Beberapa waktu ini kenyamanan saya sebagai seorang pelayan publik agak terusik dengan sebuah tulisan dari Kang Andri Saleh di Terminal Mojok, berjudul Masih Ngebet Jadi PNS? Pikir-pikir Lagi. Tulisan ini agak wagu menurut saya, karena ia sendiri sepertinya seorang PNS, tapi masih cupu. Kurang jauh maennya jadi PNS.
Jadi gini. Kang Andri bilang “selama masa pandemi, PNS justru lebih sering kerja di rumah (WFH), sementara gaji tetap masuk. Mantap.”
Laaah kan lagi pandemi, bro. Pembatasan jumlah orang yang bekerja di kantor. Sudah dibatasi saja teman-teman banyak yang terpapar si Covid-19. Mau dipaksa masuk tiap hari? Yang penting output kalau di masa pandemi. Toh, tetap jalan birokrasi tanpa harus masuk tiap hari.
Meski WFH, asal tahu ya, sejak pandemi justru jam kerja malah nambah. Malam pun saya tetap rapat, bedanya sekarang virtual. Artinya, gaji yang didapat, nggak gabut juga alias gaji buta juga. Setimpal dengan mengorbankan waktu keluarga. Kurang ikhlas apa, coba?
Dalam tulisan di alinea selanjutnya, Kang Andri ini menguliti kekurangan PNS sampai lima poin.
Pertama, katanya gaji PNS pas-pasan. “Pas untuk kebutuhan sehari-hari selama sebulan. Nggak cukup untuk investasi, modal usaha, apalagi jalan-jalan ke luar negeri.”
Jadi gini, bro. Kalau targetnya investasi besar, modal usaha milyaran, yaaa nggak cocok PNS, jadi pengusaha aja, cari kreditan bank besar, sana. Itu juga kalau punya jaminan. Kalau memang masih mau punya usaha lain di luar PNS, ya cari sampingan di luar jam kerja tanpa mengorbankan jam produktif. Marketplace tambah luas juga di era digital sekarang. Jualan online kalau laku, lama-lama juga bisa jadi investasi.
Mau jalan-jalan ke luar negeri? Siapa bilang nggak bisa, heh? Banyak kesempatan jalan-jalan ke luar negeri. Program-program short course dari negara-negara luar, sekolah di luar negeri, atau dinas ke luar negeri. Semua sah, bukan nilep anggaran. Semua dapat dipertanggungjawabkan. PNS yang tugas dan fungsi kerjaannya terkait mitra di luar negeri, biasa saja ke luar negeri. Apalagi PNS di Kementerian Luar Negeri, yang kerjanya memang di luar negeri. Kan PNS juga itu, hayooo.
Kedua, katanya PNS sering mutasi. “Ngurusin pindahan itu nggak gampang. Mulai dari nyari tempat tinggal baru, angkut-angkut barang, sampai ngurus pindah sekolah untuk yang udah punya anak sekolah. Tiga pula anaknya. Ampun lah”
Bukannya pas masuk CPNS, syarat diangkat bersedia ditempatkan di mana saja? Ingat UU 5/2014 tentang ASN dan PP 11/2017 tentang Manajemen ASN, tertulis bahwa setiap ASN harus bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau negara lain yang ditentukan oleh instansi pemerintah. Laah kenapa sekarang ngeluh?
Saran saya, mumpung masih muda dan banyak kesempatan di luar PNS, pikir-pikir lagi, deh. Kalau saya pribadi, nyaman aja mutasi, jadi nggak stuck di satu tempat. Variasi kok, tugas negara juga. Tempat baru, lingkungan baru, penghasilan baru.
Ketiga, katanya skill PNS nggak berkembang. “Nggak ada inisiatif mengembangkan potensi, menekuni hobi, dan kegiatan lainnya. Efeknya baru kerasa pas menjelang pensiun. Baru nyadar ntar pas pensiun bingung mau ngapain.”
Siapa bilang? Tergantung kita juga. Kalo emang bawaannya mager dan nggak berfikir visioner, ya seperti yang digambarkan. Pensiun bingung mo ngapain. Banyak kok pensiunan PNS tetap aktif. Ada yang jadi penulis buku, jadi trainer pelatihan, ada juga yang malah jadi pengusaha, karena udah bebas nggak terikat jam kerja. Jadi jangan digeneralisir dong. Nggak fair, Kamerad!
