“Macam mana? Udah kau WhatsApp dia? Jangan lama kali. Jangan percuma pulak kau anak Medan.” Provokatif, intimidatif, dan khas logat Medan suara orang berbicara di seberang sana lewat sambungan telepon, mendesak saya. Ini berkaitan dengan misi mencari jodoh.
“Sudah bang. Minggu depan bapaknya katanya sudah ada di rumah. Sudah dijadwalkan khusus, dia sudah bilang ke bapaknya, kalau aku mau datang.” jawab saya menenangkan suasana pembicaraan itu.
“Mantap! Gitu baru anak Medan. Kabari nanti kalau sudah sampai.”
Seminggu sebelumnya, orang yang jadi lawan bicara saya tadi memberikan nomor kontak seorang perempuan yang dia sebut sebagai tetangganya. Dia ingin mengenalkan perempuan itu ke saya. Orang ini tak lain adalah senior saya di kampus semasa kuliah dulu di Pekanbaru. Kebetulan juga perempuan yang akan dikenalkan tersebut teman sekantor istri senior saya ini.
“Anaknya baru hijrah gitu. Kayaknya klen (kalian) seumuran. Kata kakakmu (istri senior saya), dia maunya laki-laki yang nggak muluk-muluk. Yang penting salat lima waktunya nggak tinggal. Aku jamin kau sosok yang pas. Apalagi kau PNS di Kumham, cocoklah udah itu, tinggal gas!” ucap senior saya ini lewat sambungan telepon, saat awal menyampaikan “kuliah pengantar” mencari jodoh.
Kalian bisa tebak kelanjutannya. Berbekal bocoran-bocoran dari senior saya itu, saya hubungi si perempuan. Kurang lebih seminggu lamanya saya berbalas pesan di WhatsApp dengan perempuan itu. Mulai dari saya menyodorkan profil diri, foto, riwayat penyakit, hingga ke visi menikah, lengkap saya lampirkan mirip-mirip CV ta’aruf. Kaku dan to the point.
Iya, kami saling bertukar foto diri. Jangan kalian bayangkan kami saling memasang foto wajah sebagai foto profil. Saya memasang foto tampak samping yang mengenakan masker. Sementara dia menampilkan foto sepasang kaki yang dibalut kaos kaki mengenakan rok panjang yang menutupi mata kaki. Entah apa maksudnya. Bagian inilah yang menguatkan saya, bahwa sosoknya tidak jauh dari ukhti-ukhti kekinian. Yang saat itu sedang musim-musimnya.
Singkat kisah, percakapan selama semingguan tadi berujung pada rencana pertemuan fisik. Awalnya mungkin dia meragukan saya karena saya bilang akan datang menemuinya sekaligus keluarganya meski itu pertemuan pertama (kita bukan tipe cowok penjemput depan gang, Dek). Tapi, sejak foto tiket dan surat cuti saya kirimkan, dia percaya dan gaya percakapan WhatsApp kami semakin kaku.
***
“Assalamu’alaikum warahmatullah… Apa kabar? Gimana, jadi nggak datang ke Pekanbaru?” sebuah pesan WhatsApp muncul di pagi hari.
“Wa’alaikumussalam… jadi. Ini saya sudah di bandara. Saya sudah menginjakkan kaki di Pekanbaru. Seperti janji saya minggu lalu, setelah Isya nanti saya ke rumah kamu.” balas saya.
“Oke. Saya bilang ke Papa.”
Mencari jadwal pertemuan ini cukup alot. Keinginan saya untuk datang, beberapa kali seperti ditangkis halus bapaknya. Saya tak tahu, apakah karena bapaknya sering bepergian keluar kota atau memang tidak selera. Bolak-balik dia menanyakan kesediaan bapaknya itu. Hingga mungkin karena saya ngotot betul ingin ketemu, bapaknya menyerah dan penasaran sendiri. Wkwkwk. Upaya mencari jodoh saya hingga ke Pekanbaru memang tidak main-main.
“Maaf, bahkan saya tidak perlu ketemu kamu sebelum berkenalan dulu dengan orang tua kamu. Senggaknya nanti orang tua kamu pernah lihat laki-laki macam apa yang mendekati anaknya.” begitu whatsapp terakhir saya sebelum proposal pertemuan itu diloloskan.
Sebenarnya saya tak terlalu ingin mencari tahu atau tak ingin tahu banyak soal latar belakang keluarganya. Bagi saya, pengantar-pengantar yang sudah pernah saya dengar dari senior saya itu sudah cukup sekali. Mencari jodoh tidak perlu muluk dan ribet.
Belakangan saya ketahui kenyataannya adalah, bapaknya pejabat penting di sebuah perusahaan BUMN. Bapaknya betul-betul orang penting dan super sibuk. Informasi ini sedikit membesarkan kepala saya sebab si bapak akhirnya menyediakan slot waktu khusus menerima saya. Iya saya, kandidat calon menantunya. Hahaha.
Perlu kalian ketahui, perasaan besar kepala itu umurnya tak panjang. Perasaan itu tiba-tiba lesap, berganti menjadi perasaan jiper. Entah kenapa juga, saya pun mengintip rumahnya lewat aplikasi google maps berdasarkan alamat yang dia kirimkan. Perasaan jiper ini makin berlapis-lapis. Mencari jodoh kali ini sungguh tak akan mudah.
“Sudah, kau naik Gojek aja ke rumahnya. Ngapain malu, kau kan mau cari pendamping hidup. Tunjukkan diri apa adanya.” begitu pesan dari senior saya lewat telepon membesarkan hati, sesaat sebelum saya berangkat.
