Mari kita mulai dengan melihat-lihat lini masa media sosial, kolom komentar, dan forum-forum daring. Saya pribadi ketika mencoba untuk menilik kembali rekam jejak digital yang ditinggalkan oleh kancah perhelatan dunia maya di Indonesia melalui berbagai isu dan perantara, dengan sangat terpaksa saya menyatakan bahwa saya prihatin.
Untuk sebuah negara yang katanya memiliki banyak orang lucu. Apalagi ditambah dengan fakta lapangan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pengguna media sosial terbanyak dunia, jumlah meme dan shitpost berkualitas tinggi yang bisa saya temukan di lapangan sangatlah sedikit.
Tentu, hal ini bukanlah sebuah urgensi bagi mereka (atau mungkin kalian) yang terbilang awam dalam bidang per-meme-an atau per-shitpost-an. Hanya dengan melihat lini masa Facebook saja, saya sudah bisa melihat bahwa dua perantara humor tersebut terletak pada kasta terbawah dalam dunia humor maya Indonesia.
Sebuah meme yang bagus amat jarang diapresiasi oleh khalayak ramai. Malah meme-meme recehan yang cringe-nya bukan main yang biasa dikeluarkan dari 1cak atau laman Meme Comic Indonesia merupakan konsumsi yang biasa dimakan khalayak.
Dunia shitpost menghadapi problema yang jauh lebih suram. Padahal, secara garis asal-usul, sebuah meme yang bagus biasanya dimulai dari rangkaian shitpost yang mumpuni. Ironisnya, masyarakat kita sebenarnya sama sekali tidak asing dengan kegiatan tersebut.
Kebalikannya, kita begitu dekat dengan kegiatan itu, justru tanpa sadar kita sudah mengambil peran masing-masing di dalamnya. Akan tetapi, di sini saya tidak berbicara tentang kebiasaan, saya berbicara tentang kualitas.
Sebelum kalian berpikir bahwa saya mengada-ada, mari kita kunjungi kembali definisi shitpost. Dikutip dari Wikipedia Indonesia, kegiatan shitpost adalah tindakan mengirim konten ironi, agresif, dan bersifat trollish (red: bodoh) dalam skala besar, tapi usaha yang kecil melalui dunia maya. Dalam arti kata, tindakan seperti spamming atau flaming sudah bisa dikategorikan sebagai shitpost. Nah, kalau sudah sampai di sini, sadar tidak kalian betapa dekatnya masyarakat kita dengan shitpost?
Di setiap harinya, kancah perhelatan dunia maya di negara kita bisa dikatakan dipenuhi dengan caci maki, saling ejek, hingga spam iklan bokep dan judi. Bisa dikatakan hampir seratus persen kehidupan rimba raya internet di Indonesia memang benar-benar shit, baik itu secara harfiah maupun maknawiyah. Namun sialnya, kenyataan inilah yang membuat saya haqqul cemas dengan masa depan dunia shitpost dan meme di Indonesia.
Jadi begini, Kisanak. Walaupun secara definisi shitpost itu memang kegiatan yang nirmakna, tetapi dalam praktiknya sehari-hari, suatu rangkaian shitpost biasanya diintegrasikan dengan sebuah sense of humor yang bersifat satirikal, gelap, bahkan sinis.
Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh sekelompok awanama yang bosan akan suatu isu tertentu yang itu-itu saja. Sehingga akhirnya mereka melakukan derailing dengan tujuan membuat isu yang membosankan menjadi lebih menarik dan sedikit banyaknya menghibur. Secara kasarnya kegiatan ini bisa disebut sebagai suatu “pengalih isu”, tetapi yang jauh lebih baik dibandingkan berita tentang selebriti yang kawin untuk kesembilan kalinya.
Di dunia barat, shitpost dan meme terkadang malah jadi sebuah perangkat praktik unjuk rasa dalam bentuk digital. Bukan sekali dua kali pemilihan umum di Amerika Serikat menjadi lebih riuh dengan serangkaian bombardir meme dari para pengguna forum laknat 4chan.
