Bagi saya pribadi, penguasa jalanan itu ada dua. Pertama, adalah ibu-ibu pengendara motor dengan lampu seinnya yang sering berlawanan. Kedua, adalah sopir bus antarprovinsi yang kelewat kurang ajar kalau nglakson dan nyerebot jalan.
Khusus untuk ibu-ibu, saya tidak berani berargumen. Pasalnya, toh, ibu saya sendiri adalah golongan yang kadang melakukan hal yang serupa. Namun untuk sopir bus, saya merasa perlu menuliskan hal ini. Beberapa kali saya mengalami keapesan karena kelakuan sopir bus malam yang ugal-ugalan. Akan tetapi, meski begitu, saya malah berpikir bahwa keugalan-ugalan dan semprolnya para sopir bus di jalan raya itu memiliki manfaat tersendiri.
Baru-baru ini, dalam perjalanan saya menuju Kediri dari Semarang, saya mengalami kejadian cukup apes yang diakibatkan oleh sopir bus malam yang ugal-ugalan. Dalam perjalanan tersebut, saya bersama dengan motor tercinta hampir saja terjun bebas di sebuah persawahan. Lucunya, ada beberapa pengendara motor di belakang saya yang juga mengalami kejadian serupa. Hal ini disebabkan ada bus yang menyerobot jalur yang berlawanan, yang saya lewati.
Bus tersebut memaksa mengambil jalur berlawanan untuk menyalip truk yang ada di depannya. Melihat hal itu, demi menyelamatkan diri, tentu saja cara realistis yang dilakukan adalah merelakan jalan tersebut dan memaksa menceburkan diri ke pinggir jalan yang bersebelahan dengan perasawahan. Dari pada memaksa maju, tapi malah ketemunya malaikat maut? Kan, lebih baik mengalah? Meski akhirnya saya harus bersusah payah mengerem motor agar tidak terjun bebas di dalam kubangan sawah.
Sesaat setelah kejadian tersebut, terdengar suara di belakang saya berkata,“Oooh, w*asyyuu tenan, rak nduee uteeek!” Suara tersebut berasal dari seorang bapak-bapak yang tentu saja tidak terima diperlakukan seperti itu.
Kejadiaan tersebut memang menjengkelkan. Maju sedikit saja maka saya dan beberapa orang di belakang saya bermaskeran lumpur karena sopir bus yang ugal-ugalan tersebut. Selain itu, tanpa meminta maaf, bus tersebut dengan seenaknya meluncur begitu saja tanpa ada rasa bersalah. Sungguh, uwuw syekali!
Tetapi, kemangkelan hati saya sedikit bisa teratasi. Saya teringat pada buku Filosofi Teras yang ditulis oleh Henry Manampiring tentang filosofi stoa. Dalam buku tersebut dijelaskan mengenai dikotomi kendali. Di mana banyak hal yang ada dalam hidup ini berada pada luar kendali diri sendiri, termasuk sopir bus yang ugal-ugalan. Maka respons wajar yang bisa saya berikan adalah tetap tenang, toh wajah saya masih aman-aman saja, terhindar dari ancaman lumpur sawah.
Bahkan, saya malah mendapatkan hikmah terselubung dari sopir bus yang ugal-ugalan tersebut. Bukankah setiap kejadian buruk atau musibah selalu terselip manfaat yang membersamai? Ada beberapa manfaat yang saya dapatkan dari kejadian semprol itu.
Pertama, saya mendapatkan manfaat berupa pelajaran penting tentang makna kerelaan. Tentu saja dengan kelakukan sopir bus yang seenak udele menyerobot jalan, membuat kita belajar merelakan. Ya, merelakan jalan kita diserobot.
Dalam hidup ini, sering kali kita bertemu dengan orang yang suka menyerobot dan mengambil hak orang lain. Sering kita temui sebuah kisah tentang kekasih yang sudah dijaga selama ini malah ditikung dan dilamar teman sendiri. Kejadian-kejadian semacam ini tentu saja membuat kita harus merelakan hal tersebut. Nah, dengan menghadapi bus yang ugal-ugalan, kita telah memulai untuk mempelajari prinsip sederhana dari konsep kerelaan.
Kedua, kita belajar untuk terus berpikir. Menghadapi sopir bus yang ugal-ugalan membuat otak kita yang setiap harinya menikmati indahnya rebahan, dituntut untuk bekerja keras dengan mencari solusi jitu menghindari mereka di jalan. Pada konteks yang saya hadapi, kejadian ini membuat saya mikir gimana caranya agar tidak jatuh ke kubangan sawah yang penuh dengan lumpur.
Hal ini juga berlaku dalam kehidupan kita. Dengan kesulitan yang sering kali datang dengan tiba-tiba, otak kita dituntut untuk berpikir mencari solusi ketimbang fokus pada masalah. Tentu dengan sering menghadapi sopir bus yang ugal–ugalan, kita bisa menjadi pribadi yang punya pikiran yang futuristik (weleeeeh).
Ketiga, membuat kita harus belajar berpikir negatif. Loh, kok negatif? Yah, mudahnya begini. Dalam buku Filosofi Teras, dijelaskan bahwa hal-hal yang ada di luar kendali kita harus kita pikirkan kemungkinan terburuknya. Sehingga ketika kemungkinan buruk itu benar-benar terjadi, hati dan otak kita menjadi siap dan tidak misuh-misuh!
Pelajaran terakhir ini memang agak rumit dan susah. Masak yah kita disuruh negative thinking muluk? Tapi ketahuilah bahwa negative thinking akibat persepsi buruk pada diri sendiri atau pada sesuatu yang bisa kita kendalikan, itu memang buruk. Namun, negative thinking pada sesuatu yang tidak bisa kendalikan adalah hal yang baik.
Misalnya pada kasus saya yang menghadapi sopir bus yang ugal-ugalan. Sisi sembrono dan ugal-ugalan dari sopir bus adalah hal yang tidak bisa saya kendalikan. Dengan berpikir bahwa di jalanan nanti saya akan menemui sopir-sopir bus yang se-spesies, membuat saya lebih berhati-hati dan lebih fokus dalam berkendara.
Dalam hidup sering juga kita alami peristiwa, musibah yang sesungguhnya tidak pernah kita harapkan. Banyak hal di luar kendali kita yang ujungnya masih menjadi misteri. Dengan sering berhadapan dengan mereka, membuat kita siap menjadi pribadi yang lebih antisipatif, dan tidak mengendepankan misuh-misuh yang tak berfaedah.
BACA JUGA Review Bus Bumel Jogja-Solo Sebagai Solusi Jika Kehabisan Tiket Prameks atau tulisan Muhamad Iqbal Haqiqi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.