“Tuhan kasih dia voor beta
Beta mau dia jadi beta pung pendamping selamanya
Tuhan jodohkan katong dua
Apapun yang terjadi beta pilih dia…”
Reff lagu dari penyanyi asal Ambon, Vicky Salamor berjudul Tuhan Beta Mau Dia di atas adalah lagu kesekian yang saya dengar dan langsung menyentuh hati, hampir setiap hari saya memutar lagu ini bersamaan dengan lagu-lagu Ambon lain. Pasalnya, saya mendengar lagu ini beriringan dengan keadaan saya–dan mungkin juga kamu yang merasa kesepian–saat ini, betapa seseorang yang kita harapkan sosoknya, jebul dengan entengnya merasa “bodo amatlah” dengan suasana hati yang sepi ini.
Tapi rasa sepi ini hancur seketika kala saya mendengarkan lagu lainnya dari Sanza Soleman berjudul Kasi Slow-Jaga Orang Pu Jodoh-Serba Salah (Mashup). Sebab, lagu ini mengundang saya untuk berjoget mengikuti alunan musik yang aduhai. Dengan begitu setidaknya hati yang tadinya sunyi mendadak disko. Seperti petuah om Didi Kempot, “Jika hati ini sakit karena patah, maka jangan terlalu larut dalam kesedihan, sebab hidup harus berlanjut, maka berjogetlah….”
Perjuangan Mewujudkan Ambon City of Music
Perihal Ambon yang kini telah dikukuhkan menjadi salah satu kota musik oleh organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) pada 31 Oktober lalu, atau bertepatan dengan Hari Kota Sedunia. Bahwa ada upaya maximal dari berbagai pihak yang menginginkan Kota Ambon sebagai kota musik yang diakui oleh dunia.
Dengan masuknya Kota Ambon sebagai kota musik–yang juga termasuk dalam 66 kota kreatif lainnya, maka Ambon kini bersanding dan tergabung dalam jaringan organisasi kota kreatif lainnya seperti Sevilla (Spanyol), Bologna (Italia), Hamamatsu (Jepang), Wellington (New Zealand), hingga Belo Horizonte (Brazil). Upaya ini sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 2011 atau delapan tahun lalu bahwa Pemerintah Kota Ambon, Pemerintah Provinsi Maluku, dan tim Ambon Music Office (AMO) telah mencanangkan Ambon sebagai kota musik dunia. Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) di Ambon pun juga ikut mendukungnya. Tujuan utama Ambon City of Music adalah semata-mata untuk membangun kota Ambon yang berkelanjutan dari aspek sosial, budaya, ekonomi, lingkungan, dan kreativitas di bidang musik.
Masih tentang upaya mewujudkan Ambon sebagai kota musik, musisi Indonesia yang telah diakui kualitasnya, Glenn Fredly dan Ridho Hafiedz pun turut serta mendukung penuh kota kelahirannya sebagai City of Music, dengan cara menyebarkan petisi kepada masyarakat Indonesia agar turut serta mendukung petisi tersebut.
Para Pelaku Kreatif
Pada pertengahan abad 20, Ambon telah memproduksi penyanyi-penyanyi terkenal di tingkat nasional hingga Internasional, seperti Broery Marantika, Utha Likumahua, Melky Goeslaw, Harvey Malaiholo, dan Chris Kayratu. Mereka memulai debut sebagai penyanyi lokal, sebelum benar-benar menjadi terkenal sebagai penyanyi di tingkat nasional. Lalu dilanjutkan pada generasi selanjutnya seperti Glenn Fredly, Ridho Slank, Melly Goeslaw, Ruth Sahanaya, Hamdan Atamimi, hingga Daniel Sahuleka. Atau yang memiliki darah Ambon dan–bisa dikatakan–masih muda seperti Vicky Salamor, Gamaliel Tapiheru, Audrey Tapiheru, Mario G Klau, hingga Sanza Soleman.
DNA Anak Muda Ambon Adalah Musik
Pertama kali saya mendengar lagu Ambon, perasaan saya langsung tergerak untuk menyatakan cinta padanya. Suara mereka layaknya lukisan semesta kala senja disertai kopi dan puisi–biar seperti anak indie. Maka saya rasa tidak berlebihan jika saya menyatakan bahwa Tuhan menciptakan suara orang Ambon ketika Dia sedang tersenyum dan bahagia. Maka jadilah Ambon sebagai kota yang di dalamnya mengandung nada-nada indah nan mengembirakan. Oleh karenanya, Ambon dipilih sebagai kota musik dunia, sebab DNA orang Ambon itu ya musik itu sendiri.
