Budaya pesugihan masih dipercayai masyarakat Indonesia di era modern, tak terkecuali masyarakat Jawa Timur. Tetapi, bukan masyarakat Indonesia saja yang percaya pada pesugihan dan klenik-kleniknya. Dikutip dari Kompas, tiga perempat masyarakat Amerika Serikat ternyata masih mempercayai hal-hal mistis dan takhayul.
Masih dalam artikel tersebut, psikolog dari University of Texas bernama Jennifer Whitson menilai, manusia memang tidak dapat dilepaskan dari takhayul dan cerita rakyat lama. Kepercayaan tersebut masih diyakini karena berguna untuk memahami suatu kejadian.
Hal sama diungkapkan antropolog dari Unpad, Budi Rajab. Kepada CNN Indonesia ia mengatakan, kepercayaan terhadap pesugihan, takhayul, dan penglaris tidak dapat serta merta tanggal meski kita telah hidip di era modern (baca: saintifik). Meski jumlah masyarakat yang percaya menurun, kepercayaan itu masih bertahan karena berubah menjadi hiburan yang disampaikan melalui film, kisah yang dibagikan di media sosial, video blog, hingga wisata.
Kategori terakhir bisa ditemui di Gunung Kawi yang terletak di Desa Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Label pesugihan masih begitu melekat pada daerah itu hingga saat ini. Hal ini tak lepas dari berita dari mulut ke mulut dan banyak media yang masih mengekspose kesakralan Gunung Kawi beserta misteri pesugihannya.
Salah satu hal yang kerap diekspose dan dikaitkan dengan pesugihan adalah pohon dewandaru di area pesarean dan keraton Gunung Kawi. Masyarakat setempat percaya pohon dewandaru mampu menjadi perantara datangnya kekayaan.
Mitosnya: barang siapa melakukan semedi di bawah pohon dewandaru selama tiga hari dan tidak sengaja kejatuhan salah satu bagian pohon, entah itu ranting, daun, atau buah, ia akan mendapatkan kekayaan.
Mitos ini membuat orang sampai rela menanam pohon dewandaru di depan rumah, berharap bisa kaya mendadak. Mitos ini juga membuat masyarakat sekitar Gunung Kawi melarang siapa pun memetik buah dan menggoyang pohon dewandaru.
Dikutip dari Cancer Chemoprevention Research Center Fakultas Farmasi UGM, pohon dewandaru adalah perdu dengan bertinggi 5 meter hingga 8 meter. Batangnya tegak, berbentuk bulat, dan berwarna cokelat. Ada banyak nama lain untuk menyebut pohon ini. Ada yang menyebut dengan nama asem selong, cerme asam, hingga belimbong londo.
Menurut cerita kakek-nenek saya yang merupakan pemukim Gunung Kawi, tidak ada yang tahu sejak kapan pohon ini tumbuh di daerah tersebut. Ada yang bilang bahwa Kiai Imam Sudjono yang menanamnya pada 1871. Kiai Imam Soedjono atau Raden Mas Imam Sudjono merupakan salah satu senapati Pangeran Diponegoro.
Selain kesakralan yang dielu-elukan masyarakat selama ini, pohon ini punya manfaat lain. Kayu dewandaru kerap dimanfaatkan untuk aksesori, seperti tasbih, gelang, akik, dan kalung. Di beberapa daerah di Jawa Tengah, yakni Semarang, Pati, Karimun Jawa, dan Jepara, kayu dewandaru disulap menjadi tongkat.
Tidak hanya kayunya, daun dewandaru juga bermanfaat. Di Paraguay, air hasil rebusan daun dewandaru digunakan untuk menurunkan kolesterol dan tekanan darah, sementara di Brasil digunakan untuk mengatasi diare, rematik, dan diabetes. Saat ini juga sedang diteliti fungsi dewandaru sebagai obat antikanker. Kalau manfaat pohon dewandaru sebagai obat pangkal kaya, sepertinya cuma di Indonesia sih.
Buah pohon dewandaru juga memiliki khasiat dan dapat dimakan langsung. Rasanya kadang asam, kadang manis karena kaya vitamin A dan vitamin C. Buah dewandaru dapat diolah menjadi selai dan jeli.
Dengan khasiat dan manfaat yang banyak dimiliki, pohon dewandaru menjadi satu dari segelintir tumbuhan-tumbuhan di Indonesia yang berpotensi atau bahkan sudah diolah untuk dijadikan obat. Ya, daripada harus impor obat terus dari Cina, mending nurut deh sama petuahnya Alim Markus, “Cintailah produk-produk Indonesia.”
BACA JUGA Ki Seno Nugroho, Dalang yang Bikin Milenial Gandrung dengan Wayang dan tulisan Terminal Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.