Saking berpengaruhnya para shitposter dalam kancah perpolitikan, tokoh meme Pepe the Frog kerap menjadi subjek penelitian di bidang kebudayaan internet dan politik praktis. Tokoh tersebut juga sempat digunakan dalam demonstrasi di Hong Kong pada Agustus 2019 silam. Singkat kata, shitpost dan meme di luar sana bukan semata-mata shit, tetapi juga menjadi aplikatif.
Nah dari sini, mungkin muncul paling tidak satu pertanyaan: mengapa Indonesia tidak bisa berbuat begitu?
Jadi begini, Kisanak. Saya melihat paling tidak ada tiga masalah yang membuat gerakan shitpost dan meme kancah perhelatan dunia maya di Indonesia tereduksi hingga menjadi shit saja.
Masalah pertama, keberadaan suatu bentuk mobilisasi massa secara digital dalam bentuk buzzer-buzzer isu. Kedua, absennya platform atau tempat yang bisa dijadikan para shitposter ini nangkring dan beraktivitas dengan sesuka hati mereka. Ketiga, kontrol pemerintah terhadap dunia maya yang kelewat paranoid sehingga tertutupnya forum-forum internasional yang sebenarnya bisa digunakan shitposter bangsa sebagai acuan dan media berkomunikasi dengan shitposter mancanegara.
Masalah pertama adalah yang paling umum. Besarnya jumlah buzzer baik yang terang-terangan maupun yang tidak secara langsung mereduksi kualitas shitpost yang bermunculan di media sosial atau forum-forum maya. Malah, saya berani menyatakan bahwa alasan utama mengapa kita kekurangan shitposter kreatif sebagaimana yang ada di mancanegara. Pasalnya, banyaknya para buzzer yang kerjanya hanya mengirim konten yang benar-benar shit. Di sini saya tidak menunjuk satu jenis buzzer saja: baik itu buzzer politik, fanboy atau fangirl esktremis, ya mereka (atau malah kalian) inilah yang menyebabkan krisis konten lucu di kancah dunia maya kita.
Masalah kedua dan ketiga saling berkesinambungan. Ini karena banyaknya shitposter berkualitas yang sebenarnya bersemayam di forum-forum yang diblokir oleh kemenkominfo yang UwU bukan main itu; sebut saja Reddit, misalnya.
Tentu, gembong besar shitpost dunia 4chan juga diblokir oleh pemerintah tersayang. Tampak sekali bahwa pemerintah pun berupaya untuk menegasikan para shitposter kreatif dalam kancah dunia maya nasional. Mungkin karena bagi mereka shitpost itu tidak sejalan dengan moto Internet SehatTM.
Yah, kira-kira begitulah kecemasan saya tentang dunia shitpost dan meme di negara kita tercinta. Seperti yang saya katakan, shitpost yang buruk akan menghasilkan meme yang buruk. Sementara meme yang buruk akan mengecilkan kesempatan melakukan shitpost yang berkualitas. Ini adalah sebuah siklus. Sayang memang. Padahal, hampir sebagian besar perangkat pemerintah kita adalah gugusan meme berjalan, tetapi kesempatan kita untuk membuat meme yang bagus tentang mereka amatlah tipis.
Akan tetapi, saya tetap memiliki harapan bahwa segalanya akan baik-baik saja. Meskipun dengan segala halangan dan keterbatasan yang ada, Indonesia tetap memiliki kumpulan tersendiri yang kreatif dan lucu dalam mengirim suatu konten ke dunia maya. Tentu, mereka berasal dari kaum muda.
Apalagi dengan keberadaan situs-situs seperti Mojok, yang kalau mengutip kata-kata Arman Dhani di artikel Mojok dan Para Monyet, “Ketika media-media abal-abal yang berlabel agama menyerukan penyesatan dan pengkafiran, Mojok dengan santai membahas makanan. Ketika media lain sibuk bicara politik, Mojok bisa dengan lihai memberikan penulisnya kesempatan untuk curhat.”
Tentu, ini sama sekali bukan usaha menjilat Mojok supaya artikel ini dimuat.
BACA JUGA Mengutip Media Sosial Tanpa Izin Itu Hukumnya Makruh dan tulisan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini