MasterChef Indonesia telah memasuki season ke 7. Sudah 7 juara juga yang telah lahir di kompetisi memasak terbaik di Indonesia ini. Tentu bukan perkara mudah untuk bisa juara di MasterChef Indonesia. Jangankan untuk juara, untuk bisa masuk dan menjadi pesertanya saja juga susah. Jadi bisa dikatakan merupakan sebuah kebanggan bisa menjadi peserta MasterChef Indonesia, apalagi kalau bisa menjadi juara.
Selain itu, adanya juri yang berkompeten di MasterChef Indonesia membuat kompetisi ini semakin menarik. Para juri MasterChef yaitu chef Juna, chef Renatta, dan chef Arnold sudah tidak diragukan lagi kualitasnya dalam dunia masak-memasak. Mereka membuat jebolan dari MasterChef Indonesia sudah pasti merupakan orang yang terbaik dari yang terbaik di negeri ini.
Akan tetapi, meskipun MasterChef Indonesia merupakan kompetisi masak terbaik. Tetap ada kekurangannya, yaitu hanya ada interaksi dua arah antara peserta dan dewan juri. Sehingga ajang ini hanya akan melahirkan individu yang jago memasak. Oleh karena itu, peserta MasterChef masih belum teruji saat bekerja di professional kitchen dan membuat peserta “mungkin” harus belajar lagi jika ingin bekerja di restoran.
Bekerja dan memasak di restoran itu susah dan tidak semua orang bisa melakukanya. Mengutip pernyataan dari chef Juna saat Podcast dengan Deddy Corbuzier. Beliau memberikan statement legendaris yaitu, “It doesn’t matter how good you can cook, we care that you can do what I told you to do.”
Inti dari statement itu adalah chef tidak peduli sejago apa pun kau memasak. Chef hanya peduli kau bisa melakukan apa yang chef katakan, dan itu adalah prinsip dasar di professional kitchen dan pengalaman itu bisa didapatkan di kompetisi yang bernama Hell’s Kitchen.
Hell’s Kitchen Indonesia merupakan kompetisi yang bisa mendidik para pesertanya agar bisa running di professional kitchen. Di sini, kondisinya hampir sama dengan apa yang terjadi di restoran mewah baik di hotel maupun tidak. Maka jangan heran kalau Hell’s Kitchen penuh dengan umpatan-umpatan kasar dari head chef yang mumet orderan menumpuk dan harus segera diselesaikan agar bisa dihidangkan ke meja tamu.
Dalam kompetisi ini, peserta yang terbagi atas 11 pria dan 11 wanita dan dibagi jadi 2 tim yaitu tim merah dan tim biru. Mereka juga hanya memiliki waktu istirahat yang sempit. Bangun jam setengah 5 pagi dan tidur jam 12 malam. Setiap hari selama 24 hari. Selain waktu istirahat yang sempit, para peserta juga dihadapkan dengan berbagai kegiatan selama sehari full yang tentu membuat fisik peserta sangat terkuras.
Tantangan dimulai di pagi hari saat peserta dibangunkan setiap jam setengah 5 pagi. Di sini peserta akan mengikuti Team Challenge yang tentu adalah memasak. Bagi tim yang menang mereka akan mendapatkan Heaven dan bagi tim yang kalah akan mendapatkan Hell. ketika mendapatkan Heaven, biasanya peserta akan diajak makan ke restoran mewah, mendapatkan voucher belanja, spa, dan masih banyak lagi yang bisa didapatkan.
Sementara untuk peserta yang mendapatkan Hell, mereka akan membersihkan dorm, preparation untuk dinner service, terkadang disuruh latihan fisik, dan masih banyak lagi derita yang didapatkan oleh mereka. Hal ini membuat peserta akan mati-matian untuk bisa mendapatkan Heaven karena akan mendapatkan keuntungan yang luar biasa.
Namun, inti dari acara ini adalah saat dinner service. Di sini para peserta benar-benar dituntut kerja sangat keras. Prinsip chef Juna saat dinner service adalah do right, start strong, and finish strong, no matter how long you cook in the kitchen. Ini membuat banyak peserta kepayahan saat sedang dinner service dan tentu membucahkan amarah dari chef Juna saat di dapur Hell’s Kitchen Indonesia.
Tentu, jika ada peserta yang tidak sesuai standar yang diinginkan oleh chef Juna, mereka akan menerima umpatan dan makian dari chef Juna. Membuat para peserta dipaksa untuk memiliki mental, kesabaran, ketenangan, kecepatan kemampuan, ketelitian tingkat dewa agar mereka bisa menyelesaikan semua pesanan yang datang agar makanan bisa segera dihidangkan di meja tamu yang datang.
Tidak jarang juga, chef Juna terpaksa men-shutdown Hell’s Kitchen Indonesia akibat para peserta yang tidak bisa menghandle pesanan yang datang. Jika pun dinner service tidak di-shutdown, peserta juga tidak akan aman posisinya karena selalu ada eliminasi di setiap akhir dinner service. Hal ini membuat peserta dipaksa harus selalu menunjukkan performa terbaiknya di dapur setiap hari agar mereka tidak dipulangkan dari Hell’s Kitchen Indonesia.
Dari penjelasan di atas, kita bisa tahu bahwa begitu beratnya menjadi peserta di Hell’s Kitchen Indonesia. Mereka tidak hanya dituntut pandai memasak, tapi juga harus mampu mengerjakan apa yang chef Juna katakan. Hal ini membuat tingkat stres peserta sangat tinggi karena sekali mereka tidak bisa melakukan apa yang chef Juna katakan, mereka akan menerima umpatan atau panci yang melayang.
Dari sini kita tahu bahwa Hell’s Kitchen Indonesia lebih horor ketimbang MasterChef Indonesia. Bukan, begitu?
Sumber Gambar: Hell’s Kitchen Indonesia
BACA JUGA Yang Tidak Dimasak Ketika Memasak di MasterChef Indonesia dan tulisan Yongky Choirudin lainnya.