Bahasa terminal dan pelabuhan terkenal ngegas, kasar, dan penuh ekspresi. Tapi, mana yang lebih ngena?
Saya nyaris dipukuli guru mapel kesenian saat masih duduk di bangku kelas 3 SMP lantaran ngatain beliau kayak preman terminal karena sering misuh atau ngomong kasar. Niat saya sih cuma bercanda karena sudah “merasa” akrab sama Pak Guru. Tapi entah, setelah kata-kata itu keluar dari mulut ini, guru berkumis tebal itu mendadak narik seragam saya dan ngajak baku hantam. Lha, terima mundur halus.
Tampang guru itu memang garang dan nggak jarang ngomong kasar. Tapi, justru ini yang malah bikin siswa-siswi merasa dekat sama beliau karena lucu. Saya nggak nyangka Pak Guru bakalan murka. Seingat saya, peristiwa tragis itu terjadi memang pas tanggal tua sih, mungkin ini alasan beliau lebih sensitif dari hari biasanya. Rung gajian mah dikatain preman terminal sama bocah ingusan, lha ya murka!
Jujur, waktu itu saya cuma ikut-ikutan saja ngatain Pak Guru kayak preman terminal, yang khas sama bahasa kasarnya. Saya belum tahu persis kenapa kalau ada orang yang sering ngomong kotor full binatang dan selangkangan selalu identik sama bahasa terminal. Setiap ada orang berkata kasar dianggap kayak preman terminal.
Tumbuh dewasa bikin saya paham kenapa orang tersinggung saat dikatain kayak preman terminal, apalagi seorang guru yang seharusnya dihormati. Ya, banyak sekali kejadian di terminal yang saya alami dan makin menyadarkan kalau rata-rata penghuninya memang punya bahasa yang kasar. Selain di terminal, orang-orang di pelabuhan juga punya bahasa yang sama, kasar dan kadang barbar. Nggak perlu saya kasih contohnya, buka saja di Twitter, banyak banget netizen yang curhat perihal bahasa kasar orang-orang di kedua tempat umum itu.
Daftar Isi
Terminal dan pelabuhan identik dengan bahasa kasar
Iya, saya paham nggak semua penghuni terminal dan pelabuhan suka ngomong kasar. Pasti ada orang berbudi pekerti luhur, kalau ngomong selalu halus, dan menerapkan unggah-ungguh. Tapi, kalau lihat fakta di lapangan, rata-rata orang-orang di terminal dan pelabuhan memang ngomongnya keras.
Salah satu alasan kenapa banyak sopir, kernet, dan penghuni terminal lainnya kalau ngomong kasar, ya, karena faktor situasi, kondisi, dan kebiasaan sehari-hari. Bayangkan saja gimana kampretnya merasakan macet di jalan, dihantam panas terik matahari, banyak orang berseliweran, dan pressure target kerjaan, tentu bikin situasi di terminal jadi “memanas”.
Belum lagi kalau ada sesama kernet rebutan penumpang di terminal, situasi jelas makin panas dan intonasi bicara juga cenderung cadas.
Pekerjaan mereka juga di lapangan terbuka. Artinya, banyak sekali kerumunanan orang dengan beragam latar belakang, mulai dari calo tiket sampai tukang copet, hadir di tempat umum ini. Kondisi kayak gini yang saya rasa bikin penghuni terminal tampak riweh dan memanggil orang pakai nada tinggi. Secara nggak langsung, bukankah hal semacam ini bikin urat-urat keluar dan aliran darah lebih mendidih sehingga berpotensi melontarkan kata-kata kasar?
Situasi di terminal nggak jauh beda sama di pelabuhan. Para pekerja pelabuhan nggak sedikit diisi orang-orang yang dulu pernah sekolah pelayaran. Jadi, nggak heran kalau di pelabuhan kita sering menjumpai orang dengan tubuh kekar dan sangar.
Selain itu, banyak juga tenaga pelabuhan yang punya latar belakang pekerjaan kasar, kayak profesi bongkar-muat, bangunan, dan lainnya. Kita tahu, kondisi di pelabuhan sumpek dan panasnya bukan main. Deru mesin kendaraan dan ombak kadang bercampur jadi satu, tentu kalau ngomong orang di pelabuhan harus keras.
Saya menduga, suasana panas dan ruwet di pelabuhan itulah yang bikin orang-orang di sana kadang nggak sabaran dan omongannya pedas. Terlebih kalau sudah lelah tapi masih dipaksain, tentu darah makin mendidih. Barangkali ini yang bikin terminal dan pelabuhan sampai sekarang identik dan khas dengan bahasa kasar.
Mana yang lebih kasar, bahasa terminal atau bahasa pelabuhan?
Sulit sebenarnya mencari mana bahasa yang lebih kasar antara terminal dengan pelabuhan. Pasalnya, keduanya seperti punya bahasa dengan nuansa yang sama. Baik bahasa terminal maupun bahasa pelabuhan, mirip-mirip dalam intonasinya.
Tapi, berdasarkan pengamatan dan pengalaman saat singgah di kedua tempat umum tersebut, saya rasa bahasa terminal lebih kasar dari pelabuhan deh, ya. Bahasa terminal cenderung lebih ceplas-ceplos, bebas, lepas saat berinteraksi sama orang. Bahkan, nada bicaranya pun sudah sangat khas: keras dan tanpa tedeng aling-aling. Saya sendiri kadang ketawa kalau dengar gaya bicara sopir bus saat berpapasan sama kawannya di jalan, kasarnya tuh ikonik dan autentik gitu.
Mungkin ini nggak lepas dari pengalaman orang-orang terminal, kayak sopir dan kernet, yang sudah malang melintang di berbagai medan sehingga bisa “mengoleksi” kata-kata kasar dari banyak daerah. Selain itu, sesama penghuni terminal mereka juga tampak lebih akrab dan solid dibanding suasana di pelabuhan. Jadi, bahasa kasar lebih mengakar kuat di terminal, baik pisuhan maupun ejekan.
Kondisi pelabuhan yang agak berbeda
Sedangkan di pelabuhan, meski punya bahasa kasar, tapi cenderung lebih tertata dan ada temponya. Biasanya, orang pelabuhan ngomong kasar saat hari-hari tertentu saja, saat penumpang membludak, kerjaan numpuk, atau cuaca lagi nggak bersahabat.
Kalau di terminal, nyaris setiap hari kita akan menjumpai orang-orang ngomong pakai bahasa kasar. Karena bahasa kasar ini nggak cuma dipakai saat mau berantem saja, tapi juga pas ngobrol. Jadi, kesan bahasa kasar benar-benar menempel kuat di terminal. Toh, sampai sekarang, kalau ada orang yang ngomong kasar selalu dikaitkan sama bahasa terminal bukan pelabuhan. Bukankah ini jadi bukti valid kalau bahasa terminal memang lebih kasar dan autentik dibanding bahasa pelabuhan?
Yah, apa pun itu, bahasa kasar nggak bisa dikaitkan sama tindakan kriminal, beda jauh! Terlebih kalau ngomong kasar sama teman sendiri dengan konteks becandaan, lha ya malah wajib. Yang penting tidak korupsi aja, Lur!
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Bahasa Surabaya yang Perlu Diketahui biar Ngobrolmu Makin Ngegas