Ada ungkapan menarik dari Eduard Douwes Dekker, dalam karyanya yang berjudul Max Havelaar (1860). Kita mengenalnya sebagai Multatuli, pemuda yang lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820.
Seperti ini ungkapannya, “Para penerbit lebih menilai karya berdasarkan reputasi penulisnya daripada nilai isinya“, ungkapan ini tepat di halaman 41. Pada awalnya saya mengira bahwa novel satir yang ditulis oleh Multatuli ini hanya berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda saja. Ternyata saya salah. Dalam novel itu, ada juga kritik Multatuli terhadap para penerbit yang hanya mau untung dari popularitas penulisnya.
Kalau kita tengok kembali tahun penerbitan novel Max Havelaar yang sudah lampau itu, kita akan tersadar bahwa industri perbukuan ternyata sudah sejak zaman dahulu menganut paham kapitalis.
Kita tahu, dalam Oxford Dictionaries 2013 kapitalisme memiliki arti sistem ekonomi di mana perdagangan, industri, dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan memperoleh keuntungan dalam ekonomi pasar. Lalu apa hubungannya dengan penerbitan buku, karya, dan reputasi penulis? Saya akan mencoba menerka-nerka apa yang diungkapkan oleh Multatuli itu adalah sebuah potret kehidupan yang real dan konkrit.
Coba, lihat, dan saksikan sendiri, mengapa banyak sekali penerbit buku mayor maupun inide yang berduyun-duyun mencari naskah ke Wattpad? Sebab di sana banyak penulis yang memiliki banyak fans dan pembaca.
Apa pentingnya fans dan pembaca untuk penerbit? Toh, penerbit hanya butuh naskah yang bagus dan berkualitas? Ya memang prinsip dasarnya seperti itu. Akan tetapi, yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana agar naskah yang akan diterbitkan itu bisa terserap di pasar, terlebih bagaimana agar naskah itu bisa best seller dan viral.
Viral dan best seller adalah dua hal yang sangat diinginkan oleh penerbit mana pun. Sebab dengan viral, karya penulis yang diterbitkan akan diburu oleh banyak orang, dan dari viral itu akan berdampak pada penjualan yang bombastis.
Kembali lagi ke Wattpad, di Wattpad penulis-penulis yang memiliki banyak fans tentu akan dengan mudah mendapatkan pembeli karyanya. Inilah salah satu alasan mengapa banyak sekali penerbit yang mencari naskah di Wattpad. Penerbit tahu bahwa mendapatkan naskah di Wattpad sama halnya penerbit akan terbantu dalam promosi.
Tidak hanya satu dua naskah di Wattpad yang bukan hanya dilirik oleh penerbit, tapi juga dilamar oleh PH Film kenamaan di Indonesia. Contohnya ada banyak, kiranya tak perlu saya sebutkan satu persatu. Nah, setelah prosesi penerbitan buku dan gala premiere film yang diadaptasi dari naskah di Wattpad rampung, tibalah saatnya meledak, menggegerkan ruang maya, viral, dan best seller.
Selain di Wattpad, ada juga media sosial lain yang mengantarkan penulisnya ke meja PH Film besar di Jakarta, setelah novel yang ia tulis di Facebook viral dan mendapat respons banyak dari pembacanya. Novel itu terjual puluhan ribu eksemplar dalam kurun waktu satu bulan.
Jangan tanya berapa banyak penerbit yang merayu dan melamar penulis yang memiliki banyak fans dan pembaca di media sosial. Bukan hanya penerbit bau kencur saja, bahkan penerbit raksasa yang bukunya sering nangkring di rak best seller saja terkadang masih tergiur dengan penulis yang mempunyai banyak fans.
Fenomena seperti ini barangkali menjawab pertanyaan, Mengapa Penerbit Tak Tertarik Menerbitkan Karya Penulis yang Followernya Sedikit? Tentu saja jawabannya karena penerbitan tidak ada yang mau rugi, untuk apa mereka menerbitkan karya yang tidak mempunyai segmentasi pasar yang bagus, hal itu akan menyusahkan penerbit.
Jadi perlukah memperbanyak follower dulu baru menulis sebuah karya? Agar karya kita bisa diterima dan nangkring di toko buku offline maupun online di seluruh Indonesia? Tidak juga. Sebab, meskipun yang dikatakan oleh Multatuli, “Para penerbit lebih menilai karya berdasarkan reputasi penulisnya daripada nilai isinya“, ini benar. Kita juga harus ingat dengan nasihat mulia Imam Al-Ghozali, “Jika kau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah.” Tak peduli karya kita akan dilirik penerbit atau tidak, akan mendapatkan fans dan pembeli atau tidak, yang terpenting adalah berkarya. Sebab karya tidak pernah bisa dibeli dengan apa pun, apalagi dengan angka-angka yang hanya bersifat sementara.
Kalau kita meminjam ungkapan Pramoedya Ananta Toer, maka bunyinya akan menjadi seperti ini, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Wallahu a’lam.
BACA JUGA Terpujilah Wahai Engkau, Para Pembajak Buku atau tulisan Ali Adhim lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.