Saya mau cerita tentang sebuah fenomena yang nggak pernah kejadian sebelumnya di negeri ini. Tentang seorang Presiden yang begitu dicintai oleh media. Mulai dari sidaknya ke gorong-gorong saluran air, jaket Bombernya, sepatu Sneakersnya, sampai momen diantarnya beliau menggunakan Bajaj ke KPU. Saya sebut fenomena ini dengan istilah “Politainment” ala Presiden kita, Joko Widodo.
Sebelumnya, mari kita kembali ke era Soekarno terlebih dahulu. Dalam buku “Penjambung Lidah Rakjat” karangannya, Soekarno selalu berusaha tidak bersahabat dengan media. Pun dalam blusukannya. Dia pernah dicap sebagai Budak Moskow karena dekatnya hubungan Uni Soviet-Indonesia di jamannya.
Prinsip ini membuatnya tidak terlalu menyukai pemberitaan media. Soebandrio Dubes RI era Soekarno dan Wakil PM 1 RI menjabarkan, Soekarno selalu mengenakan masker dan berdandan urakan saat ingin menemui warganya, dia hanya ditemani satu ajudan berdandan preman, dan tidak pernah ada media di sana. Beliau selalu ingin diberi masukan dari tiap-tiap suara rakyatnya.
Kenyataan ini beralasan. Media saat itu banyak memberikan citra buruk kepadanya. Alben Barkley, Wapres AS mengatakan, Soekarno bahkan pernah diberitakan “bermain dengan pelacur” saat pergi ke Tokyo; yang mana berita itu adalah hoax belaka. Gara-gara pemberitaan itu, banyak orang mulai menghujat beliau, dan orang-orang yang menghujat itu orang Indonesia sendiri.
Agak sedikit maju ke Era Gusdur. Saat itu, Almarhum Gusdur memberikan kemerdekaan pers bagi para wartawan setelah reformasi. Kemerdekaan pers di sini dimaknai dalam artian Wartawan sendiri boleh dan wajar mengkritik Pemerintah. Departemen Penerangan pun pada saat itu dicabut karena terkenal senang mengekang media yang cukup kritis.
Tapi jika kita lihat, apa yang terjadi saat ini sangat berbeda. Jokowi bisa dibilang begitu mencintai keberadaan media di sekelilingnya; bahkan Jokowi banyak berteman dengan petinggi media. Namun di sisi yang bersamaan, pendukungnya banyak yang anti kritik jika media memberi kabar negatif kepadanya.
Mengapa?
Cerita dimulai dari kepemimpinan beliau saat menjadi Walikota Solo. Saat itu, upaya persuasifnya untuk mengajak 900 pedagang Taman Banjarsari menuju Pasar Klitikan untuk relokasi berjalan lancar tanpa adanya penolakan berarti dari hasil diskusi berbulan bulan. Media pun mulai menyorot keberhasilan beliau ini.
Narasi-narasi mengenai gaya beliau yang sangat sederhana; representasi dari kita dan kalian kebanyakan. Mukanya “polos”, bajunya biasa saja, badannya kurus, kalau ngomong pelan dan seperti “ngemong” dan latar belakang belliau sebagai pengusaha kayu sukses—bukan dari keluarga militer membantunya mendapat banyak simpati ketika meniti karier di ranah politik. Singkat cerita, semenjak menjadi Walikota Solo, karir politiknya dibilang cukup sukses.
Belasan penghargaan diraihnya saat itu. Bahkan masyarakat Solo memilihnya untuk menjadi Walikota selama dua periode. Namanya mulai muncul di media nasional, terlebih saat di DKI Jakarta. Lihat bagaimana media memberitakan dan meliputnya saat beliau mengawas langsung gorong gorong di Jl MH Thamrin. Jongkok di antara lubang tutup air untuk mengawasi sumbatan air yg datang dari hulu ke hilir.
Bagaimana publik bisa nggak suka? Jarang ada pejabat yang mau “seperti ini”..
Jokowi pandai sekali melakukan self branding. Saat terpilih menjadi Gubernur Jakarta bersama BTP pun, di hari pertama Jokowi memang langsung menggebrak. Dengan gaya dan style baju kotak-kotaknya, semua mata tertuju padanya. Bahkan baju itu dulu menjadi pride/identitas kebanggaan akan Pemimpin yg dicitrakan merakyat.
Pun dalam bentuk video. Jokowi mendobrak pakem yang selama ini “tidak terlihat” dimiliki oleh pemimpin sebelumnya. Dia berani turun ke dinas terkait, ke pasar, ke gorong gorong, sesuatu yang baru bagi masyarakat DKI saat itu. Media pun rajin memberitakannya. Orang-orang di Sosial media juga memujinya.
