Sebagai orang yang menganggap diri normal, ada banyak cara untuk menghakimi orang lain yang berbeda dengan kita. Salah satu adalah mereka yang kita anggap sebagai perfeksionis. Namun, kenapa kita harus menghakimi orang-orang ini? Apa salah mereka?
Melihat segala sesuatu dengan kacamata yang sempurna tidaklah mudah. Jika anda pernah mengalaminya—sama, saya juga. Bahkan sampai sekarang saya kadang berpikir, apakah saya adalah termasuk kategori perfeksionis ini—rasa tidak nyaman ketika melihat baris meja atau kursi yang tidak sejajar, letak buku yang tidak searah, penempatan duduk yang berpencar dan hal-hal lain yang tidak beraturan. Jika anda mengalami hal yang sama menanggapi ketidakteraturan macam yang saya sebutkan—Selamat! Anda mungkin termasuk dalam kelompok perfeksionis.
Perfeksionis memang bukanlah sebuah penyakit. Toh tidak—atau mungkin hanya belum—ada penelitian ilmiah atau medis yang menyatakan hal tersebut. Walaupun sebenarnya ada juga hal-hal buruk yang mengintai kepada mereka yang memiliki kecenderungan perfeksionis.
Pada posisi ini justru kita harus bisa memahami para perfeksionis. Menjadikan perfeksionis pada level tertentu sebagai hal biasa. Level selanjutnya dari ini harus bisa lebih diwaspadai namun tidak untuk di musuhi. Karena perfeksionis sendiri berasal dari sebuah adab dan keberaturan yang kita bangun kepada mereka sejak dini.
Memahami para perfeksionis adalah memahami kebiasaan teratur yang telah kita bangun sejak dini. Bangun pagi, mandi, berangkat sekolah, pulang, makan, berkegiatan bebas, mandi sore, makan malam lalu tidur. Kegiatan tersebut selanjutnya menjadi template keseharian yang mengawali level perfeksionisme seseorang. Lalu selanjutnya, kita merasa perlu melakukan sejumlah hal yang membawa pada next level dari perfeksionis itu sendiri. Harus meletakan sesuatu pada tempat tertentu, semisal buku dan pensil. Meletakan buku pada tempatnya jika sudah dibaca atau tidak digunakan, sepatu pada rak sepatu, menjemur handuk pada tempat seharusnya, dan kegiatan lain yang memang arah dan tujuannya ke tingkat selanjutnya dari perfeksionis.
Pada tingkat yang lebih ekstrim, para perfeksionis ini memperlihatkan hal-hal yang kadang di luar nalar orang pada umumnya. Mencatat hal-hal yang akan dan telah dilakukan secara detail, membuat schedule secara berkala, bahkan detail waktu sampai dengan jam menit dan detik masuk dalam perhitungan para orang-orang golongan ini. Tapi, jika kamu pernah menjadi salah satu dalam kepanitiaan entah dalam kegiatan sekolah, kampus, kampung atau kegiatan-kegiatan dalam skala yang lebih besar, sebaiknya serahkan rundown acara kepada para perfeksionis ini. Pasti akan cepat beres!
Kembali kepada apa sebab dari para perfeksionis ini muncul, maka hal paling dasar yang perlu kita lihat sebagai solusi menghadapinya adalah pada tingkat keluarga. Bagaimana mereka berada dalam keluarga, diperlakukan dan berkegiatan sebagai anggota di dalamnya. Karena pada awalnya, saya pikir mereka juga mengalami ketersiksaan yang sangat besar. Ditunjuk sana dan sini. Melakukan ini dan itu. Memperbaiki ini dan itu. Maka pada hakikatnya perfeksionis adalah kecenderungan yang diwariskan secara turun temurun.
Di sisi lain, kita juga harus bisa memahami bagaimana para perfeksionis ini menjalani hari dengan konsep keberaturan. Bagaimana perasaan mereka ketika sesuatu hal tidak bersesuaian dengan pandangan mereka. Bagaimana sakitnya hati bahkan mata mereka hanya karena pintu tidak ditutup. Bagaimana muring-muringnya mereka ketika lampu tidak dimatikan saat pagi. Bagaimana cemberutnya mereka melihat posisi meja dan kursi yang tidak berantakan, kabel-kabel yang ditinggalkan berserakan, meja makan yang tidak dibersihkan setelah makan dan hal-hal berantakan lain yang membuat hati mereka tidak karuan.
Jika kita bisa padankan sakitnya mereka menjalani hari yang serba tidak beraturan seperti halnya kita mengharapkan gebetan kita tetiba datang ke rumah membawa sesuatu yang kita inginkan. Hanya mentok sebagai hal yang kita impikan. Ketika tidak terjadi, sakit hati pada akhirnya. Sakit mereka para perfeksionis ini justru terjadi ketika ketidakberaturan itu sendiri terjadi.
Saya pernah merasakan menjadi seorang perfeksionis—atau bahkan sedang mengalaminya. Bahkan mungkin, semua orang juga pernah pada posisi sebagai seperti golongan ini. Tidak bisa dipungkiri karena keteraturan adalah hakikat kita sebagai manusia. Lahir, bersekolah, bekerja, nikah, beranak pinak, menjadi tua dan mati. Sebuah lingkaran setan yang justru kita amini kebenarannya. Maka sebagai seorang yang pernah mengalami secara langsung, asalkan ada kemauan—kita memiliki cara untuk bisa mengatasinya secara mandiri. Atau jikapun itu terjadi pada orang lain, kita setidaknya berusaha untuk memahami dan memaklumi ketersiksaan mereka.
Pada akhirnya, mari untuk tidak menghakimi para perfeksionis sebagai pesakitan. Mari menyadari keberadaan mereka sebagai sebuah fenomena yang akan hilang pada suatu waktu.