Kembalinya Kishimoto sensei dalam menggarap Boruto pasca chapter 51, dirayakan oleh banyak orang. Bahkan hal ini sempat menjadi trending Twitter di pertengahan bulan November lalu. Namun, tidak sedikit pula yang skeptis dengan keputusan ini. Pasalnya, Kishimoto punya stigma buruk di kalangan para feminis. Pandangan tersebut terutama berhubungan dengan suramnya perkembangan karakter perempuan garapan Kishimoto.
Sejak komik Naruto tamat, kritik tentang jeleknya penanganan plot karakter perempuan sudah bertebaran di jagat media sosial. Ambil contoh paling kentara, misalnya, fungsi Sakura dan Hinata yang bisa dibilang cuma pelengkap jalan cerita Naruto dan Sasuke. Cara paling mudah untuk menguji, apakah peran perempuan memiliki plot yang bagus atau tidak adalah dengan mengandaikan hilangnya tokoh laki-laki.
Dalam kasus Sakura dan Hinata, kedua tokoh perempuan tersebut seolah tidak memiliki tujuan, cita-cita, dan arah yang jelas seandainya Naruto dan Sasuke mati atau hilang dari cerita. Bandingkan dengan karakter Sarada dalam serial Boruto garapan Kodachi sensei yang sejak awal mendeklarasikan diri ingin menjadi Hokage. Dari situlah kekhawatiran kiamat plot pada Sarada dan banyak karakter perempuan lain di Boruto bermula, setelah Kishimoto memutuskan untuk melakukan take over pada cerita Boruto.
Apabila inti bahasan digeser lebih luas pada anime dan manga secara umum, mangaka Jepang memang terkenal selalu androsentris. Tokoh utama selalu laki-laki, sementara objektifikasi tokoh perempuan selalu diadakan demi fan service, memuaskan fantasi pembaca laki-laki. Lihat saja Tsunade yang sebenarnya sudah nenek-nenek, “tidak diizinkan” untuk terlihat tua demi memenuhi konsep wanita ideal: putih, muda, dan seksi.
Kecenderungan ini membuat mangaka perempuan legendaris seperti Hiromu Arakawa (Fullmetal Alchemist), atau yang sedang naik daun seperti Gege Akutami (Jujutsu Kaisen), dan Kazue Kato (Blue Exorcist) tidak cukup nyali untuk menonjolkan tokoh utama perempuan. Praktis hanya Rumiko Takahashi (Inuyasha), Naoko Takeuchi (Sailor Moon), dan Momoko Sakura (Chibi Maruko-chan) yang cukup berani menjadikan karakter perempuan sangat dominan dalam catatan panjang sejarah industri manga dan anime.
Maka, tidak heran kalau pembaca dan penggemar manga berjenis kelamin perempuan tidak pernah sebanyak fans laki-laki. Para mangaka generasi baru tidak belajar dari kesalahan menahun yang terjadi mungkin bahkan sejak Dragon Ball lahir. Padahal, lewat My Neighbor Totoro, bapak animasi Jepang, Hayao Miyazaki telah memberi contoh karakter perempuan yang kuat.
Kembali pada perkembangan plot cerita anak Naruto yang milenial, Boruto. Tokoh perempuan utama sejak serialisasi Naruto, seperti Sakura dan Hinata hanya dicitrakan sebagai ibu rumah tangga yang masakannya jarang disentuh suami. Apalagi alasannya kalau bukan Naruto sebagai Hokage yang terlalu sibuk tanda tangan di kantor, atau Sasuke yang mentally unstable sampai-sampai terlalu kecanduan minggat dari rumah dengan alasan misi memata-matai Kara.
Karakter perempuan lain yang kurang signifikan seperti Ino Yamanaka, meniti karier sebagai florist atau penjual bunga wisuda dan styrofoam belasungkawa. Padahal seharusnya seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi dalam Boruto universe, emansipasi dan kontribusi perempuan juga harus ditingkatkan. Perkembangan teknologi seperti listrik, komputer, dan kereta justru diafiliasikan pada Kaminarimon Company, industri milik ayah Denki.
Peluang pengembangan karakter perempuan dalam Boruto sebenarnya masih terbuka lebar, misalnya di bidang industri makanan. Para pembaca manga dan penonton anime tentu cukup familiar dengan resto tempat nongkrong Boruto dan kawan-kawannya, Lightning Burger (Kaminari Burger). Meskipun ada kata Kaminari, belum diungkap secara gamblang apakah spot kongko favorit Boruto ini juga milik perusahaan ayah Denki Kaminarimon.
Harusnya, penemu burger di Boruto universe diceritakan sebagai chef perempuan yang jenius untuk mengobati kekecewaan pembaca dan penonton perempuan. Selain itu, Ayame si anak Pak Tua Teuchi pemilik kedai ramen langganan Naruto juga mestinya tidak sekadar memodernisasi warung ramen. Akan tetapi, Kishimoto harus menceritakan dengan tegas bahwa Ayame lah yang menemukan teknologi produksi mi instan atau cup ramen dalam serial Boruto.
Adanya Sarada sebagai salah satu tokoh utama pun sama sekali kurang dominan. Lihat kembali adegan pembuka manga dan anime Boruto pertama kali. Diperlihatkan hanya terjadi konfrontasi antara Boruto dan Kawaki, dengan latar Konoha yang hancur berhambur babak belur. Di manakah gerangan Sarada? Selain itu, pada manga Boruto arc terakhir yang menceritakan pertarungan Jigen melawan Naruto dan Sasuke juga hanya ada Boruto, Sarada tidak dilibatkan.
Kalau begini terus, cepat atau lambat industri manga dan anime akan kolaps. Selain kompleksitas dan kualitas cerita yang menurun karena terlalu sexist serta cenderung diskriminatif. Tanda-tanda lainnya juga telah muncul sejak lama ketika santer beredar kabar ilustrator dan animator terlalu underpaid. Lantas, keniscayaan anjloknya kualitas gambar dan animasi manga akan jadi nyata. Puncaknya, pembaca manga dan penonton anime akan berpindah pada manhwa buatan Korea yang telah memulai gebrakan pada industri anime lewat serial The God of Highschool dan Tower of God.
BACA JUGA Shokugeki no Soma, Bukan Sekadar Anime Masak-Memasak dan tulisan Adi Sutakwa lainnya.