Menanam tebu ternyata nggak semanis rasanya
Kemarin-kemarin, Pak Luhut menyarankan warga agar beternak dan berkebun sendiri di rumah, berkaitan tentang krisis pangan. Tentu saja saran tersebut ditanggapi dengan kurang menyenangkan. Ha wong bertani itu nggak mudah je. Tanya aja sama petani beneran, kek mana mereka menyiapkan proses bercocok tanam.
Saat akan mulai untuk bertani, setiap petani memang harus mempertimbangkan beberapa hal. Salah satunya termasuk komoditas pertanian yang akan dipilih. Saat akan memilihnya, petani harus pintar-pintar mengerti apa saja yang menjadi keterbatasannya. Entah itu dari segi modal, luasan lahan, hingga dari segi bentang alam tempatnya berada. Misalnya untuk di dataran rendah, tentu komoditas yang dipilih jangan sampai tanaman yang butuh udara sejuk dan tidak kuat sinar matahari.
Kalau di daerah saya yang notabene di dataran rendah, biasanya petani memilih padi, jagung, bawang merah, cabai, dan terkadang tanaman tebu. Khusus untuk tanaman tebu, ada anggapan yang cukup menarik: kalau punya sawah sedikit jangan coba-coba untuk tanam tebu. Tentu saja, ada banyak alasan yang mendasarinya. Apa saja itu?
#1 Masa panen tebu yang sangat lama
Sudah menjadi rahasia umum kalau tanaman tebu itu memiliki masa panen yang sangat lama. Sejak ditanam sampai bisa dipanen, tebu membutuhkan waktu kurang lebih satu tahun. Misalnya, jika kalian tanam tebu seusai waktu giling sekitaran bulan Juni-Agustus, kalian baru bisa menuai hasilnya lagi pada kisaran bulan tersebut di tahun depan. Ini jadi alasan utama kenapa petani dengan lahan sempit tidak memilihnya.
Perputaran uang yang lambat, bikin orang tidak melirik tanaman ini. Nunggu panen setahun, itu pun belum tentu berhasil panen. Susah.
Belum lagi kalau para petani punya tanggungan utang. Bank plecit yang berkicau tiap hari. SPP anak yang sekolah juga harus dibayar setiap bulannya. Apalagi kalau yang punya angsuran motor karena anaknya nendang pintu dan merengek minta dibelikan KLX.
Jadi, kalau memang lahan yang dimiliki nggak luas-luas amat, nggak usah kepikiran menanam tebu. Mending menanam nama baik saja.
#2 Hasilnya nggak seberapa
Ini juga jadi alasan kenapa banyak petani yang punya lahan sempit jangan sampai coba-coba tanam tebu. Hasil dari panen tebu itu nggak seberapa. Tau sendirilah, di media-media belakangan ini banyak kabar kalau petani tebu itu banyak yang merugi.
Faktor utamanya karena rendemen hasil tebu memang sangat kecil. Setahu saya, rata-rata rendemen tebu yang bisa dihasilkan hanya 10 persen saja. Jadi, dari 100 kg tebu, hanya akan menghasilkan 10 kg gula setelah melalui proses penggilingan.
Contoh kasusnya saja, orang tua saya pernah menanam tebu di sawah dengan luasan 2000 m2. Tahu nggak hasilnya berapa? Laba kotor Rp13 jutaan saja. Rugi, Cak.
Dipotong modal beberapa persen dan biaya panen tebu, anggap saja, hasil bersihnya hanya Rp10 juta per satu tahun. Hasil setahun menanam tebu cuman sepuluh juta, sa mending nangis aja sih.
#3 Kena marah petani lainnya
Biasanya (dan setahu saya), ada “prosesi” pembakaran tebu sebelum dan sesudah panen. Kalau sudah masalah bakar-bakaran, kita akan berurusan sama yang namanya polusi. Kalau yang dibakar cuman dikit gapapa lah ya. Lha kalau berhektar-hektar?
Yang jadi masalah adalah, kadang lahan tebu itu berdampingan dengan pemukiman atau malah lahan pertanian lain. Efek pembakaran tersebut jelas bikin lahan dan pemukiman terkena dampaknya. Udara buruk, jelas. Sampah, jelas. Panas, apalagi.
Petani lain jelas marah sama kondisi ini. Pemukiman mungkin rugi, tapi nggak sampai kena potensi kehilangan pendapatan. Beda cerita sama petani lain. Tanaman mereka bisa mati kena panas atau parahnya, api yang menjalar.
Maka dari itu, sebelum menanam tebu, perhatikan beberapa poin ini, agar nggak zonk. Kalau emang nggak punya lahan luas, mending urungkan saja niat menanam tebu. Mending menanam tanaman lain yang bisa mengisi dapur atau panen cepat.
Penulis: Firdaus Al Faqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Tips Nyolong Tebu Sebagai Sebuah Perlawanan