Jogja yang dahulunya terkenal sebagai kota parawisata dan kota pelajar—sekarang tidak jauh berbeda dengan Ibu kota. Semakin malam semakin ramai—seakan jam malam merupakan jam beraktivitas untuk para golongan anak muda yang sukanya kongkow rame-rame—haha hihi hingga pagi.
Semakin malam obrolan semakin ngalor ngidul. Tapi jangan negative thingking dulu ah, wahai para orang tua yang melihat kelakuan anaknya seperti Bang Toyib.
Jarang pulang
Anak jarang pulang
Anak jarang berkabar
Saat kongkow sedang berlangsung sesungguhnya telah terjadi pertukaran ide-ide cemerlang yang memang dibutuhkan. Mulai dari membicarakan nasib negara yang sudah jelas KPU mengumumkan siapa presidennya, namun masih saja kubu sebelah tidak terima, kepolisian yang mencari pihak penyebar video penyiksaan ketimbang menghukum pelaku pengroyokkan. Duh Gusti, kenapa sih dengan negara saya ini~
Yang makin membuat kepala tak berhenti bergeleng sembari terus mengelus dada adalah saat terjadi aksi yang katanya damai malah memakan korban. MasyaAllah itu orang – orang coba beraksi di masjid saja agar mendapatkan kemulian lailatul qadar dibanding membakar kendaran juga merusak taman Jakarta. Mereka kira semua itu dibeli dan dibuat makai daun kali ya—heran deh.
Jika dana negara mengucur deras untuk perbaikan nanti kembali protes dengan alasan tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat kecil—padahal yang merusak ya masyarakat sendiri. Kalau sudah kejadian seperti ini siapa yang dapat disalahkan? Siapa yang akan menanggung biaya perbaikan ? Ya jelas saja negara.
Bayangkan jika tidak merusak banyak kendaraan, tidak menghancurkan taman, kan dana untuk perbaikan itu semua dapat dialokasikan ke tempat atau bagian yang seharusnya. Saya bukan bermaksud membela para petinggi, namun yang namanya merusak dan menimbulkan kerugian yang tetap saja kelakuan yang tidak benar.
Coba kembali bayangkan jika aksi dilakukan di masjid saat menjelang sahur—akan terberkahi sekali negara kita ini. Aksi diganti dengan membaca Alquran beramai-ramai, zikir dengan khidmat, juga salat dengan penuh kekhusyukan. Damai, tenteram tanpa adanya kekerasan—andai seperti ini, andai ini semua terjadi—sungguh mulia warga negara kita yang katanya muslim terbesar di dunia. Pada akhirnya kita hanya bisa berandai-andai—semoga kelak menjadi nyata meski entah kapan terjadinya.
Harusnya seperti masjid di Jogja dong—sudah memang kotanya istimewa ditambah masjid yang ramai setiap salat Maghrib tiba, makin istimewa saja masjid beserta jamaah di dalamnya. Bagaimana tidak, masjid biasanya ramai karena banyak sekali masjid di Jogja menyedikan takjil gratis untuk semua orang yang menunaikan salat Maghrib berjamaah.
Jogja yang katanya kota pelajar dapat dibuktikan dengan jumlah para jamaah masjid yang datang mayoritas adalah mahasiswa anak rantau. Momen takjil gratis seperti ini sangat membantu kami para perantau dalam perihal mengirit uang jajan untuk membeli tiket pulang ke kampung halaman—pengiritan uang jajan seperti ini merupakan salah satu bukti bahwa anak pendatang itu tidak selalu ada isi dompetnya.
Saat tahun pertama bulan Ramadan di Jogja, sempat bingung melihat masjid yang menjadi begitu ramai—tidak seperti biasanya. Saat sesampainya di depan masjid melihat barisan nasi kotak terjejer dengan begitu rapi beserta teh hangat nan mengiurkan, saya jadi paham mengapa jamaah masjid bertambah begitu saja. Ini baru masih masjid dekat kosan, belum lagi masjid besar yang menyediakan ribuan makanan, seperti halnya Masjid Jogokariyan.
Jelas saja saya penasaran dengan berita yang tersebar di dunia maya juga sekaligus ingin merasakan euforia buka bersama dengan ribuan jamaah di Masjid Jogokariyan. Akhirnya saya pun bersama teman mencoba sekali waktu untuk menjadi salah satu bagian dari peserta ribuan buka bersama disana. Waw tenyata lumayan sesak juga, susah sekali mecari tempat parkir karena banyak sekali kendaraan yang sudah terparkir yang kemungkinan sudah datang sedari siang.
