Saat pertama kali resmi menjadi mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, kami mulai merasakan doktrin yang tidak terselubung, cenderung eksplisit, dan tegas. Tentu saja doktrin itu tidak jauh-jauh dari maklumat untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Akibatnya di dalam kelas kami sangat berhati-hati dalam bertutur kata, akhirnya terbawa-bawa hingga ke dunia maya dan nyata. Lama-lama kami terlatih menjadi detektif bahasa dan jadi sakit mata jika melihat “di” yang seharusnya disambung tapi malah dipisah, jadinya saya paham betul kenapa Uda Ivan Lanin sampai berkata kurang lebih seperti ini: “Saya hanya akan meninggal dengan tenang jika orang Indonesia sudah bisa membedakan kapan “di” dipisah dan kapan disambung”. Sampai detik ini, saya masih gerah bodi saat ada yang melakukan kesalahan berbahasa dalam hal-hal yang krusial.
Beberapa waktu lalu, seseorang bertanya kepada saya tentang perbedaan “mengabaikan” dan “menghiraukan”. Dalam hati saya ngedumel, ini orang buat apa bertanya, kan sudah terpampang nyata kalau itu berbeda. Lalu sekonyong-konyong datanglah jin baik yang berbisik begini “Dia bertanya karena tidak tahu, artinya ia peduli akan bahasanya sendiri, dan ingat kau tidak boleh jemawa!”. Entah dari mana, jiwa saya yang sudah didik, dibina, dan ditempa menjadi detekfif bahasa terbangkitkan. Kebangkitan jiwa itu mengantarkan saya pada penggalian lebih mendalam mengenai “mengabaikan” dan “menghiraukan”. Sejauh mana orang mendzolimi kata “menghiraukan” dan “mengabaikan” sungguh saya ingin tau.
Saya terperanjat, belum juga genap seperempat detik menggali, langsung muncul penampakan menyeramkan seperti ini “Mengapa kau begitu tega menghiraukan pesan Whatsappku dan hanya membiarkannya membiru”. WJS Purwadarminta menangis melihat ini. Mau bucin kok ngadi-ngadi, kalau mau bucin ya totalitas, bucin yang madani begitu loh, nyontek kalimat eyang Sapardi agaknya lebih elegan daripada begini. Atau kalau mau gombalan impor, pakai saja puisinya Kahlil Gibran, tenang saja bebas visa dan bea cukai, asal cantumkan nama pengarang, jangan didaulat sebagai milikmu, tindakan ini memalukan. Saya menulis ini sambil ngomel.
Baiklah coba kita sedikit lebih serius membahas tentang “menghiraukan”. Jika sudah tahu jangan lagi ditukar-tukar dengan “mengabaikan”, mereka tidak pernah ditakdirkan bersama karena memang bertolak belakang. Ibaratnya, yang satu feminis pro bekal makan, yang satu lagi feminis kontra bekal makan, dua kubu ini tidak akan menyatu seperti air dan minyak.
Jadi begini. “Menghiraukan” itu artinya “memedulikan”. Oke baik, repeat after me! Menghiraukan artinya memedulikan. Dalam Kitab KBBI “menghiraukan” artinya: memedulikan; mengacuhkan; mengindahkan; memperhatikan. Nah loh siapa yang sering salah juga tentang “mengacuhkan”, siapa yang selama ini mengira bahwa mengacuhkan artinya tidak peduli. “Mengacuhkan” adalah sinonim dari “menghiraukan”. Dalam lirik lagu “Lumpuhkanlah Ingatanku” milik Geisha, kata “acuhkan” digunakan dengan kurang tepat pada liriknya yang ini “Kau acuhkan aku, kau diamkan aku”. Lagu ini dulu sempat membuat anak 90-an yang sedang remaja jadi earworm. Sekelas lagu yang dikomersilkan dan jadi tren di masanya saja bisa kecolongan soal makna “acuhkan”.
Selama ini lagu Kera Sakti dalam terjemahan bahasa Indonesia juga keliru pada bagian liriknya yang ini “Hiraukan semua masalah di muka bumi ini”. Bila merujuk pada arti “menghiraukan” yang sebenarnya, maka di sana berarti bahwa lagu itu mendeskripsikan Sun Wu Kong sebagai orang yang memedulikan masalah yang ada di muka bumi ini, padahal kan enggak gitu ya, Sun Wu Kong kan orangnya masa bodoh. Saya menaruh curiga sebesar Gunung Rinjani, sebenarnya lagu itu ingin menyampaikan pesan begini “Abaikan semua masalah di muka bumi ini, yo Sun Wu Kong Is in da houseee”, bila melihat dari karakter Sun Wu Kong dalam filmnya, saya yakin sebenarnya maksud lagunya adalah “abaikan” bukan “hiraukan”.
Akan tetapi, usut punya usut, kata “hiraukan”, “abaikan”, dan “acuhkan” tidak terdaftar dalam KBBI. Meski tidak terdaftar dalam kamus, asal katanya sudah jelas, yaitu “hirau”, “abai”, dan “acuh”. Saya berharap tidak ada lagi yang menukar kata-kata tersebut. Semoga semua warga negara penghuni negara berkembang-kembang ini bisa lebih bijak menggunakan bahasa Indonesia. Mari kita semua menghiraukan kelestarian bahasa Indonesia, jangan sampai kita mengabaikannya karena diabaikan itu tidak enak.
Garing ya? Maaf, bisanya segini.
BACA JUGA 4 Tipe Akhi yang Wajib Ukhti Ketahui dan tulisan Boga Metri Zain lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.