Sewaktu SD saya seringkali datang ke acara ulang tahun seorang teman. Kala itu, rasanya senang karena bisa berbagi keceriaan dengan teman-teman. Membawa kado yang sudah disiapkan oleh Ibu sebelumnya, memakai topi ulang tahun, adanya seorang badut sulap yang lucu dan menghibur, sampai membawa kembali bingkisan camilan dari tuan rumah berupa beberapa ciki dan minuman.
Itu jika acara ulang tahun diadakan di rumah. Belum lagi jika dirayakan di salah satu restoran cepat saji seperti McDonald’s. Biasanya akan lebih meriah lagi. Apalagi bingkisan yang dibawa pulang terkesan mewah, ada kentang goreng, nasi, beserta ayam tepung ala McDonald’s. Pada kesempatan lain, terkadang dapat makanan berupa burger McDonald’s. Itu kali pertama saya menikmati burger restoran cepat saji. Ada kesenangan dan kemewahan tersendiri pada masa itu—sekira 20 tahun lalu.
Kini, untuk sebagian orang, makan Big Mac (burger khas ala McDonald’s) bukan suatu hal yang asing. Ditambah dengan gerai yang semakin tersebar di mana-mana. Sampai akhirnya, saya mencoba Whopper kepunyaan Burger King. Sedikit aneh ketika saya baru mencobanya pada kisaran tahun 2014, sewaktu teman-teman yang lain sudah mencobanya lebih dulu.
Tidak perlu waktu lama bagi saya untuk menyukai Burger King, apalagi setelah mencoba beberapa varian burger lainnya. Utamanya, favorit saya sih tetap Whopper ukuran reguler. Setelahnya, Burger King menjadi pilihan utama, sedangkan Big Mac milik McDonald’s secara otomatis tersisihkan ketika saya ingin memakan burger sesekali—khususnya ketika ada uang tambahan.
Tidak sulit bagi saya bertahan dan tetap menjadi pelanggan Burger King hingga sekarang. Selain varian burgernya lebih banyak, cara marketingnya pun unik dan—harus saya akui—elegan. Seperti diketahui bersama, Burger King mempekerjakan pegawai yang memiliki keterbatasan khususnya dalam berbicara dan mendengar.
Niat baik seperti itu pun sempat dipertanyakan, apakah hanya bagian dari strategi pemasaran atau memang betul-betul tulus memberi kesempatan kepada mereka yang memiliki keterbatasan untuk bekerja. Sampai akhirnya, akun Twitter resmi Burger King memberi pernyataan terkait hal tersebut dan menjawab keraguan salah satu pengguna Twitter.
It’s not a marketing strategic shit. It’s just an equal right for everyone to have a decent job thing. Thanks for the shout out tho! 😬 https://t.co/7uOl6hcNBs
— Burger King Indonesia (@BurgerKing_ID) September 5, 2019
Ya, pada akhirnya, hal seperti itu yang membuat Burger King semakin dikenal dan disukai banyak orang. Tanpa harus promosi, justru orang lain yang secara tidak langsung mempromosikan.
Beberapa waktu lalu, Burger King juga sempat membagikan informasi bahwa dalam satu hari, mereka tidak menyediakan menu Whopper andalan mereka untuk mendukung McDonald’s yang sedang ada campaign untuk membantu anak-anak penderita kanker. “A Day Without Whopper”, begitu yang tertulis pada gambar yang tersebar di internet.
Ada pula yang beranggapan, hal itu dilakukan Burger King agar penikmat Whopper paling tidak dalam satu hari bisa mendukung gerakan yang dilakukan McDonald’s dengan membeli Big Mac—yang kemudian keuntungannya bisa didonasikan bagi anak-anak penderita kanker. Apa pun pendapat orang lain, bagi saya, saat persaingan bisnis berubah menjadi saling mendukung untuk kebaikan sesama, tetap saja tergolong baik. Hehe
Selain itu, setiap bulannya Burger King selalu membagikan kupon potongan harga, baik melalui selebaran yang bisa didapat melalui outlet maupun promo lewat akun resmi media sosialnya. Tentu, kupon ini berguna untuk menarik lebih banyak pelanggan. Belum lagi cashback yang didapat dengan pembayaran melalui beberapa platform dompet digital.
Meskipun begitu, bukan berarti saya tidak lagi membeli Big Mac. Pada waktu tertentu, jika rindu dengan rasanya, saya tidak akan ragu untuk membelinya. Hanya saja, sampai dengan saat ini, Whopper dan varian burger lain yang tersedia di Burger King selalu terlihat jauh lebih menarik. Soal pelayanan pun, sampai dengan saat ini selalu mendapatkan yang terbaik. Semoga memang selalu seperti itu.
Sebelum mengakhiri paragraf ini, perlu saya tegaskan juga bahwa tulisan ini bersifat subjektif, tidak ada paksaan apalagi seolah menjadi buzzer bagi salah satu produk yang saya sebutkan. Semuanya tulus karena pengalaman yang dirasakan hingga saat ini. Lagipula, rasanya tidak perlu lah memperdebatkan soal mana yang lebih enak, pasti para pelanggan pun memiliki selera masing-masing. Tapi, masa sih nggak suka sama Whopper-nya Burger King yang enak itu? Yakin? (*)
BACA JUGA Ibu Saya Anggota DPR yang Sedang Didemo dan Anak-anaknya Ribut di Grup WhatsApp atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.