Melihat fenomena yang terjadi di arena belajar selama beberapa tahun ini, mengingatkan saya pada sebuah film India, “Satyameva Jayate (2018)”. Film yang mengisahkan perjalanan seorang polisi India yang jujur dan mempunyai dua anak laki-laki. Semasa hidupnya mengabdi pada negaranya dan tidak pernah melakukan hal yang bertentangan dengan kebenaran.
Suatu hari ia harus menelan pil pahit, ia dituduh dan difitnah menerima suap dengan bukti yang ditemukan di rumahnya, sejumlah uang dalam koper dan obat-obat terlarang. Ia sangat hancur dengan tuduhan tersebut hingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara membakar diri di hadapan tiang bendera negaranya (India) yang ada di halaman depan rumahnya. Peristiwa tersebut disaksikan oleh banyak orang tanpa terkecuali kedua putranya. Haru dan tangisan menyelimuti keduanya yang tak kuasa melihat tubuh ayahnya dilalap kobaran api.
Singkat cerita, kedua anak laki-laki tersebut tumbuh dewasa. Si sulung mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang polisi yang memiliki kesamaan ciri dengan ayahnya yakni jujur dalam mengemban amanah. Sementara si bungsu lebih memilih untuk membuktikan ketidakadilan yang pernah diterima ayahnya tapi nyatanya hal demikian bertentangan dengan profesi kakaknya sebagai seorang polisi.
Satyameva Jayate yang memiliki arti “Hanya Kebenaran yang Berjaya” adalah sebuah mantra dari naskah India kuno yang setelah kemerdekaan India, perkataan tersebut diadopsi sebagai semboyan nasional India. Satyameva Jayate menjadi doktrin yang ditanamkan sang ayah kepada dua anak laki-lakinya.
Veer (Si Bungsu) dalam petualangannya untuk membuktikan bahwa almarhum sang ayah tidak bersalah bermula dengan menjadikan semboyan tersebut sebagai landasan menuntaskan misinya sekaligus mencaritahu pelaku di balik fitnah yang ditujukan pada ayahnya. Ia mencaritahu nama-nama polisi yang berawalan “S” yang terbukti melakukan tindakan korup dan membakarnya seperti yang dialami sang ayah, setelah itu nama-nama polisi yang berawalan “A” dan seterusnya hingga membentuk “Satyameva Jayate”.
Di penghujung penuntasan misinya, Veer menemukan pelaku yang dulunya memfitnah ayahnya yakni teman dekat ayahnya sendiri. Sebelum menuntaskan misinya seperti sebelumnya, ia harus berhadapan dengan sebuah pilihan antara membuktikan ketidakadilan yang diterima oleh sang ayah dan membakar pelakunya atau mendengar apa yang dikatakan sang kakak agar tidak melanjutkan aksinya serta sang kekasih yang ternyata anak dari orang yang memfitnah ayahnya.
“Kebenaran tidak menang di sini, kekuatanlah yang menang.” Suara tersebut dilontarkan oleh ayah dari kekasihnya. Memecah pilihan yang dihadapi Veer. “… dan kekuatan datang kepada mereka yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi sistem ini.” Lanjutnya.
Terhadap apa yang saya katakan sebelumnya, kutipan dialog dalam film di atas membawa saya larut dalam bayangan tentang kemiripan kondisi di ruang pendidikan tinggi. Prinsip otoritas dalam pengambilan keputusan terhadap sebuah kebijakan merupakan panorama keseharian di beberapa institusi (kalau tidak mau menyebut semuanya).
Sekalipun institusi pendidikan, pimpinan tertinggi acapkali mengeluarkan sebuah kebijakan dan kontradiksi dengan teori asas tujuan hukum, yakni asas kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Sebagai contoh, pelarangan aktivitas malam di beberapa kampus di Makassar yang semuanya memiliki kesamaan aspek historis yakni alasan adanya oknum yang ditemukan menjadikan kampus pada malam hari tidak sebagaimana mestinya, seperti berduaan dengan lawan jenis, konsumsi alkohol dan lain sebagainya.
Kendati demikian, tindakan tersebut harus ditindaklanjuti tapi bukan dengan cara menggeneralisir ke seluruh mahasiswa, melainkan hanya kepada mahasiswa yang bersangkutan. Jikalau mengeluarkan kebijakan dikarenakan pimpinan takut akan perbuatan buruk mahasiswa, maka kebijakan yang sepatutnya dikeluarkan adalah kebijakan meningkatkan keamanan dan komisi disiplin (komdis) untuk memproses lebih lanjut mahasiswa yang melanggar. Bukan kebijakan pelarangan aktivitas malam di kampus.
Melirik kebijakan pelarangan aktivitas malam dari segi asas tujuan hukum. Asas kemanfaatan tidak terealisasikan dengan baik dengan pertimbangan bahwa kebijakan tersebut jauh dari kepentingan mahasiswa dan terkesan hanya berpihak kepada pembuat kebijakan. Asas keadilan, bagi Ali bin Abi Thalib, memberikan sesuai porsinya (proporsional) sementara kebijakan tersebut di luar daripada prinsip keadilan karena terdapat hambatan bagi mahasiswa untuk beraktivitas padahal itu merupakan hak dari mahasiswa pasca menuntaskan kewajibannya.
Sementara azas kepastian yakni mengutamakan landasan ketentuan perundang-undangan yang meliputi kemanfaatan dan keadilan. Jika asas kemanfaatan dan keadilan tidak terpenuhi dalam pembuatan kebijakan maka dapat dipastikan bahwa asas kepastian pun tidak terpenuhi (gugur).
Sebuah kebijakan atau aturan yang tidak memenuhi asas tujuan hukum akan mengalami kontradiksi dan penerapannya bernilai timpang. Padahal, tujuan dari hadirnya sebuah kebijakan adalah untuk menciptakan keadilan dan terhindar dari ketimpangan bukan justru sebaliknya.
Ketika kebijakan atau aturan dikeluarkan dan tidak sesuai dengan mekanisme hukum yang dianut maka hanya kekacauan yang dihasilkan dan secara otomatis nilai-nilai hukum tidak mengandung konsep “Satyameva Jayate” melainkan unsur kekuatanlah di atas segalanya. Kebenaran akan takluk di hadapan kekuatan, kebenaran tidak mampu mempengaruhi sebuah sistem melainkan hanya kekuatan.
BACA JUGA Memangnya Kenapa Kalau Saya Suka Menonton Film India? atau tulisan Askar Nur lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.