Teringat sebuah iklan Tri keren zaman dahulu, yang mengatakan, “Jadi orang dewasa itu menyenangkan, tapi sulit dijalani.” Ada yang ingat? Buat orang-orang yang sudah memasuki dunia orang dewasa, iklan ini akan terasa sangat relate nan menohok. Bagian “menyenangkan” masih bisa diperdebatkan karena jalan hidup orang itu berbeda-beda. Bahkan ada yang tetap bisa menjaga perasaan senang meski kondisi hidup sulit, salut. Nah untuk bagian “sulit dijalani”, ini valid no debat. Ini adalah fakta. Setidaknya buat saya, seorang milenial yang sudah terjun dalam dunia dewasa, ini semua fakta.
Menjadi generasi milenial yang akhirnya merasakan gerbang dunia dewasa saat ini tentu punya ceritanya sendiri. Sering kali saya mendengar cerita paitnya dunia professional kerjaan yang ternyata nggak profesional-profesional amat rasanya sudah menjadi pengalaman kolektif. Atau sistem hidup kita yang sudah ditetapkan oleh banyak hal, entah sistem kerja, sistem norma masyarakat, atau sistem kebijakan dari pemerintah, yang bisa jadi bikin kita geleng-geleng karena bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan pada kita saat sekolah.
Belum lagi soal ekspektasi pada generasi milenial yang nggak kira-kira, nggak ngeliat realita kondisi dan sistem di masyarakat yang ada bagaimana. Untungnya, saya punya escapisme dari dunia semrawut ini yang biasa bikin pening overthinking tak berujung di malam hari, yaitu berupa menikmati tontonan dan bacaan shonen agar tetap terjaga kewarasan.
Buat yang belum tahu, shonen adalah salah satu label demografi manga atau anime yang biasa ditujukan untuk remaja laki-laki. Tentu saya tak mencoba untuk mengotak-kotakan. Siapa pun boleh membaca shonen, dan remaja laki-laki pun bebas-bebas saja kalau menikmati selain shonen.
Kenapa shonen? Tentu yang saya ambil adalah stereotype umum yang ada pada manga atau anime yang dilabeli shonen. Beberapa contoh judul shonen adalah misalnya One Piece, Haikyuu!, GTO, dan lain-lain. Konten-konten semacam ini bagi saya merupakan escapisme terbaik yang ditawarkan bagi mereka yang lelah sama dunia untuk kabur sejenak.
Salah satu andalan tema yang ada pada shonen adalah soal pertemanan. Biasanya tema pertemanan paling menyenangkan terdapat pada genre aksi-petualangan macam One Piece, dan genre-genre slice of life atau drama sekolahan seperti Sket Dance atau Great Teacher Onizuka.
Tentu dalam ruang lingkup orang dewasa, makna teman semakin sempit dan skeptis untuk dimaknai. Namun, berkat shonen, saya setidaknya mengingat kembali makna teman, atau dibuat terdorong untuk menjadi sosok teman (atau minimal jadi manusia) yang baik. Meski memang belum tentu bisa tertular di dunia nyata, namanya juga escapisme, minimal menjaga kewarasanmu akan hubungan sesama manusia.
Dalam One Piece misalnya, tentu kita akan iri pada Robin yang mempunyai teman macam Luffy yang rela melawan dan membakar bendera pemerintahan dunia demi menyelamatkan nyawanya. Bahkan bisa jadi muncul keinginan untuk menjadi sosok setia kawan Luffy, lebih mulia. Yah, meskipun agak sulit melihat itu di dunia nyata. Kan susah melihat ya melihat orang membela teman sekantor kalau ada masalah, belum dengan risiko kita ikut kena getah dapat SP, bahkan dipecat.
Tentulah kita akan sangat jarang menemukan sosok seperti Luffy yang rela melawan dunia demi temannya di ruang lingkup kerjaan atau ruang lingkup orang dewasa umumnya,. Paham kok itu cuma dramatisasi, tapi dramatisasi yang worth it untuk dikonsumsi. Setidaknya, perasaan saat terkagum-kagum dengan Luffy akan membekas dan menjagamu tetap waras.
Genre-genre lain seperti drama atau slice of life dalam shonen pun pantas untuk dicoba. Ia memperlihatkan hangatnya hubungan manusia. Misalnya seperti Sket Dance yang memperlihatkan kehidupan sekolah yang akan membuatmu terharu dengan usaha tiga murid yang berusaha menolong murid-murid lain.
Atau Great Teacher Onizuka, seorang guru yang merupakan mantan geng motor yang ngajarin murid-murid yang lebih pintar darinya tentang makna kehidupan dan pertemanan bahkan sampai melawan sistem pendidikan yang mengekang berlebihan. Bahkan ada anime berjudul ReLife, seorang pengangguran karena berontak dengan sistem dunia kerja mendapatkan kesempatan untuk melalui kehidupan SMA sekali lagi dan mencicipi lagi naifnya masa muda yang menyenangkan.
Tentunya, masih ada banyak elemen lain yang bisa dinikmati dari shonen. Seperti nilai-nilai soal keberanian, pantang menyerah, dll. Seperti misalnya dalam genre olahraga yang berfokus pada mindset pikiran dalam memaknai kemenangan, kekalahan, kerja sama, dll. Dan mindset macam itu bisa diterapkan dalam dunia nyata dalam menghadapi masalah.
Menikmati cerita-cerita macam ini, melihat bagaimana suatu karakter menolong sekuat hati temannya yang kesusahan, berjuang menggapai ambisi konyolnya sampai mati-matian. Atau melihat karakter mengkritik sistem yang ada, mungkin tidak sampai kamu lakukan di dunia nyata. Namanya juga escapism. Namun, tontonan ini selain membuatmu merasa terwakili atau merasa tak sendiri, hal berharga lainnya adalah mampu memberi sedikit kehangatan pada hati, menjaga agar hati tidak dingin, menjaga tetap waras.
BACA JUGA 5 Manga yang Saya Harap Bisa Terbit di Indonesia dan tulisan Muhammad Sabilurrosyad lainnya.