***
Habis Isya saya meluncur dengan Gojek. Tak sadar, semakin mendekati rumahnya jantung saya semakin menghentak kencang. Ditambah di tengah jalan kami sempat diterpa gerimis, bikin perasaan makin kalut. Tepat tiba di gerbang rumahnya, muncul pesan dari dia.
“Assalamu’alaikum warahmatullah…. Kamu jadi ke sini? Papa sudah nunggu.”
“Ini saya di depan, rumah kamu yang mana?” balas saya memastikan. Sebab, dari balik gerbang saya sudah bisa melihat sosok bayangan perempuan yang saya WhatsApp menunggu di teras. Di kompleks itu, tak ada rumah yang tak megah. Tiap rumah berpagar tinggi, cahaya temaram, bertaman, dan sepi.
Pintu gerbang dibuka, saya disuruh masuk. Jeng…jeng.
Dimulailah kecanggungan demi kecanggungan itu. Rumahnya, tamannya, decit suara gerbang, gemericik air mancur, semua seolah meneror saya. Tiap-tiap benda yang saya lihat seakan tertawa cekikikan, seolah saya baru saja melakukan tindakan konyol.
“Mencari jodoh boleh yang tajir bro, tapi nggak setajir ini juga keles.” umpat saya pada diri sendiri, entah dia dengar atau tidak.
Di langkah pertama, atau setidaknya selama berada di halaman, saya belum berani lihat wajah perempuan itu. Otak saya terlalu sibuk mengurusi napas yang tak teratur, jantung yang bergoncang, dan telapak tangan yang makin basah oleh keringat.
“Ayo masuk. Papa sama Mama udah nunggu di dalam” ajaknya.
“Assalamu’alaikum…. ” suara saya bergetar tak yakin saat memasuki rumah.
“Wa’alaikumussalam, masuklah. Silakan duduk,” di dalam, si papa sudah duduk di atas sofa dengan kedua tangan terbentang, dan satu kaki terlipat di atas lutut kaki yang lain. Ini mirip posisi duduk bos kartel yang menginterogasi anak buahnya yang tak becus bekerja. Sementara mamanya duduk di sisi kiri pada sofa yang lain.
Selanjutnya percakapan itu perlahan mengalir normatif. Saya perkenalkan nama, asal, tempat tinggal, hingga kesibukan sekarang.
Percakapan sempat macet, saat si papa mengherankan keberanian saya datangi rumah mereka hanya bermodalkan info dari tetangganya. Namun, entah seperti apa jawaban saya saat itu hingga bisa cair lagi.
Wajah si papa ini yang awal dipasang galak, kini mulai kendur, santai. Beberapa kali malah saya diajak bercanda dan disuruh minum yang telah disediakan. Meski dalam hati, ada keinginan agar kejadian itu cepat berakhir.
Tapi, tunggu dulu. Tampaknya si papa belum puas. Sepertinya inilah bagian paling penting dalam momen perkenalan sekaligus misi mencari jodoh ini: Latar belakang keluarga.
Pertanyaan demi pertanyaan dicecarkan pada saya seolah menguliti siapa saya. Berangkat dari keluarga macam apa saya ini. Bapak Ibu saya kerja apa, saudara-saudari saya ada berapa, kerja apa, bertebaran di mana saja, yang mengesankan pantas tidaknya jika kelak orang tua saya berbesanan dengan mereka. Kali ini punggung saya mulai terasa basah.
“Mati kita.” lirih saya.
Kuat godaan untuk berbohong dan mengarang cerita. Tapi, itu urung saya lakukan. Saya hadapi saja sebaik-baiknya. Saya terangkan keadaan keluarga saya seadanya, dan tak lupa di akhir saya sampaikan niat besar saya untuk melamar putrinya jika kelak kami cocok dan minta restu mereka. Tak peduli ucapan niat itu terlalu cepat atau sudah pas.
“Okelah, sudah cukup. Saya mau menonton dulu, kalian lanjutkan ngobrol, kenalan.” kata papanya meninggalkan kami berdua di ruang tengah, setelah kurang lebih dua jam saya dicecar. Sesimpel itu saja.
Saya tak tahu apa kesan si papa malam itu. Dari pengakuan putrinya si papa pernah juga menjabat sebagai kepala HRD. Terserah dia menilai “tahap wawancara” saya tadi lulus atau tidak.
Di dalam taksi online yang membawa saya pulang malam itu, saya tak berharap banyak. Hujan lebat yang mengguyur di luar, ditambah dengusan AC mobil sudah membuat saya bersyukur sebab ketegangan tadi perlahan mereda.
Kalaupun misi mencari jodoh dan bertemu si dia untuk pertama kalinya itu dianggap kencan, saya kurang sepakat jika dinilai amburadul. Kalau mau diukur-ukur, malam itu hanya sedikit lebih baik dari amburadul. Menurut saya, malam itu bisa lebih sukses jika saja saya lebih siap dari awal. Maksudnya siap untuk mundur dan tahu diri sejak awal. Wkwkwk.
*Kencan Amburadul adalah segmen khusus, kisah nyata, momen asmara paling amburadul yang dialami penulis Terminal Mojok dan dibagikan dalam edisi khusus Valentine 2021.
Photo by Maria Orlava via Pexels
BACA JUGA Berterima Kasih pada Mantannya Pacar, Bukan Mencemburuinya dan tulisan Fitra Aidil Akbar Siadari lainnya.