Beberapa masjid bahkan membuat list menu buka puasa selama bulan Ramadhan, dan informasi mengenai menu ini sangat cepat tersebar melalui pesan whatsapp, yang menggelikan adalah saat seorang teman membuat grup khusus “takjil hunter”. Grup ini lah yang menentukan masjid mana yang akan menjadi tempat berbuka.
Tidak seharipun grup ini absen dari rencana setiap sorenya—memilih masjid yang akan didatangi, mengecek setiap menu yang sudah didapatkan infonya, dan luar biasanya salah seorang teman memilih masjid dengan melihat takmir yang bertugas dengan dalih menjemput calon imam yang di idamkan—bukankah muliah mengharapkan calon imam yang saleh? Ya sudah dilarang protes, segala sesuatu kan tergantung niat—dan niat teman saya kan baik. haha
Atau boleh juga untuk kalian tiru tingkah laku kami ini perihal menjadwal masjid mana saja yang akan didatangi—toh tidak merugikan dan malah menguntungkan, baik dari segi finansial dan keimanan. Hazekkkk~
Tugas mulia sebagai seorang anak kos yang baik hati nan beriman di bulan puasa ya menjelajahi masjid yang ada di Jogja,—dan lebih jelasnya masjid yang menyediakan makanan untuk berbuka puasa dengan menu-menu yang berbeda.
Kata siapa anak rantau jarang makan enak? Sini ke Jogja—akan saya ajak wisata kuliner gratis saat berbuka puasa. Mau apa—gulai kambing? sate ayam? nasi kotak isi rendang? Semua ada—tinggal rajin-rajin saja mencari tahu menu buka puasa di berbagai masjid.
Hampir setiap masjid menyediakan makanan sekelas restoran standar, cuman bedanya makannya harus ngemper bareng-bareng bersama jamaah lain. Ya tidak masalah juga saya rasa, biar seperti presiden kita dong—merakyat.
Namun disayangkan, memasuki tahun keempat berpuasa di Jogja, belum pernah menemui masjid yang menyediakan takjil es buah—mentok-mentok teh hangat, atau yoghurt, itupun hanya pernah sekali saat di Masjid Agung Alun-Alun.
Coba deh bayangin, sudah makan enak ditambah es buah nan komplit plus susu kental, allahuma gusti nikmat mana lagi yang saya dustakan.
Doa pun saya ajukan special untuk para donatur, barang sekali saja memberikan es buah agar masjid semakin ramai jamaahnya, juga semakin sering kembali jangan hanya sesekali apalagi jika hanya saat lauk berkelas yang dinanti.
Ngomong-ngomong mengenai donatur makanan, kini menjadi salah satu cita-cita bagian dari mereka saat tau masjid jogja banyak takjil gratisnya, coba bayangkan jika saya menjadi donatur takjil disalah satu masjid besar dijogja.
Pernah mendengar hadist yang mengatakan bahwa, seseorang yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun juga.
Bayangkan jika setiap orang yang datang ke masjid merupakan orang-orang yang beriman, yang tidak sedikitpun melewatkan kesempatan di bulan suci Ramadan sebagai ladang pahalanya—melakukan tadarus, tahajud juga duha, tidak membiarkan hatinya berhenti melakuakan zikir. MasyaAllah seberapa besar pahala yang saya dapatkan jika saya memberi takjil bagi golongan kaum muslimin yang beriman itu.
Otw bangun rumah makan ahhh—biar tahun depan bisa memberi makan banyak orang, biar masjid makin ramai. Bukan hanya warung kopi saja yang seperti tidak tahu waktu—awan sepi bengi rame banget. Bukan berarti saya tidak mendukung gerakan kongkow di malam hari, ya tetap saja disayangkan jika bulan Ramadan tidak diindahkan dengan kegiatan ibadah, toh datang hanya sekali dalam setahun.
Andai masjid juga ramai di malam hari, jadi kita mencari lailatu qadar ramai-ramai—bukan hanya mendekati si Laila di kampus saja, toh belum tentu juga mendapatkannya. Berbeda halnya jika lailatul qadar, jika tetap tidak bisa mendapatkannya maka setidaknya pahala kita akan dilipat gandakan oleh Tuhan.