Ada kredo yang menyatakan bahwa “orang Ambon pasti bisa nyanyi” itulah perkataan yang selalu anak muda Ambon dengar sejak mereka masih kecil. Kredo ini semacam menjadi doktrin bagi seluruh masyarakat Ambon, sehingga mau tak mau mereka harus bisa menyanyi. Doktrin semacam ini membuat orang Ambon termotivasi agar bisa bernyanyi. Hal inilah yang kemudian membuat anak muda Ambon memiliki potensi dan jiwa musikalitas yang tinggi. Dari sini saja, Ambon memang layak untuk menerima gelar bergengsi.
Karakteristik Musik Ambon
Secara garis besar, anak-anak muda lebih menyukai jenis musik yang mengalun romantis, sendu, dan mendayu. Ada sebuah kenyataan yang menarik, anak muda Ambon sangat romantis dalam lagu-lagu mereka, tapi dalam kehidupan sehari-hari, mereka sebenarnya dekat dengan kekerasan dan konflik. Oleh karenanya, lagu romantis adalah salah satu sisi identitas anak muda Ambon yang menjadi penyeimbang dalam hubungan interaksi horisontal mereka terhadap kekerasan-kekerasan yang demikian karib.
Perihal keromantisan, musik Ambon mengacu pada tiga hal, keromantisan terhadap tanah air, kekasih, dan terhadap ibu kandung.
Pada lagu yang menekankan romantisme pada tanah air, penyanyi menunjukan suara-suara dan alunan tak berdaya atau lemah karena sedang mengadu nasib di perantauan.
Mengenai deskripsi terhadap cinta perempuan, digambarkan dengan bentuk alam yang tak jauh dari kondisi fiski kota Ambon dan sekitarnya. Beberapa lagu misalnya, menggambarkan cintanya setinggi Gunung Binaiya dan sedalam laut Banda.
Sedangkan romantisme terhadap mama adalah romantisme yang sakral, karena setiap petuah-petuah mama tak dapat dibantah dan akan celaka bagi anak muda yang melanggarnya.
Lagu yang menggambarkan sang lelaki berada di luar Ambon dinyanyikan dengan nada penuh putus asa, sebab keterpisahan dengan kota Ambon dan nona Ambon yang dicintainya. Hal ini tampak pada salah satu penggalan lagu yang hingga kini masih melegenda, berjudul “Parcuma” (Percuma) yang dibawakan oleh Nanaku:
“Kalo ada yang mo masu minta
Nona tarima saja
Jang ale pikir beta lai
Perkara cinta, beta cinta. Mao sayang paling sayang
Mar sio mo biking apa
Parcuma beta susah di rantau….”
(Jika memang ada yang hendak melamar, nona terimalah saja. Kau jangan memikirkanku lagi. Sayang, perihal cinta, aku cinta. Perihal sayang, aku paling sayang. Habis hendak dibilang apa lagi. Duh… Percuma, aku sudah di tanah rantau).
Lagu ini menggambarkan betapa dengan penuh rasa keputusasaan sang lelaki merelakan jika perempuan tercintanya mendapat lamaran dari orang lain (masu minta) untuk menikahinya. Sang nona hanya menantinya pulang dari perantauan. Lagu tersebut tidak mendeskripsikan adanya pihak ketiga yang membuat kandasnya sebuah hubungan, melainkan karena terpisahnya jarak dan waktu yang demikian panjang.
Arkian, beragamnya jenis musik yang ada di Indonesia, menandakan bahwa begitu beragamnya kesenian dan kebudayaan yang ada di negeri ini. Dan musik merupakan salah satu elemen penting bagi seluruh warganya, ia mendamaikan yang berseteru, ia mempersatukan yang terpecah, ia menenangkan kala gundah, ia menginspirasi kala buntu, dan ia kawan sejati kala sepi.
Panjang umur industri musik Indonesia…
BACA JUGA Jualan Agama di Ambon? Tak Akan Laku atau tulisan R Fauzi Fuadi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.