Tahun lalu, Megawati nyentil milenial yang nggak berdampak apa-apa terhadap laju pertumbuhan bangsa. Beberapa pekan lalu, Megawati nyenggol ras terkuat di bumi, yakni ibu-ibu. Masalahnya juga pelik banget, tentang minyak. Di dalam webinar, Megawati bilang ibu-ibu kebanyakan nggoreng makanan. Padahal, nggoreng makanan jauh lebih mulia daripada nggoreng isu kan, ya? Eh.
“Saya tuh sampai ngelus dada, bukan urusan masalah nggak ada atau mahalnya minyak goreng. Saya itu sampai mikir, jadi tiap hari ibu-ibu itu apakah hanya menggoreng? Sampai begitu rebutannya?” kata blio, dikutip dari TribunNews.
Belum selesai sampai sana, kini Bu Mega nyentil ibu-ibu lagi. “Saya lihat di pasar-pasar sekarang akibat sudah dilepaskannya PPKM, ibu-ibu berbondong-bondong beli baju baru dan sebagainya. Padahal, di lain sisi bingung, mereka antre minyak goreng,” kata Megawati dalam acara BRIN.
Ini jadi makin pelik menengok lawan Megawati saat ini bukan Prabowo, Lord Amien, atau bahkan milenial yang nggak bisa apa-apa itu. Lawan Megawati itu sesama ras blio, ras terkuat, yakni ibu-ibu. Sudah pasti geger geden NATO dan Russia nggak ada apa-apanya ketimbang konflik sesama ras terkuat di bumi ini. Thanos juga mundur alon-alon.
Bahas masalah minyak dan baju Lebaran (belakangan ini) kepada ibu-ibu itu, sungguh amat sensitif. Ini sama seperti bahas kapan kerja kepada mas-mas yang hobinya ngejumbleng neng ngarep cakruk sambil main kiu kiu atau karambol. Atau, ini sama seperti bahas tiga periode atau dua periode kepada Pak Jokowi.
Ibu saya tiap malam sampai insecure dan overthinking sambil dengerin lagu-lagunya Olivie Rodrigo dan Billie Eillish di kamar hanya karena mikirin minyak. Ndilalah, ada ras ibu-ibu lainnya yang menyenggol masalah minyak. Apalagi kata-katanya nyebelin minta ampun, “Jadi tiap hari ibu-ibu itu apakah hanya menggoreng?”
Belum selesai, malah ditambah: bingung ngantre minyak, tapi berbondong-bondong beli baju Lebaran.
Bu Mega, dari pada bingung mulu, mending turun ke lapangan. Betapa gembiranya hati seorang ibu yang membelikan baju Lebaran untuk anaknya, lantas sang anak senyum-senyum senang. Senyum adalah hal yang sama langkanya seperti minyak goreng belakangan ini, Wahai Bu Mega.
Sekali-kali, Bu Mega perlu ikuti daily routine ibu saya ketika di rumah. Setelah salat subuh, blio nge-drakor dulu. Drakor baru favoritnya sekarang itu Thirty Nine, Our Blues, King of Tears Lee Bang-won, dan re-run Hospital Playlist Season 1.
Habis itu, ibu saya ya masak untuk keluarga. Siangnya, blio kerja di biro perjalanan buat dapat penghasilan untuk beli minyak goreng. Walau anaknya sudah kerja, blio tetap nanya mau dibelikan baju Lebaran apa nggak. Keren, kan, ibu saya? Setidaknya, ia lebih keren dari ibu-ibu yang kerjanya bingung mulu.
Emang, sih, ibu saya nggak sekeren Bu Mega yang sudah sebuyut itu, tapi masih memberi petuah-petuah yahud. Apalagi, itu bagi keberlangsungan negara agar tetap aman, terkendali, mumpuni, dan ngosak-ngasik.
Aktivitas goreng makanan tiap hari, ya nggak bisa diganti aktivitas lain. Misalnya, diganti ngomentarin minyak langka tanpa memberikan solusi dan malah nyalah-nyalahin ibu-ibu yang hobinya masak. Pendapat itu justru mengasumsikan bahwa Bu Mega nggak paham apa masalah utama dari langka dan mahalnya minyak goreng belakangan ini.
Namun, nggak mungkin Bu Mega nggak paham masalah minyak goreng belakangan ini. Saya sih yakin, kalau Bu Mega mau, Indonesia sudah maju sejak blio menjabat sebagai presiden di negara ini. Kalau mau lho, ya. Mungkin blio waktu menjabat belum mau, jadi Indonesia belum maju-maju.
Saya yakin Bu Mega sudah tahu kelangkaan ini dengan akurat. Saya yakin Bu Mega pasti sudah tahu adanya cukong nakal yang bikin pendistribusian minyak di Indonesia jadi mampat. Apalagi, penggunaan minyak goreng di Indonesia dalam berbagai industri juga tinggi, loh.
Hal yang menjadikan Bu Mega bertanya kenapa ibu-ibu pada antre beli baju Lebaran, tapi sambat dengan harga minyak, itu bisa dipahami. Tapi jangan dipahami dengan akal sehat. Memakai akal sehat untuk menelaah pemahaman ini, hanya membuatmu makin sakit kepala.
Jawabannya adalah Bu Mega nggak pernah ngalami masa sulit. Apa pun zaman yang menyertai langkahnya, hidupnya nggak pernah merasakan betapa sulitnya seorang ibu banting tulang demi membeli seperangkat baju koko untuk anaknya. Atau baju trendy demi anaknya bisa bergaya di hari yang fitri nanti.
Mungkin Bu Mega pernah susah saat zaman Orde Baru, tapi privilese sebagai anak pendiri bangsa sulit dimungkiri bahwa beli baju Lebaran saja sepele baginya.
Bu Mega juga mungkin belum pernah belanja ke tukang sayur di sekitar desa. Di sana, sambatan adalah menu utama. Yang jadi korban bukan kebijakan pemerintah, melainkan mas-mas penjual sayur. Sekali-kali, coba Bu Mega turun dari menara gading yang nyaman itu. Seperti Gus Dur yang rela turun biar orang-orang yang kepingin blio turun, nggak berbuat dosa lebih jauh dari itu.
Kata penyair Carl Sandburg, be careful with your words. Tapi kayaknya kata-kata Carl Sandburg ada pengecualian, deh. Lha wong sekaliber Bu Mega, blunder dikit ya nggak bakal kenapa-kenapa. Harusnya quote itu diubah jadi begini: be careful with your words, kecuali nek kamu adalah Megawati.
Penulis: Gusti Aditya
Editor: Audian Laili
BACA JUGA Megawati Adalah Tokoh yang Paling Banyak Memberi Sumbangsih untuk Indonesia