Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Membaca Watak Buruk Seseorang dan Diri Sendiri dari Tingkahnya di Jalur Pendakian

Aly Reza oleh Aly Reza
22 Agustus 2020
A A
mitos mendaki gunung pendakian mojok

mitos mendaki gunung pendakian mojok

Share on FacebookShare on Twitter

Sejak turun dari pendakian pertama, saya tidak bisa untuk tidak mengamini apa yang sering orang-orang bilang, bahwa di gunung orang-orang pasti akan menampakkan watak aslinya. Ungkapan itu bukan hanya omong kosong. Selama dalam pendakian, entah kenapa saya bisa melihat detail-detail kecil dari temen-temen saya yang selama ini samar dan bahkan belum pernah saya lihat.

Tapi saat mendaki bareng, saya melihat temen saya menjadi sosok yang lain dari yang saya kenal biasanya. Dan bisa jadi itulah watak aslinya yang tersembunyi. Begitu juga mungkin temen-temen menemukan sesuatu yang berbeda dari saya selama dalam pendakian.

Seperti misalnya, kita bisa menyimpulkan seseorang bisa disebut sebagai sosok yang egois dari bagaimana caranya memandang puncak. Biasanya tipikal orang kayak gini mendoktrin dirinya sendiri bahwa puncak adalah segalanya. Tujuan utama ke gunung itu ya emang bisa sampai puncak. Lah kalau bukan ke puncak, terus mau ngapain susah-susah dan capek-capek mendaki?

Saya pernah nih, pas masih tertatih-tatih di jalur terjal bersama rombongan lain, temen saya nyeletuk, “Kalem-kalem aja, Bro. Puncak itu hanya bonus. Tujuan utama tetep pulang ke rumah dengan selamat.” Eh nggak tahunya ada yang menyahut, “Yaelah, kalau tujuan utama rumah ya mending di rumah aja, nggak usah naik gunung.”

Maka, sejak kali pertama melangkahkan kaki di jalur pendakian, pikiran dan hatinya udah auto fokus ke puncak gunung, Nggak peduli lagi apa yang terjadi di sekitar. Kalau udah gini, mereka nggak akan segan-segan buat ninggalin timnya di belakang. Bodo amat lah sama timnya yang kelelahan dan berkali-kali berhenti. Jangankan nungguin, sekadar noleh buat mastiin timnya masih ada di belakangnya aja udah kecil banget kemungkinannya.

Dan sepengalaman saya pribadi, ambisinya tersebut ternyata bukan cuma buat dirinya sendiri. Kalau cuma buat narget biar cepet sampai puncak sih, okelah masih ada pemakluman. Tapi ada beberapa yang cepet-cepetan sampai puncak emang buat membusungkan dada di depan kawan setimnya. Jadi, setelah dia bisa sampai pos terakhir lebih dulu, dia pasti bakal ngerasa sok tangguh ketimbang kawan-kawannya yang baru bisa nyusul sedikit lebih lama kemudian.  Menganggap kawannya lamban lah, kebanyakan bercanda lah, dan melempar aneka macam tuduhan.

Sementara ini orang nggak mau peduli dengan apa-apa yang sempet terjadi di jalan. Misalnya saja, perjalanan terhambat karena ada satu temen yang sering ngos-ngosan, lebih-lebih lagi kalau ada yang sampai staminanya menurun. Mestinya kan butuh jeda lama untuk menunggunya bener-bener siap melanjutkan perjalanan.

Seandainya saja tetep bareng-bareng, pastinya satu tim bisa saling rembug seumpama pendakian tidak bisa dipaksakan harus sampai pos terakhir hari itu juga. Bisa memilih mendirikan tenda di sekitar-sekitar lokasi perhentian. Bisa juga memutuskan untuk turun saja bareng-bareng seandainya kondisi kesehatan rekan setim sedang tidak baik-baik saja. Karena sebenernya, kebersamaan itulah yang bakal ngasih positive vibes buat rekan tim kita yang drop; ngasih energi tambahan yang akhirnya bikin dia kuat buat melanjutkan sisa perjalanan.

Baca Juga:

Dear Maba, Jangan Gabung UKM Mapala kalau Alasannya Cuma Pengin Naik Gunung Aja

4 Pertanyaan yang Bikin Warga Wonogiri Naik Darah

Tapi bagi orang yang mementingkan egonya, rekan setim yang sedang drop ini bukannya dikasih positive vibes, eh malah dianggep sebagai beban.

Kalau situasinya ada satu temen yang udah ngiclik dulu sampai atas kan malah bingung, ya. Misalnya kita mau ngecamp atau bahkan turun lagi, eh tapi mikirin dia yang udah di atas. Kalau ditinggalin kan ya apa bedanya gitu kita sama dia?

Oke punya target waktu dalam pendakian itu penting. Tapi yang lebih penting dari itu adalah memastikan, berangkat 8 orang (misalnya), maka sampai puncak juga harus 8 orang. Turun pun juga jangan sampai jumlahnya berkurang.

Tipikal orang egois juga bisa kita lihat dari loyalitasnya pada rekan setim. Saya ambil contoh kasus dari yang saya alami saja, ya. Ada model orang yang biasanya mokong banget nggak mau diajak gentian bawa barang-barang. Pokoknya maunya dia bawa punyanya sendiri, nggak mau kalau harus gantian manggul bawaan orang lain.

