“Untuk merekatkan batu bata, zaman dulu digunakan putih telur.” Itu adalah salah satu info andalan yang jadi ciri khas tour guide di Tamansari. Dari penuturan tersebut, Tamansari terkesan lebih fantastis dan angker. Betapa hebatnya nenek moyang kita yang mampu membangun dinding batu bata bermodal putih telur.
Saya berani jamin Anda akan mendengar mitos ini saat berkunjung ke Tamansari. Mitos ini begitu dekat dengan kehidupan warga Tamansari. Saking dekatnya, mitos ini dituturkan berulang kali dengan penuh rasa bangga.
Sayang sekali, tulisan saya kali ini bukan untuk memuja teori tak logis tersebut. Saya ingin mematahkan mitos yang sering dituturkan berulang-ulang perihal Tamansari. Baik tour guide maupun warga lokal gemar mengisahkan mitos ini kepada turis lokal maupun mancanegara. Dan seringkali, tuturan mitos ini diterima sebagai fakta ilmiah bagi para turis.
Sebagai salah satu penduduk asli Tamansari, saya juga sering mendengar dongeng ini. Baik dari orang dekat, maupun menguping penuturan tour guide yang berapi-api. Sebenarnya, tidak sulit untuk mematahkan mitos tersebut. Hanya butuh sedikit rasa penasaran serta mencari literasi yang tepat. Mari kita patahkan mitos ini dan luruskan fakta dari salah satu landmark Keraton Yogyakarta ini.
Sedikit perihal sejarah, Tamansari mulai dibangun pada tahun 1758. Menurut kratonjogja.id, desain komplek pemandian ini didasari oleh gagasan Sri Sultan HB I. Sedangkan gambar teknisnya dikerjakan oleh seseorang berkebangsaan Portugis bergelar Demang Tegis. Mega proyek ini diselesaikan oleh Sri Sultan HB II pada tahun 1765.
Dari tahun pembuatannya saja, Tamansari bukanlah bangunan kuno apalagi purba. Pada era tersebut, semen sederhana telah lazim digunakan dalam pembangunan. Bukti paling mudah adalah melihat bangunan yang jauh lebih tua. Salah satunya adalah petilasan Kotagede yang dibangun era Mataram. Pada sisa dinding benteng serta bangunan makam bisa kita temui batu bata dengan plester seperti semen.
Bangunan lain yang bisa menjadi perbandingan adalah Fort Rustenburg. Benteng Belanda yang kini dikenal sebagai Benteng Vrederburg dibangun pada masa yang sama dengan pembangunan Tamansari. Dan bisa dipastikan, Benteng Vrederburg juga menggunakan plester sebagai perekat batu penyusun dinding benteng.
Jika bangunan yang lebih kuno saja telah mengenal plester, bagaimana mungkin bangunan yang lebih muda dibangun dengan keajaiban putih telur. Apalagi dinding Tamansari rata-rata memiliki ketebalan 1,25 meter. Sangat mustahil untuk memasrahkan ketahanan dinding ini kepada lendir bening yang jadi bakal makanan embrio ayam.
Selain membandingkan dengan bangunan lain, kita juga perlu menilik sejarah Tamansari. Perlu kita ingat, arsitek Tamansari adalah seseorang berkebangsaan Portugis. Meskipun bukan pemimpin proyek, namun Demang Tegis tetap memberi arahan pembangunan. Sudah pasti SOP yang dipakai Demang Tegis adalah SOP pembangunan Eropa.
Pada era 1700-an, plester berbahan dasar mineral telah umum dipakai di Eropa. Hanya saja, hak paten atas semen baru diberikan kepada Joseph Aspidin pada tahun 1824. Apakah sebelum semen dipatenkan, bangunan-bangunan Eropa menggunakan putih telur? Dan putih telur menjadi SOP pembangunan yang digunakan Demang Tegis? Tentu saja tidak.
Pembuktian saya yang terakhir adalah dengan mengambil langsung sampel plester dari reruntuhan dinding Tamansari. Beruntung, beberapa sudut bangunan belum dapat direnovasi dan menyisakan dinding asli yang menganga. Tanpa perlu membawa sampel ini ke laboratorium, saya sudah dapat membuktikan bahwa lapisan putih di antara batu bata adalah plester bercampur pasir. Gampang banget kan?
Tapi, apakah ada kemungkinan bahwa putih telur dapat dipakai untuk merekatkan batu bata? Tentu saja tidak. Telur adalah material organik berbahan dasar protein. Umumnya bahan organik akan mudah terdegradasi oleh bakteri. Selain itu, putih telur juga mudah larut dalam air? Apakah mungkin kita memasrahkan ketahanan dinding pada material yang mudah busuk, mudah larut, dan amis ini?
Sekarang mari kita bandingkan dengan plester kuno yang sederhana. Plester sederhana menggunakan kombinasi batu kapur dan tanah liat. Tanah liat yang digunakan umumnya adalah tanah liat hitam yang kaya silika, aluminium oksida, dan oksida besi. Ketika ramuan ini mengeras, dia akan serupa gerabah yang tahan air dan tidak mudah larut. Dengan logika sederhana, Anda akan memilih putih telur atau plester?
Lalu, mengapa mitos menyebalkan ini bisa subur? Saya bisa memaklumi mitos-mitos spiritual jika subur di Tamansari. Apalagi Tamansari memang memiliki pesona yang angker ala bangunan tua. Tapi untuk mitos putih telur sebagai perekat batu bata sudah di luar akal sehat dan akal spiritual. Lalu dari mana mitos ini muncul?
Jika kita perhatikan, mitos penggunaan putih telur sebagai perekat batu juga muncul pada bangunan candi. Plester putih tipis yang merekatkan batu candi dituding sebagai putih telur. Seolah-olah, batu candi bisa direkatkan seperti Anda merekatkan lumpia. Karena terdengar tidak logis, maka mitos ini diselimuti kabut kesaktian para leluhur. Entah mengapa, mitos candi ini bisa ditransfer ke Tamansari.
Meski pun membuat pengunjung kagum, namun sudah selayaknya informasi yang diberikan perihal Tamansari diluruskan. Menyampaikan fakta ini tidak akan mengurangi romantisme bekas pemandian para Sultan ini. Justru, menyampaikan mitos putih telur dapat menggiring opini publik pada satu pemahaman keliru: istana air ini tidak lebih megah dari lumpia.
BACA Mengapa Ganja Dilarang di Sini dan Dilegalkan di Sana? dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.