Malioboro Jogja Bau Pesing Bikin Pengunjung Pusing, Kudanya Dikasih Popok Biar Nggak Bikin Kapok

Malioboro Jogja Bau Pesing, Kuda Andong Bakal Pakai Popok (Unsplash)

Malioboro Jogja Bau Pesing, Kuda Andong Bakal Pakai Popok (Unsplash)

Libur Lebaran kemarin, saya memutuskan untuk rekreasi ke Malioboro Jogja. Biar ikut-ikutan healing seperti orang-orang di Instagram yang caption-nya pakai font estetik dan warna pastel. 

Tapi, begitu kaki ini menginjak pedestrian, hidung saya langsung protes keras. Alih-alih mencium aroma sate klathak atau parfum Jasmine, yang menyapa justru bau pesing yang cukup tajam.

Awalnya saya kira ini ulah oknum manusia yang nggak sabar cari toilet. Tapi ternyata saya salah. Ini bukan kencingnya wisatawan, bukan pula kencing anak kecil yang sembunyi di balik pot bunga. Ini, dengan segala hormat dan takzim, adalah hasil karya seni dari kuda andong

Popok kuda, solusi Wali Kota Jogja

Untungnya, pemerintah kota nggak tinggal diam. Wali Kota Jogja, dengan penuh kebijaksanaan dan mungkin sedikit putus asa, mengusulkan solusi visioner. Jadi, kuda-kuda andong bakal dipakein popok. 

Ya, popok. Kalau bayi bisa, kenapa kuda nggak? Katanya sih demi kenyamanan wisatawan dan menjaga citra Malioboro Jogja tetap wangi. Meskipun harus mengorbankan harga diri si kuda. 

Tapi, siapa tahu, dengan popok itu, para kuda jadi lebih fashionable. Kan lumayan, bisa sekalian jadi konten TikTok: OOTD si jaran, edisi anti-pesing.

Ketika tradisi bertabrakan dengan aroma pesing yang bikin pusing

Di satu sisi, andong adalah warisan budaya. Di sisi lain, pesing yang bikin pusing adalah kenyataan. Mungkin beginilah bentuk konflik modern antara romantisme masa lalu dan realitas masa kini. 

Si kuda nggak salah. Dia cuma menjalani takdirnya sebagai hewan berkantung kemih aktif yang kebetulan bekerja di jalan wisata paling ramai se-Jogja. 

Tapi, ketika jumlah andong membeludak pas musim liburan, dan tempat penampung kotoran tak sebanding dengan volume produksi harian si kuda, maka jadilah Malioboro Jogja seperti toilet umum tanpa atap: bau, panas, dan ramai.

Yang bikin geli (dan sedikit sedih) adalah saat pemerintah mulai menghitung rasio kuda jantan dan betina untuk mencari solusi bau pesing. Alasannya masuk akal sih. Kuda jantan suka kencing sembarangan dan mancur ke depan, sedangkan kuda betina cenderung lebih kalem. 

Tapi, tetap saja, ada absurditas tersendiri saat urusan wisata Malioboro Jogja dibahas sampai ke arah semprotan pipis hewan berkaki empat. Ini bukan cuma soal tata kota, tapi juga soal tata kuda. Dan sepertinya, Jogja benar-benar butuh ahli baru: konsultan kebijakan sanitasi spesialis equestrian.

Tentu, kita nggak bisa menyalahkan si kuda. Yang lebih perlu ditertibkan adalah manajemen tata ruang, jumlah andong dadakan yang muncul pas musim liburan, dan sistem kebersihan yang selama ini terlalu mengandalkan semprotan parfum darurat. 

Kalau Malioboro Jogja mau tetap jadi tujuan healing, ya healing-nya jangan cuma buat mental, tapi juga buat hidung. Sebab percuma foto-foto di depan plakat “I Love Jogja” kalau ekspresi kita lebih mirip orang lagi nahan napas.

Kuda boleh pakai popok, tapi Jangan menutupi masalah yang lebih besar di Malioboro Jogja

Ide popok untuk kuda memang terdengar inovatif. Atau setidaknya cukup absurd untuk viral di media sosial. Tapi, solusi lucu-lucu gemas ini hanya akan jadi tambal sulam kalau akar masalahnya nggak dibenahi. 

Kita bicara soal pengelolaan wisata Malioboro Jogja yang kayaknya belum siap menampung ledakan pengunjung. Sistem transportasi saja masih tarik urat sama warisan budaya, dan fasilitas umum yang kalah cepat dari laju urin si kuda.

Jogja itu spesial. Bukan cuma karena punya Malioboro, tapi juga karena orang-orang (seperti saya) datang ke sini bukan cuma untuk selfie. Kami juga mencari suasana yang tenang, nyaman, dan wangi kalau bisa. 

Maka dari itu, menjaga Malioboro Jogja bukan cuma soal ngasih popok ke kuda, tapi juga soal ngasih perhatian lebih ke tata kelola yang lebih manusiawi.

Karena kalau bau pesing saja bikin pengunjung pusing, bisa jadi yang dibutuhkan Malioboro Jogja bukan cuma popok, tapi juga perombakan besar-besaran. Mulai dari cara memandang wisata, cara memuliakan tradisi, sampai cara menata trotoar supaya nggak kayak lintasan estafet antara becak, pejalan kaki, dan kotoran kuda.

Biar Malioboro Jogja bau pesing yang bikin pusing, tapi tetap bisa healing

Mungkin ini risiko berlibur di negeri penuh sejarah. Ada yang abadi dari masa lalu, tapi belum tentu semuanya nyaman untuk masa kini. 

Kita datang ke Jogja bukan hanya untuk melihat keraton, beli batik, atau makan gudeg. Kita datang juga untuk “merasa pulang”, meski kadang yang menyambut bukan aroma nostalgia, tapi pesing yang menginterupsi rencana healing.

Tapi ya sudah lah, siapa tahu bau pesing Malioboro Jogja ini semacam ujian kecil sebelum kita benar-benar sembuh dari penat hidup. Lagian, kalau yang dicari cuma tempat bebas bau dan steril dari kekacauan, ya mending staycation di laboratorium mikrobiologi. 

Jogja tetap Jogja, dengan segala keindahan dan ke-pesing-annya. Dan kita, sebagai wisatawan, cuma perlu sedikit lebih legowo dan mungkin sedikit lebih siap bawa tisu basah serta semprotan aroma terapi.

Karena di tengah hiruk-pikuk becak, andong, dan manusia yang saling rebutan spot selfie, Malioboro Jogja tetap punya ruang untuk bikin hati adem. Meskipun hidung sempat tersiksa, siapa tahu hati justru sembuh. Healing itu kan soal rasa. Dan kalau bisa dapat rasa sekaligus bau, bukankah itu namanya full experience?

Jadi, kalau tahun depan kamu ke Malioboro Jogja dan melihat kuda andong pakai popok motif polkadot, jangan kaget. Itu bukan fashion statement, tapi bentuk cinta kota ini pada pariwisata yang ramah penciuman. Dan siapa tahu, kalau sukses, bisa jadi pionir urban horse diaper movement se-Asia Tenggara. Sebuah langkah kecil untuk kuda, tapi loncatan besar untuk kenyamanan publik. 

Penulis: Raihan Muhammad

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Tangis dan Kematian di Malioboro Jogja yang Tak Banyak Diketahui Wisatawan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version