Memahami Arti Resesi Pakai Bahasa Tukang Gorengan

Memahami Arti Resesi Pakai Bahasa Tukang Gorengan

Memahami Arti Resesi Pakai Bahasa Tukang Gorengan (Pixabay.com)

Dari kemarin-kemarin, resesi begitu ramai dibicarakan. Ya di Instagram, di TikTok, di Twitter, di mana-mana ngomongin resesi. Rasa-rasanya, ini bagai hantu yang siap meneror siapa saja dan kapan saja.

Tapi, sejauh yang saya lihat, ada dua jenis reaksi orang ketika dengar kata resesi. Pertama, parno setengah mati dan mulai melihat rekening mereka yang nggak seberapa itu. Kedua, ngang ngong nggak ngerti. Wajar sih kalau nggak ngerti, memang nggak simpel perkara ini.

Sebenarnya, apa resesi itu? Dan kenapa orang bisa takut bener sama barang satu ini?

Secara sederhana, resesi itu artinya minusnya pertumbuhan ekonomi suatu negara secara dua kuartal berturut-turut (6 bulan). Penurunan itu dilihat dari perbandingan antara pertumbuhan dua kuartal yang sama di tahun sebelumnya. Misalnya pada 2021 pertumbuhan ekonomi di kuartal 1 dan 2 di angka 5 persen, tapi di kuartal yang sama, 2022 kok malah minus 5 persen, artinya negara tersebut sudah mengalami resesi. Kalau ini terjadi terus-terusan secara beruntun, dampaknya bisa depresi.

Resesi itu seperti kamu yang sedang mengalami stress selama dua minggu berturut-turut karena daganganmu sepi, sehingga pendapatanmu menurun. Omzet penjual biasanya bisa sampai 2 jutaan selama dua minggu, ini malah omsetnya hanya 1,5 juta. Selisih 500 ribu dari penjualan dua minggu sebelumnya. Nah, kalau omset ini terus menyusut tiap minggunya, tentu kamu nggak hanya akan stres, malah bisa depresi.

Nah penyebabnya apa kok negara bisa resesi?

Penyebab dari resesi ini punya berbagai versi. Tapi, secara kronologis, kalau dilihat pada konteks saat ini, penyebab resesi itu pertama adalah kelangkaan barang-barang penting karena konflik geopolitik di negara-negara maju. Bedebah kau Rusia. Hal ini kemudian berimbas pada inflasi (kenaikan harga-harga barang tersebut), dan akhirnya berdampak pada naiknya suku bunga. Ketiga faktor itu terjadi secara berkesinambungan di berbagai negara.

Sekali lagi, bedebah kau Rusia. Blyat!

Kalau masih bingung, saya kasih analogi paling mudah, Ibaratnya, kamu seorang pedagang gorengan, bahan baku vital agar jualanmu tetep jalan adalah minyak goreng. Ndilalah, kok minyak goreng sedang langka sehingga harganya naik. Selain itu, di saat bersamaan, tepung juga naik karena saat ini di pasaran juga langka.

Kelangkaan itu disebabkan karena penjual minyak goreng sama penjual tepung kenalanmu sedang nggak akur. Pedagang minyak fans MU, pedagang tepung fans Liverpool. Mereka adu bacot siapa yang paling jago (padahal keduanya lagi sama-sama ampas). Karena konfliknya sudah nggak sehat, mereka berusaha mematikan bisnis rivalnya. Caranya, dengan kompak nggak jual barang ke temen rivalnya.

Penjual minyak goreng nggak mau jual minyak ke penjual gorengan kayak kamu karena kalau gorenganmu laku, artinya si penjual terigu juga bakal untung. Begitu juga sebaliknya. Nah kamu akhirnya harus susah payah nyari minyak dan terigu ke penjual lain dengan harga yang lebih mahal. Ketika itu terjadi, otomatis kamu butuh biaya lebih untuk berjualan gorengan. Recipe for disaster banget ini, potensi resesi mulai muncul.

Nah persoalannya, jika harga yang naik itu tidak diimbangi dengan kenaikan harga jual gorenganmu, ya kamu bakal rugi, minimal porsinya disesuaikan agak kecil. Tapi, semua itu malah berimbas pada pelangganmu yang malah nggak mau beli gorengan. Mereka lebih memilih bikin gorengan sendiri, karena mereka juga sedang susah karena barang-barang lain juga sedang langka dan harganya pada naik. Mereka lebih irit bahkan pelit. Di sisi lain, ada bang tongol mas-mas koperasi yang datangin pelangganmu menawarkan tabungan dengan bunga tinggi tiap bulannya. Yah uangnya akhirnya disetorkan ke mas-mas koperasi.

Secara naluriah, ketika harga-harga barang naik, orang lebih ingin berhemat dan menabung. Kondisi naiknya harga-harga (inflasi) oleh negara nggak akan dibiarkan karena uang yang nganggur di celengan ayam itu nggak baik, harus muter. Caranya gimana? Ya naikkan suku bunga biar orang pada mau nyimpen uangnya di bank. Iming-imingnya, ya bunga yang tinggi. Kalau semua pada naruh uangnya di bank, penjual gorengan kayak ente bakal gigit jari karena orang-orang bakal punya duit nganggur yang sedikit untuk dibelanjakan.

Nah akhirnya penjualanmu pun menurun, kamu pun stres, dan mulai memaki-maki negara. Semua salah negara. Terutama Rusia, blyat!

Negara-negara di dunia, baik yang maju maupun yang nggak maju-maju, itu pada dasarnya menjadi produsen untuk satu sama lain. Dunia ini seperti Pasar Tanah Abang yang di dalamnya banyak sekali pedagang. Negara punya basis ekonominya masing-masing yang saling bergantung satu sama lain.

Jika satu barang saja mengalami kelangkaan, tentu menyebabkan efek domino. Jika ada satu pedagang yang cekcok dengan pedagang lain, imbasnya bisa satu pasar ketika itu tidak ditangani dengan baik. Interaksi antarnegara itu sensitif. Ngambek dikit, rudal udah siap meluncur.

Untuk masyarakat Indonesia, meski kondisi resesi saat ini belum terlihat berdampak, setidaknya harus siap-siap. Indonesia sendiri pertumbuhan ekonominya masih positif, di angka 5,44 persen di kuartal II lalu. Ke depannya sih, who knows?

Menyambut resesi ini (ceilah disambut), sebaiknya mulai memikirkan untuk investasikan uang kalian. Itu kalau ada uang lebih. Kalau nggak ada, ya… yaudah. Mau gimana lagi? Mulai pikirkan cari uang sebanyak-banyaknya. Tapi nggak lewat slot sama parlay juga. Jangan kepikiran kredit barang dulu, kepentok inflasi menangis kau.

Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Biar Nggak Parno Soal Resesi Ekonomi, Kamu Perlu Baca Tulisan Ini

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version