Semarak menyambut hari kemerdekaan memang selalu dipenuhi dengan antusias semua masyarakat. Semua orang sepertinya begitu bahagia menyambut perayaan tujuhbelasan. Jauh hari sebelum tanggal tujuh belas Agustus, kita sudah bisa melihat umbul-umbul dan bendera merah putih berterbaran di sepanjang jalan. Gardu dan gapura desa dicat ulang, serta tiap warga mengibarkan bendera di depan rumah. Momen ini seperti sebuah hajatan bagi seluruh masyarakat Indonesia sehingga seringkali dibutuhkan sumbangan pula dari masyarakat demi terwujudnya acara ini.
Biasanya masyarakat pun berlomba-lomba menghias desa atau kampungnya seunik dan senyentrik mungkin. Tak hanya itu, seperti sudah tradisi, tak lengkap kalau acara tujuhbelasan tidak dimeriahkan dengan berbagai macam perlombaan. Semua ikut serta dalam perlombaan tersebut, baik itu untuk anak-anak, remaja, atau para orang tua. Lalu di acara puncaknya mereka akan menyelenggarakan panggung pentas seni.
Sebagai alumni karang taruna dan pernah juga menjabat sebagai wakil ketua karang taruna desa, saya paham bahwa untuk mengadakan perlombaan dan menyelenggarakna pentas seni semacam itu tentu butuh dana yang tidak sedikit. Pertama kita butuh peralatan serta bahan untuk perlombaan, dan jumlah perlombaannya pun tentu tak sedikit menyangkut ini merupakan kompetisi yang mencangkup satu desa. Kita juga butuh juga dana untuk membeli hadiah untuk pemenang lomba. Lalu untuk panggungnya kita juga butuh peralatan seperti soundsytem dan bahan untuk dekorasi panggung. Belum lagi kalau acara desa itu, kami juga membutuhkan snack dan minum untuk warga yang menonton pertunjukan. Kas desa itu kadang uslit untuk cairnya, dan kas pemuda tentu tak akan cungkup membiaya semuanya itu.
Dengan segala pertimbangan akhirnya tak ada pilihan lain, selain minta bantuan warga sendiri. Jadi motonya, dari warga, oleh warga, dan untuk warga. Beruntung saya dulu tinggal di desa, jadi semua masih serba gotong royong. Snack ditanggung oleh ibu-ibu PKK tiap RT. Soundsystem dan lain-lain kami pinjam dari salah seorang warga yang memiliki perlatan tersebut, jadi bayarnya sukarela dan tidak dipatok harga. Untuk dekor kami kerjakan bersama-sama dengan bahan seminim mungkin dan hanya mengandalkan daya kreatifitas yang seadanya. Perlombaan yang kami adakan pun, diusahakan seminim mungkin untuk tidak mengelurkan bahan yang harus beli. Murah meriah yang penting bahagia.
Itu kenangan saya waktu di desa ya, namun setelah saya merantau dan tinggal di kota orang betapa terkejutnya saya tiap kali menyambut hari kemerdekaan. Sebulan sebelum tujuhbelasan itu, para pemuda dan pemudinya turun ke jalan untuk meminta sumbangan. Itu pun gak tanggung-tanggung, mereka bergerombol berdiri di tengah jalan. Mereka bahkan juga membawa kursi di tengah jalan. Lalu mengacungkan kardus kepada para pengedara yang lewat. Ya ampun, ini jalan raya, Bro. Malah pada nongkrong di tengah jalan gitu maksudya gimana sih?
Hal ini tentu sangat meresahkan dan juga membahayakan baik untuk para anak muda tersebut ataupun pengedara lain. Dan hal yang paling menyebalkan itu, akibat hal ini tak jarang membuat jalanan macet. Kebayang kan gimana rusuhnya. Sudah tahu jalanan padat dan banyak kendaraan, masih juga di halang-halangi. Dengan adanya gerombolan pemuda-pemudi ini tentu saja, ruas jalan semakin menyempit dan mobil serta truk yang melintas akan mengurangi kecepatannya. Sehingga terjadilah kemacetan yang bikin gondok.
Parahnya hal seperti ini sangat lumrah saya temui di sini. Hampir di setiap desa itu semua pemuda melakukan hal serupa. Mungkin sudah seperti tradisi kali ya bagi mereka. Saya tahu, jalan yang dilintasi itu masih masuk ke wilayah desa mereka, tapi yang namanya jalan raya itu kan milik umum. Sehingga bisa dikatakan perbuatan meminta sumbangan di tengah jalan ini sudah merugikan orang banyak demi kepentingan kelompok.
Kalau hendak meminta sumbangan yah sebaiknya dengan cara yang baik juga dong, nggak dengan berdiri dan mengahalangi jalan orang lain yang berkendara. Nanti kalau terjadi kecelakan, yang disalahkan pengendaranya juga. Habislah, dikeroyok oleh orang kampung situ.
Mereka itu akan merayakan sebuah kemerdakaan. Sebuah kebebasan dari belenggu penjajah di negeri ini, tapi mengapa untuk merayakan kemerdekaan masih harus meminta-minta dengan cara seperti itu sih? Bagaimana pun itu merupakan jalan raya, milik umum.
Kita ingin merayakan tujuhbelasan sebagai bentuk syukur kita karena negara kita sudah merdeka dari penjajah, jadi alangkah baiknya jika kita bisa mandiri dan merdeka dari bantuan orang lain. Kalaupun memang harus meminta bantuan, maka lakukan dengan cara yang bijak dan jangan sampai merugikan orang lain. Kebayang nggak sih, gimana nelangsanya para pahlawan kalau melihat generasinya mudanya kayak gitu? Dulu mereka turun ke jalan untuk berperang melawan penjajah demi sebuah kemerdekaan, kini anak mudanya justru turun ke jalan minta sumbangan untuk merayakan kemerdekaan. Kan ngenes yhaaa~ (*)
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) yang dibikin untuk mewadahi sobat julid dan (((insan kreatif))) untuk menulis tentang apa pun. Jadi, kalau kamu punya ide yang mengendap di kepala, cerita unik yang ingin disampaikan kepada publik, nyinyiran yang menuntut untuk dighibahkan bersama khalayak, segera kirim naskah tulisanmu pakai cara ini.