Dalam kasus bawa carrier contohnya, ada dua motif yang melatarbelakangi hal tersebut. Pertama, karena tas bawaannya lebih ringan dan dia nggak mau kalau harus bawa yang lebih berat dari itu. Kedua, kemakan gengsi karena dia bawa yang lebih berat. Diajak gantian nggak mau karena dia pengin tampil gagah di mata orang-orang. Dan itu bisa jadi senjata baginya. Manakala ada rekan se-tim yang ngeluh, “break, break, capek.” Dengan songong nih orang bakal berujar, “dikit-dikit break, dikit-dikit break. Aku yang bawa berat aja tancap terus, kok.”

Belum lagi nanti kalau udah di tenda, pasti segala sesuatu yang dia lakukan cuma buat kepentingannya sendiri. Kayak bikin kopi cuma buat diseruput sendiri. Mendirikan tenda juga cuma yang bakal dia tempati. Ngumpulin sampah yang cuma sampahnya pribadi, dan hal-hal yang pokoknya feed back-nya personal lah. Sementara kalau emang bener-bener punya solidaritas, pasti ada lah kepekaan-kepekaan semacam bantuin temen yang belum kelar benerin tenda atau sekadar bikinin kopi buat kawan-kawan lain.

Itu baru yang selama pendakian. Setelah turun, kita juga  bisa menilai bahwa kawan kita sebenarnya mendaki cuma buat gengsi itu dari ambisi-ambisinya terhadap gunung-gunung lain. Dia langsung bikin list gunung-gunung yang akan didaki dalam waktu dekat.

Kalau urusannya cuma bikin list daftar gunung yang hendak didaki sih, wajar, ya. Tapi model orang yang gedein gengsi ini kelihatan banget grusa-grusunya. Bawannya naik gunung itu pengin digebut sekali waktu. Alasannya, “Semakin banyak dan cepat gunung yang didaki, semakin banyak dan cepat pula ego yang ditaklukkan.”

Tapi kalau grusa-grusu kayak gitu kan malah terkesan mau naklukin gunung, alih-alih menaklukkan ego, Boi. Sebab kalau mau belajar menaklukkan ego dari mendaki gunung, harusnya ya pelan-pelan, nikmati perjalanannya. Setelah turun, ambil jeda untuk merenungkan banyak hal. Termasuk menemukan kekurangan; self-reminder dari pendakian sebelumnya sebagai evaluasi untuk pendakian selanjutnya. Dengan begitu, mendaki bukan cuma sekadar mendaki. Tapi juga menggali sesuatu yang bermakna.

Ini memang perkara subtil, dan oleh karena itulah kita patut berhati-hati dan mempertanyakan  niat kita sendiri. Sejauh ini, sebenernya kita naik gunung itu buat apa? Apa jangan-jangan cuma buat memenuhi kebetuhan insta story pamer di grup WA?

BACA JUGA Lagu Dangdut: Satu Lagu Sejuta Penyanyi dan tulisan Aly Reza lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 22 Agustus 2020 oleh

Tags: gunungpendakian
Aly Reza

Aly Reza

Muchamad Aly Reza, kelahiran Rembang, Jawa Tengah. Penulis lepas. Bisa disapa di IG: aly_reza16 atau Email: [email protected]

ArtikelTerkait

naik gunung

Jangan Naik Gunung, Bahaya!

17 Juli 2019
Mitos Pendakian Gunung yang Masih Dipercaya hingga Saat Ini dan Berhasil Saya Patahkan

Mitos Pendakian Gunung yang Masih Dipercaya hingga Saat Ini dan Berhasil Saya Patahkan

30 Desember 2023
Pendakian Gunung Slamet dan Pengalaman Horor di Pos Samarantu terminal mojok.co

Pendakian Gunung Slamet dan Pengalaman Horor di Pos Samarantu

21 Desember 2021
mitos mendaki gunung pendakian mojok

Mitos, meski Tidak Rasional, Tetap Merupakan Kunci Selamat dalam Mendaki Gunung

19 Juli 2020
mitos gunung

Setan di Gunung: Fakta Atau Mitos

2 Agustus 2019
Mempelajari Kembali Materi Geografi SMA Lewat Drakor Jirisan terminal mojok

Mengingat Materi Geografi SMA lewat Drakor Jirisan, Kenapa Nggak?

16 November 2021
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Madiun, Kota Kecil yang Banyak Berbenah kecuali Transportasi Publiknya Mojok.co

Madiun, Kota Kecil yang Sudah Banyak Berbenah kecuali Transportasi Publiknya

2 Desember 2025
Rekomendasi Tempat Jogging Underrated di Semarang, Dijamin Olahraga Jadi Lebih Tenang Mojok.co

Rekomendasi Tempat Jogging Underrated di Semarang, Dijamin Olahraga Jadi Lebih Tenang

3 Desember 2025
Lamongan Megilan: Slogan Kabupaten Paling Jelek yang Pernah Saya Dengar, Mending Diubah Aja Mojok.co Semarang

Dari Wingko Babat hingga belikopi, Satu per Satu yang Jadi Milik Lamongan Pada Akhirnya Akan Pindah ke Tangan Semarang

30 November 2025
Brakseng, Wisata Hidden Gem di Kota Batu yang Menawarkan Ketenangan

Brakseng, Wisata Hidden Gem di Kota Batu yang Menawarkan Ketenangan

2 Desember 2025
4 Hal Menjengkelkan yang Saya Alami Saat Kuliah di UPN Veteran Jakarta Kampus Pondok Labu

4 Hal Menjengkelkan yang Saya Alami Saat Kuliah di UPN Veteran Jakarta Kampus Pondok Labu

1 Desember 2025
6 Hal Sepele, tapi Menyebalkan Saat Zoom Meeting Mojok

6 Hal Sepele, tapi Menyebalkan Saat Zoom Meeting

30 November 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.