Setelah lulus SMK, bocah laki-laki ini, namanya Edo, mengadu nasib di Jakarta. Awalnya dia bekerja mengurus apartemen. Kalau ada tamu yang mau check-in atau check-out, dia yang menyiapkan semuanya.
Semasa sekolah saya mengenalnya sebagai murid yang kreatif. Dia tidak pintar, tidak pula bodoh. Dia, sewajarnya siswa saja. Kalau toh ada yang menonjol, dia pernah didaulat sebagai aktor terbaik dalam gelaran lomba teater, di mana saya berperan sebagai sutradaranya.
Pekerjaan mengurus apartemen itu itu tak lama Edo lakoni. Gara-gara sistem penggajian yang tidak jelas, Edo resign dan beralih profesi jadi karyawan salah satu franchise terkenal.
Di tempat baru ini, Edo mendapatkan gaji yang lebih baik. Kini, gajinya setara dengan UMR Jakarta. Namun ternyata, masalah belum usai.
Gaji UMR Jakarta itu ternyata nge-pas
Dulu, Edo mengira gaji UMR Jakarta itu banyak sekali. Itu sebabnya, dia merantau ke Jakarta.
Dalam benak Edo, dengan UMR yang menyentuh angka Rp5 juta, Edo bisa menyisihkan sebagian dari gajinya. Untuk kuliah, mungkin. Maklum, Edo lahir dan besar di kampung yang UMR-nya hanya sekitar Rp2 juta. Jadi, duit Rp5 juta itu kelihatan gede banget.
Tapi sayangnya, jauh panggang dari api. Alih-alih bisa menabung, Edo malah lebih banyak putar otak untuk bertahan hidup.
“Gaji UMR ternyata nge-pas banget buat bayar kos, makan, bensin, sama listrik, Bu.” Begitu kata Edo. Di balik pesan teksnya, saya membayangkan dia sedang tersenyum getir.
Ngekos dan makan jadi pos pengeluaran terbesar
Harus diakui, biaya yang dikeluarkan untuk kos dan makan jadi pos pengeluaran terbesar selama tinggal di Jakarta. Rata-rata harga kosan di Jakarta sangat bervariasi tergantung lokasi, luas, dan fasilitas. Kisaran harga kos standar bisa mulai dari Rp600.000 hingga Rp2.000.000 per bulan, belum termasuk biaya listrik dan air.
Sementara kalau mau ngontrak, jelas lebih mahal lagi. Data yang dihimpun dari Pinhome Research menyebutkan bahwa Jakarta Selatan punya peminatan harga sewa tertinggi (Rp60 juta/tahun), sedangkan Depok dan Bekasi paling rendah (Rp20 juta/tahun).
Untuk biaya makan, sebetulnya bisa ditekan dengan cara masak sendiri di kosan. Sayangnya, di tempat kos Edo saat ini, belum tersedia kompor. Jadi, mau nggak mau, Edo harus beli makan ke warteg supaya irit. Tapi tetap saja, gaji UMR Jakarta ternyata terasa mepet sekali.
Diminta ibu untuk pulang kampung, tapi…
Sebetulnya, beberapa kali ibu Edo meminta Edo supaya pulang kampung dan bekerja di pabrik sepatu yang ada di daerahnya. Setidaknya, meski gaji di kampung cuma Rp2,3 juta, Edo tidak perlu pusing memikirkan soal bayar kos, makan, listrik, dsb.
Namun, permintaan tersebut dengan berat hati Edo tolak. Bagi Edo, bertahan di Jakarta adalah pilihan terbaik saat ini. Edo yakin, di Jakarta dia akan menemukan lebih banyak peluang untuk mengejar mimpi, daripada tinggal di kampung.
Fenomena merantau ke Jakarta untuk meraih mimpi memang bukan hal yang baru. Jakarta, bagi banyak orang, terutama generasi muda, sampai detik ini masih terlihat seperti tempat yang tepat untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Terbukti, berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta, tercatat ada sekitar 113.814 pendatang baru ke Jakarta pada 2020, lalu meningkat menjadi 139.740 pada 2021, dan terus naik ke 151.752 orang di semester pertama 2022.
Meski sempat mengalami penurunan di tahun-tahun setelahnya, angka pendatang tetap konsisten berada di kisaran puluhan ribu per tahun. Ini menandakan bahwa Jakarta belum kehilangan daya tariknya.
Dan Edo adalah satu dari puluhan ribu orang itu. Yang rela bertahan meski gajinya mepet, meski kosannya sempit, dan meski ijazahnya pernah jadi korban kebanjiran gara-gara cari kosan yang harganya murah meriah.
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