Tidak salah rasanya medio 2012-2014, memang menjadi tahun Jokowi sebagai politisi. Semua orang mengelu-elukannya. Hampir tiap anak muda menjadi reaktif pada tiap pergerakan politik yang dibuatnya. Semua yang diberitakan media tentangnya jadi sarapan kita setiap hari.
Namun…
Mark Deuze (Media Life, 2011) mengatakan bahwa kita sebenarnya tidak hidup bersama media; namun kita hidup dalam media itu sendiri. Apa yg kita lihat, apa yg kita dengar, melalui berbagai macam platform media (baik cetak, visual, dan digital), berpengaruh pada pola pandang kita.
Selama ini, banyak dari kita yang seolah terhipnotis akan lenggak lenggok Jokowi di media.
Apakah perlu sekelas Gubernur berkunjung ke gorong gorong atau Presiden berkunjung ke lokasi pembakaran hutan demi kepentingan foto? Padahal, ada asisten/bawahan lain yang bisa ditugaskan. Citra ini juga diwujudkan dalam tiap pemberitaan media tentang style Jokowi selama memimpin negara: Jaket, sepatu, sarungan, naik motor, nonton konser Metal, dsb. Peliputan ini perlu disampaikan demi hausnya masyarakat Indonesia (terutama pemuda) akan berita pemimpin yang membumi.
Media massa adalah pilar keempat (the fourth estate) dalam masyarakat, dan Jokowi memegang semua itu. Terlebih saat ini (2019), TV One sendiri milik ARB dari Partai Golkar sudah merapat menjadi koalisi. (artikel foto ini tahun 2017)
Jokowi memegang hampir seluruh pemberitaan media
Apalagi soal RUU Penyiaran, yang mana revisinya ingin merubah sistem penyiaran dari multi mux > single mux. Artinya Single mux akan memberikan kuasa lebih pada pemerintah untuk membatasi penyiaran ke publik. Contohnya, media pro publik kalau mau kritik negara, ya harus izin 🙂
Gua sendiri kurang tahu sekarang apakah RUU ini sekarang sudah sah/belum. Sudah hampir setahun mogok di DPR pembahasannya. Katanya akhir tahun sih mau dikelarin, bilangnya beberapa bulan lalu. Jika single mux disahkan dan semua media pro-pemerintah bergabung, bayangkan saja ?
Justus Nieland, membahasakan Politainment yakni gabungan pemberitaan politik & entertaiment/industri hiburan. Sekilas tidak ada yang salah dengan politainment; Media untung karena rating yang diberikan publik cukup tinggi. Politisi untung punya ruang untuk tampil bersih. Dan… masyarakat juga senang melihat politik tidak menjadi suatu hal yang serius dibincangkan. Namun di sini lah justru masalah utamanya
Kita semua lebih suka pemberitaan tentang cucu presiden, nikahan anak presiden, update pakaian presiden, dibanding kebijakan yang selama ini dilakukannya. Politik dimaknai bukan lagi sebagai putusan hajat hidup orang banyak yang dibentuk dalam program dan data; karena tertutupi oleh gimmick dan citra yang diberikan media kepada sosok.
Nielsen juga menjelaskan politainment terbagi dua; “Hiburan politik” dan “Politik yang menghibur”..
Hiburan Politik adalah suatu keputusan politik yang dipandang dari sudut hiburan. Semisal, pernikahan anak SBY dan anak Hatta yang diliput media. Kalau “Politik yg menghibur”, yakni aksi politik politisi untuk menarik minat publik melalui unsur hiburan. Seperti? Jokowi dangdutan..
Biasanya, politisi melakukan hal ini untuk pesan yang ingin disampaikan dan waktu politis yg ingin dikerjakan; semisal saja rajin turun jejak pendapat/kumpul ke masyarakat saat Pilkada/Pilpres; sesuatu yang seharusnya bisa juga dikerjakan sehari hari dan tidak harus mendekati pilpres ?
Media adalah layar, sesuatu yang bisa dilihat. Dan layar adalah soal citra. Tidak ada rasionalitas dalam politik layar kaca. Maka dari itu, pintarlah memilih bacaan. Telaah.
Apakah dari sumber yang valid dan tidak punya kepentingan? ? Sebagai masyarakat, bijaklah memilih bacaan ?
BACA JUGA Indonesia Lagi Lucu-lucunya… atau tulisan Andi Kamal Reza lainnya. Follow Twitter Andi Kamal Reza.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.