Tumpukan buku berplastik yang tak terjamah dan tak terbaca nampak mulai terlihat seksi di pojok rak buku saya. Bobotnya semakin bertambah dan tingginya semakin semampai. Buku-buku lama tersebut membuat saya teringat, betapa nafsunya saya membeli buku tanpa mempedulikan berapa banyak buku yang belum saya baca.
Nafsu membeli buku saya seperti libido remaja baru puber. Nafsunya sering ngegas. Apalagi ditambah rangsangan macam diskon buku gila-gilaan dan harga ongkir yang murah. Untuk yang ketiga, jujur itu adalah racun bagi para pencinta buku. Toko-toko buku online sudah semacam viagra yang membuat nafsu para pencinta buku terus stabil untuk berburu buku.
Toko-toko buku online begitu lihai mengemas toko mereka dengan berbagai keindahannya. Mulai dari buku yang murah, gratis ongkir, dan ditambah dengan berbagi bonus-bonus yang menyertainya. Melihat itu, saya seperti terangsang terus-terusan ketika menggeser beranda Instagram saya dan selalu menemukan tampilan buku-buku baru yang terlihat menarik akibat toko-toko buku online tersebut.
Alhasil, akibat lemahnya iman saya untuk tidak membeli buku-buku baru terus-menerus. Terbentuklah tumpukan buku-buku lama yang keadannya masih baik dan bersegel yang belum sempat saya baca. Ada juga beberapa yang sudah saya baca namun belum sampai akhir halaman. Buku lama selalu tergantikan dengan buku baru yang saya beli dengan penuh nafsu. Begitu terus siklusnya.
Ada yang mengatakan apa yang saya lakukan tersebut adalah aktivitas menimbun buku. Ada juga yang menyebut aktivitas yang saya lakukan itu adalah hal yang kemaruk alias serakah.
“Masa buku yang lama belum dibaca sudah beli yang baru. Terus pas ngeliat yang baru, pasti buku yang kemarin dibeli nggak dibaca juga.” Begitu kata kawan saya.
Kawan saya ada benarnya, memang seperti itulah kenyataannya. Banyak buku-buku yang tersisihkan tidak terbaca dan tergantikan dengan buku-buku baru.
Jika tumpukan buku lama yang belum terbaca hanya berjumlah satu atau dua. Mungkin masih bisa dikejar untuk menyelesaikan hingga halaman terakhir. Tapi bagaimana jika timbunan buku yang tidak terbaca itu berjumlah puluhan sampai ratusan? Nampaknya seperti sesuatu yang mubazir.
Banyak yang mengatakan bahwa ada baiknya selesaikan buku yang belum terbaca baru beli buku-buku baru.
Ada juga yang mengatakan membiarkan buku-buku tidak terbaca dan terus menumpuknya dengan yang baru adalah sebuah kebodohan. “Buku kok nggak dibaca, buku itu dibaca bukan buat dibeli lalu ditumpuk begitu saja!” Kata mereka yang merasa buku jangan sampai terbengkalai tidak dibaca.
Saya setuju soal buku itu harus dibaca. Namun ketika bicara aktivitas menimbun buku. Saya rasa itu bukanlan sebuah kesalahan selama aktivitas tersebut tidak untuk dikomersilkan atau dijual kembali.
Membeli buku baru walau buku lama belum dibaca bukanlah sebuah dosa. Bukan sebuah aib. Bukan sebuah kesalahan fatal. Itu hak kamu, saya, dan kita semua.
Lupakan soal tsundoku dan bibliomania. Selama buku-buku itu tidak bajakan dan dibeli dengan cara yang sah, di bagian mana aktivitas menimbun buku itu yang salah? Adakah kerugian yang didapatkan lingkungan penerbit, penulis, hingga pembaca? Justru sebaliknya, semua diuntungkan atas penimbunan ini. Ada perputaran rezeki di dalamnya yang pada akhirnya menjadi win-win solution.
Kamu tahu Umberto Eco? Penulis yang konon katanya punya perpustakaan yang berisi 30 ribu buku itu justru tidak memandang rendah mereka yang menimbun buku. Karena baginya buku-buku tak terjamah tersebut adalah sumber ilmu yang tak terduga dan luar biasa. Buku-buku itu sama bermanfaatnya dengan buku yang telah dibaca sampai tuntas.
Selain itu Taleb dalam bukunya The Black Swan menyebut bahwa buku-buku yang telah terbaca memiliki nilai yang jauh lebih rendah daripada buku-buku yang belum terbaca. Ia menyimpulkan bahwa buku-buku yang belum terbaca tapi punya manfaat yang luar biasa itu dengan sebutan antilibrary.
Tidak perlu gelisah dan merasa bersalah. Membeli buku baru walau buku lama belum terbaca itu adalah hal biasa. Ketika buku-buku lama tersebut akhirnya menjadi timbunan tak terbaca. Itu adalah perpustakaanmu yang sebenarnya. Tempat di mana jika suatu waktu kamu memerlukan pengetahuan baru yang kamu tidak tahu. Kamu bisa membongkar buku-buku tidak terbaca itu semaumu. Itu adalah cadangan ilmu yang sangat penting. Bukan sesuatu yang mubazir nggak penting.
Ingat, selama buku-buku yang kamu beli dan timbun itu asli dan tidak untuk kamu perjualbelikan kembali. Timbun saja buku-buku itu sepuasmu.
Ketika banyak yang mengejekmu dan mengatakan itu adalah hal yang sia-sia dan mubazir. Dan lantas kamu dianggap menyia-nyiakan ilmu yang ada di dalam buku-buku itu.
Bisikkan saja ke telinga mereka kalimat ini, “Bodo amat, saat ini aku sedang menimbun harta karun, Bos!”
BACA JUGA Perspektif Orang Ketiga dalam Prahara Rumah Tangga Orang Lain dan tulisan M. Farid Hermawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.