Gelaran MotoGP 2022 di Indonesia, tepatnya di Mandalika, sejak awal wacana hingga hari-H selalu ramai dibicarakan dan menjadi sorotan banyak kalangan. Bukan lagi soal siapa yang optimis dan pesimis, tapi juga melebar sampai dengan topik bahasan di luar dugaan: angka 13, mistis, dan klenik.
Oke, saya urai secara singkat satu per satu jika sebagian di antara kalian ketinggalan huru-hara ini. Pertama, pada tikungan ke-13 di lintasan Mandalika, Marc Marquez terjatuh dan motor Alex Rins terbakar. Banyak para cenayang dadakan menghubungkan kejadian ini dengan hal mistis seperti: angka 13 dan lintasan balapan—tepatnya tikungan ke-13—dulunya adalah kuburan. Tanpa maksud mendoakan yang buruk, jika memang demikian, kenapa korbannya hanya Marc dan Rins?
Kedua, di waktu yang bersamaan sesaat sebelum balapan kelas MotoGP dimulai, hujan turun sangat lebat dan membasahi lintasan. Belum lagi cuplikan video yang memperlihatkan kilat yang menyambar suatu titik di sekitar lintasan. Wajar saja jika balapan ditunda untuk sementara waktu hingga hujan reda dan lintasan dinyatakan aman digunakan kembali oleh pihak penyelenggara.
Di sela-sela hujan lebat dan balapan yang ditunda sementara waktu, ada kejadian unik yang sukses mencuri perhatian banyak penonton. Baik secara langsung, melalui layar kaca, dan linimasa internet. Adalah sang pawang hujan, Rara Isti Wulandari, yang sedang bertugas dan melakukan ritual di sepanjang lintasan Mandalika, sekaligus menjadi sorotan khalayak.
Komentarnya beragam, sih. Ada yang tetap support ritual yang Mbak Rara lakulan agar balapan bisa segera dimulai. Ada yang merasa hal tersebut aneh dan sangat nggak penting dilakukan. Terlebih ini adalah gelaran MotoGP, berbasis ilmu pengetahuan yang dipadupadankan dengan data. Bahkan, nggak sedikit yang mengkategorikan dengan syirik, klenik, dan sebangsanya. Ada juga yang terang-terangan mengaku malu. Lantaran tayangan ritual dari pawang hujan malah dipertontonkan dan jadi sorotan secara global.
Lah? Pertanyaannya, kenapa juga harus malu? Emangnya ente siapa? Kocak, dah.
Nggak lama setelah banyaknya olok-olokan tentang Mbak Rara dan profesinya sebagai pawang hujan, beberapa netizen berinisiatif meng-upload screenshot postingan dari @bigalphaid yang mengungkap bahwa, bayaran Mbak Rara sampai tiga digit untuk 21 hari. Apa nggak sebaiknya malu sama diri sendiri aja, Ngab? Dapat salam dari bayarannya Mbak Rara, tuh.
Padahal, jika memang di antara kita masih belum tahu teknis pekerjaan tentang pawang hujan, rumusannya cukup sederhana saja. Aplikasikan teori Johari Window untuk punya landasan: coba memahami sebelum membenci.
Sederhananya, teori Johari Window menjelaskan tentang bagaimana seseorang bisa memahami dirinya sendiri dan orang lain melalui komunikasi dan pemahaman satu dengan yang lain. Ada empat bagian yang perlu dipahami.
Pertama, open self: di mana kalian dan orang lain, sama-sama mengetahui informasi tentang diri kalian sendiri. Kedua, blind self: kalian nggak tahu, tapi orang lain mengetahui. Ketiga, hidden self: kalian tahu, tapi orang lain nggak tahu. Keempat, unknown self: baik kalian dan orang lain sama-sama nggak tahu tentang potensi yang dimiliki.
Memang, teori ini diperuntukkan agar seseorang dapat lebih memahami diri sendiri. Namun, secara general, masih sangat memungkinkan jika diaplikasikan untuk persoalan yang berkaitan dengan wawasan atau ilmu pengetahuan. Termasuk perihal pawang hujan. Nggak perlu buru-buru bilang malu, sesat, klenik, sampai mistis, sedangkan kita sendiri belum tahu bagaimana cara kerjanya.
Masalahnya, persoalan bisa menjadi rumit jika banyak orang judging secara serampangan. Maksud saya, melalui teori Johari Window, paling nggak klean yang mengaku paling science bisa mengerem pemikiran sejak dini, untuk nggak judging dan sembarang menyampaikan bahwa orang lain mutlak salah. Beropini tentu tidak salah. Namun, jika sudah judging, tentu menjadi lain persoalan, Kawan.
Dan ritual yang Mbak Rara lakukan sebagai pawang hujan, alih-alih bikin malu seperti yang disampaikan kebanyakan orang, bagi saya malah punya daya tarik sendiri, sih. Paling nggak, kita jadi mengetahui seperti apa ritual pawang hujan lebih dekat. Lagian, dari sekian banyak hal menarik yang disajikan melalui balap MotoGP, kenapa fokusnya gampang banget dialihkan ke pembahasan tentang malu pakai pawang hujan, klenik, dan sebangsanya, sih?
Penulis: Seto Wicaksono
Editor: Rizky Prasetya