Apa yang terlintas di benak Anda setiap mendengar kata preman pasar? Arogan? Tukang palak? Miskin moral? Saya maklum, preman memang menjadi social misfits di tengah masyarakat yang katanya beradab. Apalagi jika kita melihat para preman dari jauh.
Saya juga pernah punya pandangan serupa. Bagi anak muda yang nyaman di kamar, preman seperti genderuwo yang mengerikan. Tapi, berhadapan dengan preman pasar secara langsung membuka mata saya. Sebenarnya preman itu seperti rocker, punya rasa punya hati.
Pengalaman yang sukses mengubah sudut pandang saya ini terjadi di tahun 2018. Tepatnya saat saya terlibat dalam kegiatan makan gratis di Pasar Beringharjo, pasar utama di Jogja. Acara yang bertajuk “Pawon Rakyat” ini menyasar para pedagang dan buruh panggul pasar. Semua boleh kok ikut acara ini, termasuk kalian yang mengkis-mengkis menahan lapar di kos.
Keterlibatan saya lebih ke urusan keamanan. Maklum, saya tidak punya modal cukup untuk membantu memasak. Gaji UMP saya juga mepet untuk dukungan material. Jadi yang bisa saya sumbangkan adalah tubuh gempal ini. Urusan keamanan menjadi penting, karena acara ini bertepatan dengan kampanye parpol. Dan Anda bisa memahami bahwa kampanye yang memekakkan telinga ini dekat dengan kerusuhan.
Lokasi hajat gratisan ini ada di parkiran timur pasar. Tim Pawon Rakyat sudah mengontak pihak penjaga parkir di sana untuk meluangkan sebagian area untuk kami mempersiapkan dan membuka lokasi makan gratis. Di sini saya sudah terkesima. Para tukang parkir dan preman setempat menjanjikan lokasi yang dipilih akan bebas dari kendaraan parkir saat kami gunakan.
Bukan hal sepele lho. Menutup area parkir berarti memutus penghasilan mereka sementara. Tapi, dengan ikhlas mereka menyediakan ruang bagi kami.
Singkat cerita, tibalah hari H makan gratis ini. Bermodal motor tiga roda yang susah dikemudikan itu, kami bersama-sama menuju lokasi kegiatan. Dan benar, lokasi yang dijanjikan telah bebas dari kendaraan parkir. Ketika kami mempersiapkan ubarampe, para tukang parkir dan preman pasar ini ikut sibuk mencarikan alas duduk. Badan besar bertato mereka wira-wiri di antara badan kami yang jauh dari kebal pukul ini.
Acara berjalan dengan menyenangkan. Para preman ini berteriak riuh memanggil para pedagang dan buruh panggul untuk ikut makan bersama kami. Mereka juga ikut berbagi apa yang bisa dikonsumsi bersama. Dari camilan kering sampai rokok yang menambah keakraban.
Di tengah acara, ada kabar dari kawan yang memantau jalan besar yang menuju pasar. “Ada kampanye mau lewat sini,” ujarnya. Waduh, kami yang didapuk sebagai keamanan langsung deg-degan. Ketika rapat, kami merasa gagah dan siap tempur. Tapi, di lapangan mental sebagian dari kami langsung drop. Terutama saya yang makin gelisah. Kegelisahan ini tertangkap mata salah satu preman pasar yang menepuk pundak saya sambil bilang, “Sante wae, Mas.”
Benar, parade kampanye dengan knalpot berisik itu lewat. Para peserta kampanye melirik kami dan spanduk yang kami pasang. Spanduk “Tidak menerima sumbangan parpol” sepertinya menarik minat mereka. Di tengah kekhawatiran kami, para preman pasar tadi menunda makan dan berdiri di pinggir jalan. Dengan muka muram, mereka mengamati parade yang melintas. Mencegah parade ini mendekat dan mengganggu acara kami.
Entah karena apa, parade tadi berlalu begitu saja. Bahkan tidak menggeber-geber motor yang berisik tadi. Seperti tidak ada apa-apa, parade kampanye tadi berlalu. Para preman pasar tadi kembali duduk, makan, dan bercengkrama dengan kami. Penuh suka cita dan candaan khas akar rumput Jogja.
Salah satu preman duduk di samping saya, dan mengangsurkan sekotak rokok miliknya. Tentu saya terima dengan suka cita, apalagi rokok saya sudah dihabiskan kawan-kawan. Preman gempal yang katanya berusia 50-an tahun ini mengajak saya berdiskusi. Dari kehidupannya yang penuh lika-liku, sampai membahas tato macan di lengan kanannya. Tidak ada intimidasi, malah seperti seorang bapak yang penuh kisah bagi anak muda seperti saya.
Ketika acara berakhir, para preman ini juga tidak menghilang atau mengusir. Mereka malah ikut membantu membersihkan lokasi, bahkan membuangkan sampah menumpuk ke pusat pembuangan pasar. Kami pun berpamitan dengan ramah. Saya ingat, beberapa preman pasar tadi menepuk pundak saya sambil menertawakan ketakutan saya tadi.
Di perjalanan pulang, saya membatin. “Preman yang katanya seram saja malah seramah itu. Bahkan banyak memberi bantuan serta ikut berbagi makanan. Lalu siapa yang sebenarnya tidak punya hati. Preman pasar atau para pejabat yang didukung kampanye tadi? Dan bukankah perilaku negatif mereka tidak berbeda dengan korupsi atau arogansi para wakil rakyat?”
BACA JUGA Bisnis Lahan Parkir Tidak Pernah Sederhana, bahkan Penuh Darah dan Mafia dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.