walaupun nama tempatnya adalah Kampung Inggris, tetapi tetap menggunakan bahasa Indonesia dalam situasi di luar kelas (biar bahasa Indonesia tidak termarginalkan oleh bahasa Inggris hehe).
Sebelum membahas pengalaman itu, saya ingin sedikit mengulas bagaimana bahasa Indonesia digunakan sebagai lingua franca. Bahasa Indonesia yang sebenarnya adalah Bahasa Melayu modern yang merupakan “bahasa perdagangan” yang dibawa oleh kerajaan Malaka saat mengadakan hubungan dagang dengan kerajaan Sriwijaya. Ia kemudian menyebar luas ke wilayah Nusantara melalui aktivitas perdagangan yang sama.
Bahasa Indonesia secara resmi ditetapkan sebagai bahasa pemersatu (a.k.a. lingua franca) dalam Sumpah Pemuda yang diselenggarakan 28 Oktober 1928. Saat itu, para pemuda yang mewakili daerah masing-masing sepakat untuk mengakui bertumpah darah, berbangsa, dan berbahasa yang satu, Indonesia.
Kembali ke pengalaman saya, saya menggunakan bahasa Indonesia sebagai lingua franca saat belajar di Kampung Inggris Pare. Di Kampung Inggris itu, saya bertemu dengan banyak teman dari berbagai daerah di Indonesia seperti Bandung, Lampung, Madura, dan juga lainnya.
Yang menarik, ketika menggunakan bahasa Indonesia sebagai lingua franca dengan banyak teman yang bukan dari daerah di mana saya tinggal (Kediri, Jawa Timur), kami menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek daerah masing-masing. Oleh karenanya, pengalaman menggunakan bahasa Indonesia sebagai lingua franca ini terkait dengan apa yang disebut Risager sebagai lingua kultur dari individu dengan budaya yang berbeda-beda.
Pada dasarnya, Risager membagi konsep lingua kultur itu menjadi tiga dimensi yang saling terkait. Tiga dimensi itu meliputi dimensi semantik-pragmatis, dimensi puitis, dan dimensi identitas. Dalam dimensi semantik-pragmatis, variasi sosial dan personal ditemukan dalam situasi penggunaan yang konkret. Dimensi ini menyiratkan sebuah kata dan konsep kata memiliki peran spesifik dalam pengalaman seseorang.
Jika saya menghubungkannya dengan pengalaman saya ketika berada di Kampung Inggris, akan ditemui banyak contoh kata yang saya bersama teman-teman saya gunakan dari bahasa Indonesia. Mungkin saya ingin mencontohkan satu kata yang umum bagi kami saja yaitu kata “belajar”. Menurut dimensi semantik-pragmatis dari lingua kultur, kata “belajar” dalam bahasa Indonesia dapat memberikan kesan yang berbeda kepada masing-masing dari kami sebagai pembelajar dengan asal-usul yang berbeda-beda seperti apa arti dan makna kata “belajar” tersebut terhadap ranah emosi kami, imajinasi kami, dan bagaimana kata tersebut mewarnai penggunaannya terhadap bahasa-bahasa lainnya.
Beralih ke dimensi kedua, dimensi puitis berkaitan dengan jenis-jenis makna tertentu yang tercipta dalam struktur fonologis (bunyi) dan silabel (suku kata) bahasa. Dimensi ini terkait dengan perbedaan pengucapan dan tulisan.
Dalam pengalaman saya dan teman-teman yang berasal dari Lampung, Madura, atau Bali, kami berbicara menggunakan bahasa Indonesia secara kontras atau berbeda satu sama lain terutama dalam hal pengucapan. Berdasarkan pengamatan yang saya hubungkan dengan konsep aliran linguistik (linguistic flow), kami berbicara bahasa Indonesia secara berbeda satu sama lain karena aliran bahasa pertama kami yang terikat dengan budaya lokal sehingga menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek masing-masing yang khas.
Menurut Risager pula, suatu bahasa dapat diputuskan dari satu konteks budaya dan dihubungkan kembali ke konteks yang baru. Artinya, dalam pengalaman saya saat tinggal di Kampung Inggris, saya dan teman-teman yang berasal dari daerah yang berbeda-beda, memutus bahasa daerah kami dari konteks budaya masing-masing. Kemudian menghubungkannya kembali ke konteks baru di mana kami menggunakan bahasa Indonesia sebagai lingua franca-nya.
Sampailah pada dimensi paling buncit dari yaitu dimensi identitas. Dimensi ini menyiratkan bahwa seseorang mengidentifikasi dirinya sendiri dan memungkinkan orang lain untuk mengidentifikasi dirinya sesuai dengan latar belakang pengetahuan dan sikap mereka.
Risager mengutip bahwa praktik linguistik atau bahasa merupakan rangkaian berkelanjutan dari “tindakan identitas” di mana seseorang memproyeksikan pemahaman mereka sendiri tentang dunia terhadap lawan bicara. Dengan cara itu, secara sadar atau tidak sadar “mengundang” lawan bicara untuk bereaksi.
Dari pengalaman saya selama di Kampung Inggris, ketika saya mencoba membandingkan latar belakang budaya teman saya satu sama lain atau dengan latar belakang budaya saya. Teman saya dari Bandung yang memiliki budaya Sunda cenderung bersikap “lembut” saat sedang berdiskusi. Sedangkan teman saya dari Madura cenderung “ngotot” ketika terlibat dalam pembicaraan khususnya pembicaraan yang bertema serius. Walaupun tidak semua teman yang berasal dari Sunda atau Madura bersikap statis seperti itu.
Dalam keadaan yang mengharuskan untuk menghadapi perbedaan seperti itu, saya sebagai “host” yang memiliki budaya Jawa mesti berusaha sebisa mungkin mentolerir perbedaan yang ada meskipun terkadang juga memiliki perasaan tidak enak. Seperti memiliki dilema antara menjadi seorang “idealis” yang ingin mempertahankan pendapat pribadi, tapi di sisi lain juga harus bisa andhap asor supaya bisa menengahi perbedaan.
Namun, dari semua pengalaman itu saya memperoleh pelajaran bahwa penggunaan bahasa Indonesia sebagai lingua franca bisa menguatkan kembali kesadaran terhadap kompleksitas bahasa dan budaya (lingua kultur) yang melampaui paradigma tradisional yang statis. Bahwa satu negara hanya memiliki satu bangsa, satu bahasa, dan satu budaya. Sementara kita adalah bangsa yang kaya akan keragaman. Beraneka bangsa, budaya, dan bahasa, tapi tetap kukuh dalam satu bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
BACA JUGA Do’s and Don’ts Ketika Belajar Bahasa Inggris