Keempat, katanya kreativitas PNS mati. “Di dunia birokrat, ide-ide liar dan kreatif nggak berlaku. Mau sekreatif apa pun kamu dalam pekerjaan, keputusan tetap ada di tangan atasan.”
Ngeri kali. Dengerin ya, banyak kok atasan yang sangat membuka peluang aktualisasi diri bawahannya. Contohnya atasan saya yang mengapresiasi baik lisan dan pemberian kesempatan menggantikannya di forum-forum resmi, adalah bentuk yang langsung terasa. Toh yang dapat nama kalau bawahannya maju, kan atasan juga? Pasti orang bertanya,” Siapa sih atasannya?”Anak buah siapa sih, itu?” Atasan yang bijak akan berkata,” Bukan seberapa lama aku mempertahankan jabatanku, tapi seberapa banyak kader yang dapat kuhasilkan setelah aku tak menjabat.”
Kelima, menurutnya PNS berpeluang berutang. “Godaan terbesar jadi PNS itu adalah menggadaikan SK PNS. Lumayan lah bisa ambil KPR, nyicil mobil, renovasi rumah.”
Come on, an! Yang tergoda ngutang itu bukan hanya PNS! Bahkan orang yang katanya horang kaya pun, utangnya ada! Lebih banyak malah. Jadi semua orang punya potensi ngutang, nggak hanya PNS!
Namun, dari tulisan Kang Andri ini, ada juga yang benarnya, yakni PNS masih tetap menjadi favorit menantu idaman para calon mertua. Hal ini saya rasakan saat dulu jadi CPNS jomlo. Jadwal kencan saya padat tiap akhir minggu, memenuhi undangan para ibu-ibu yang ingin mengenalkan anaknya. Saya tidak mengatakan implisit saya tampan ya, istri saya sih yang bilang, uhuk.
Ibu-ibu yang mengundang saya ke rumah mereka tadi, rata-rata PNS. Artinya, pengalaman hidup mereka telah mengajarkan nilai lebih dari seorang PNS. Setidaknya dalam logika manusia akan terjamin kesejahteraannya putrinya ketika mereka sudah menutup mata. Ketenangan batin yang mereka kejar.
Persoalan nantinya nyambi jadi penulis lepas di Mojok, ya nggak ada larang, namanya juga usaha. Buktinya situ nulis, saya juga nulis. Kalau bilang banyak profesi menggiurkan lain selain PNS buat jadi pilihan diri, yaa banyak sih. Tapi, emang yakin situ masuk kriteria?
So, jangan patahkan asa adik-adik yang akan menjadikan PNS sebagai jalan hidupnya. Bisa jadi memang amanah orangtuanya. Atau cita-cita terpendam hidupnya, menjadikan PNS sebagai jalan Ninjanya.
Dan perlu diketahui pula, penghasilan PNS nggak hanya dari gaji doang. Nggak sesusah yang digambarkan Kang Andri itu juga. Ada tunjangan lain yang akan didapatkan. Ada tunjangan kinerja sesuai kelas jabatan yang terbagi menjadi jabatan fungsional dan jabatan struktural. Jumlahnya hingga lebih dari sepuluh hingga belasan juta, kok. Selain itu ada tunjangan makan, tunjangan suami/isteri, tunjangan anak-anak, perjalanan dinas. Belum lagi kalau jadi narasumber di luar instansinya, minimal satu JP sekitar satu jutaan untuk selevel eselon tiga saja. Bahkan kalau jamnya nambah, cuan pun menyesuaikan.
Jadi buat Kang Andri Saleh, nikmati dan syukuri dulu aja, semua ada waktunya, ada masanya. Kata pepatah Jawa “nek wes ono sukurono, nek durung teko entenono, nek we lungo lalekno, nek ilang iklasno”.
Jadi bagi kalian yang masih ngebet jadi PNS, nggak usah pikir-pikir lagi. Daftar aja!
BACA JUGA ‘Max Havelaar’, Novel yang Harus Masuk dalam Kurikulum Diklat PNS dan tulisan Suzan Lesmana lainnya.