Ketika membicarakan fenomena mengantongi kerikil bisa membuat kita menahan BAB biasanya orang modern bakalan langsung bilang hal itu mitos. Bagaimana ceritanya batu kecil yang merupakan benda mati, bisa membuat sistem pencernaan kita patuh untuk tidak buang hajat? Tentu hal semacam ini sangat tidak masuk akal karena keduanya tidak ada hubungannya sama sekali.
Jika saya baru tahu hal tersebut di tahun ini, saya akan tertawa. Manusia modern, je.
Namun sayangnya saya bukan manusia modern itu. Saya hanya manusia yang dari bayi setiap bepergian selalu kantong bajunya diisi kerikil oleh ibu saya. Ritual memasukan kerikil itu biasanya dibarengi mantra, “Sudah ibu bawakan kerikil di saku, jangan buang air besar dulu sebelum sampai di tempat tujuan ya!”
Kedengarannya memang lucu dan nggak masuk akal. Tapi, entah kenapa hal kayak gitu nyatanya selalu sukses. Padahal selama perjalanan mulut saya nggak berhenti mengunyah makanan, kerongkongan saya juga sudah seperti jalan bebas hambatan. Makanan dan minuman masuk tanpa kontrol.
Orang tua saya sendiri merupakan orang zaman dulu yang sebenarnya sudah modern. Hanya saja zaman dulu pampers itu belum sepopuler saat ini. Kalaupun ada harganya cukup mahal. Ibu saya sering seorang diri mudik ke Jakarta dari Jogja dengan membawa tiga anak yang masih di bawah umur 10 tahun. Bayangkan gimana repotnya kalau sampai anaknya merengek kebelet buang air besar saat di dalam bus?
Bus malam antarkota kala itu belum menyediakan toilet di dalam bus. Mau disuruh buang air besar di celana, tapi kok ya nanti bikin para penumpang satu bus mabuk. Nggak mungkin juga ibu saya meminta pak sopir untuk berhenti ke toilet serta menunggu anaknya untuk buang air besar dulu. Bisa ngamuk penumpang yang lain kan ya. Sehingga untuk mengakali hal semacam itu, mau nggak mau ibu menganut paham yang dilestarikan simbah saya sebagai jurus untuk menahan BAB.
Sampai sekarang, kadang saya masih bawa kerikil ketika bepergian jauh. Soalnya kadang malas banget kalau mendadak kebelet buang air besar di tengah perjalanan. Kadang kala toilet umum itu sering tidak memenuhi syarat kelayakan sebagai sebuah toilet. Entah itu jorok dan kadang malah nggak ada airnya. Bayangin, sudah kebelet BAB tapi harus berhadapan dengan masalah semacam ini. Namanya maju kena, mundur kena. Payah emang kalau sistem pencernaan itu nggak tahu tempat dan nggak bisa diajak kerjasama.
Saya itu sadar sesadar-sadarnya tentang kerikil dan menahan BAB ini memang tak ada korelasinya. Tapi kenapa juga hal itu bisa bekerja dengan baik. Untuk mengurai rasa penasaran yang menghantui, saya putuskan untuk mendiskusikan hal ini kepada dosen saya yang merupakan psikolog klinis.
Menurut beliau kalimat mantra yang sering diucapkan oleh ibu saya itu merupakan sugesti. Sedangkan seperti yang kita tahu bahwa sugesti itu sebenarnya berada di kognitif atau pikiran kita. Pikiran ini sangat bisa memengaruhi perasaan dan perilaku kita sehari-hari. Nah, ketika perasaan kita dikendalikan oleh pikiran, hal tersebut akan memengaruhi produksi hormon maupun neurotransmitter yang ada di otak kita.
Meski begitu hal semacam ini tentu tidak semudah itu berlakunya. Semua ada syarat dan ketentuannya. Salah satunya jika sugesti ini dilakukan dalam waktu yang lama dan terjadi secara konsisten, tentu akan menghadirkan efek. Sebab, otak kita sendiri bersifat neuroplasticity. Untuk kesehatan sendiri biasanya sangat terpengaruh oleh perubahan perilaku dan bagaimana pikiran kita mengubah cara kita menjalani kehidupan.
Dari pemaparan dosen saya ini, saya memahami satu hal bahwa yang sesungguhnya bukan kerikil yang bikin saya bisa menahan BAB. Tapi, karena otak saya sedang terkecoh pada kerikil. Saat otak saya sibuk pada si kerikil di kantong, dia lupa buat menyuruh lambung dan teman-temannya untuk mengeluarkan kotoran. Mungkin saja jenis otak saya ini nggak bisa diajak multitasking gitu. Jadi ketika fokus pada suatu obyek yah yang lainnya dilupakan.
Otak itu tentu nggak bodoh-bodoh banget buat dibohongi tipuan semacam ini. Tapi, jika kebohongan ini dilakukan terus menerus, lama-lama tertipu juga. Makanya bagi saya yang sudah puluhan tahun otaknya diracuni paham kayak gini, bakalan gampang banget menahan BAB bermodal kerikil. Beda halnya dengan orang-orang yang mungkin baru sekali dengar tentang hal ini. Otaknya tentu bakal mengajak debat atau bahkan baku hantam dengan teori nggak masuk akal seperti itu.
Sumber Gambar: Pixabay