Secara sengaja maupun tidak, kita pasti sering melihat headline pemberitaan dari beberapa portal berita baik secara online atau offline mengenai kenaikan beberapa bahan makanan. Hampir di setiap bulan bahkan terkadang mendekati hari-hari penting seperti bulan ramadhan terjadi kenaikan dan kelangkaan bahan baku seperti gula pasir, daging, bahkan bawang putih, bawang merah, dan yang paling sering adalah kenaikan harga cabai.
Cabai adalah salah satu bahan pokok wajib bagi masyarakat Indonesia yang kita ketahui sangat gemar sekali mengkonsumsi makanan dengan rasa pedas. Mungkin bagi kalangan yang belum berumah tangga seperti saya kenaikan harga bahan makanan seperti cabai tidak terlalu dipusingkan. Saya lebih pusing jika terjadi kenaikan harga kuota paket data apalagi jika disertai dengan pengurangan jumlah volume internet yang ditawarkan oleh suatu provider.
Namun, kita pasti pernah mendengarkan keluhan dari orang tua, terutama Ibu ketika selesai berbelanja di pasar tradisional. Sebagai contoh minggu kemarin ketika Ibu saya selesai berbelanja di sebuah pasar tradisional, sesampainya di rumah, sambil ngeluarin belanjaan, beliau bilang kalau sekarang minimal harus ngeluarin uang 15 ribu cuma buat beli cabai.
“Memang sekarang harga perkilonya berapa bu?” tanya saya sambil bantuin ibu masukin belanjaan ke kulkas. “Dari dulu, harga cabai per kilonya pasti di atas 50 ribu mas, ini juga hanya membeli seperempat kilo.” Ibu saya menambahkan lagi “Kalau ke pasar, Ibu paling minim membawa uang 100 ribu, itu juga hanya mendaptakan cabai, bawang putih, bawang merah serta beberapa sayur untuk dimasak 3 sampai 4 hari”.
Sebenarnya tepat di halaman rumah, kami juga menanam beberapa pohon cabai yang bisa dipetik beberapa buah. Pernah Ibu saya mengatakan bahwa cabai biasa beliau petik setiap 3 kali sehari dan cukup untuk menghemat pengeluaran belanja sebesar 100 ribu dalam setiap bulannya. Keluarga saya memang menanam pohon cabai dari 3 bulan lalu dengan membeli bibit cabai di kecamatan lain yang tidak terlalu jauh dari rumah.
Media perawatan yang dilakukan juga cukup sederhana. Kami hanya menyiapkan lahan di halaman rumah yang sudah dicangkul. Kemudian dicampur dengan pupuk organik seperti kotoran kambing ditambah dengan kulit padi hasil pengolahan beras atau biasa disebut merang. Media tersebut sangat gampang didapatkan di lingkungan tempat tinggal kita.
Saya ingat betul ketika Ibu saya mengatakan dengan menanam beberapa cabai bisa menghemat biaya belanja 100 ribu. Pernah Bapak saya mengatakan jika teman beliau menanam bawang merah dengan luas 5×6 meter mampu memanen sekitar 4 kilo bawang putih. Terbesit sebuah ide yang cukup aneh dan memang harus ditertawakan.
Karena konon katanya jika suatu ide tidak ditertawakan maka ide tersebut masih dianggap biasa saja. Ide yang langsung muncul dalam benak saya yaitu menciptakan ketahanan pangan dimulai dari rumah ke rumah dimulai dari lingkup terkecil yakni RT. Ketahanan pangan tersebut, dapat diciptakan dengan cara mengajak para anggota masyarakat untuk menyisihkan lahan kosong.
Lahan kosong dengan luas beberapa meter di depan rumah nantinya ditanami pohon seperti cabai, bawang merah dan putih. Nantinya, setiap rumah diwajibkan untuk menanam satu jenis tanaman. Jadi misalkan dengan hitungan sederhana disebuah RT terdapat 45 kepala keluarga maka, tinggal dilakukan pembagian saja.
Setiap 15 rumah menanam pohon cabai, 15 rumah menanam bawang putih serta 15 rumah menanam bawang merah. Atau lebih bagus lagi ditambah dengan ditanami beberapa sayur seperti terong, sawi atau bahkan kacang panjang dan kangkung. Nantinya di saat panen, warga di RT tersebut dapat saling bertukar hasil sesuai dengan kebutuhan mereka.
Memang terlihat sederhana. Jika mungkin ada kendala dari anggota yang tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan perawatan secara mandiri, bisa kita akali dengan memberikan pekerjaan bagi orang di RT tersebut yang memiliki kemampuan dan pengetahuan lebih tentang bercocok tanam untuk berkeliling melakukan perawatan secara berkala. Nantinya orang tersebut dapat kita berikan imbal jasa berupa pendapatan dari dana kas RT tiap bulan atau mingguan.
Selain dapat menekan biaya yang dikeluarkan dari tiap kepala keluarga, dengan program tersebut nilai positif yang timbul juga akan didapatkan rasa kekeluargaan dan semangat gotong royong yang kita eluh-eluhkan. Semoga apa yang saya pikiran dapat diterapkan oleh saya dan juga masyarakat luas di berbagai tempat. Saya akan lebih berharap lagi jika ide ketahanan pangan dari rumah ke rumah ini dalam praktek penerapannya mengalami perbaikan yang jauh tidak terpikirkan oleh saya.
BACA JUGA Lockdown Mandiri di Desa Bikin Sadar kalau Cuma Ketua RT yang Bisa Nyelametin Kita atau tulisan Rofif Zaenul Abidin lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.