Jogja sebaiknya mulai legowo menyerahkan gelar kota pelajar ke Malang. Surabaya jelas bukan kandidat terbaik, Jember apalagi. Ini ngapain dah kota medioker nongol
Jogja tak bisa dimungkiri lagi tak cocok lagi disebut kota pelajar, jelas dan sudah pasti. Tapi, apakah posisi Jogja sebagai kota pelajar bisa digeser oleh Surabaya? Tentu saya ragu. Untungnya Mas Reza sudah berhasil membuktikan kegagalan Surabaya melalui liputannya di Mojok.
Dua hari kemudian, muncul tulisan tandingan dari Mas Adhitya di sini yang berargumen bahwa Jember adalah daerah yang paling cocok disematkan sebagai kota pelajar. Tapi, setelah membacanya, saya tetap nggak sepakat. Sebab, menurut saya kota pelajar itu harus diukur dari aktivitas intelektualnya, nggak semata-mata fasilitas fisiknya aja.
Oleh karena itu, dari berbagai pertarungan argumen perihal daerah mana yang pantas menyandang sebagai kota pelajar, menurut saya nggak ada kota yang lebih ideal daripada Malang!
Daftar Isi
Malang telah dijuluki sebagai kota pelajar sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda
Ternyata, sejak era kolonial, daerah dengan institusi pendidikan yang berkualitas nggak hanya di Jogja, tapi juga di beberapa daerah lain, salah satunya Malang.
Faktor utamanya adalah jumlah universitas yang banyak pada zaman itu. Apalagi di era sekarang. Per 2024, ada 62 universitas yang terdiri 5 PTN dan 57 PTS. Oleh karena itu, selain sebagai kota wisata maupun apel, Malang juga sering dijuluki sebagai kota pelajar.
Semua lingkungan dipenuhi oleh mahasiswa
Malang itu kota kecil, ukurannya hanya 111,1 km, tiga kali lebih kecil daripada Surabaya. Tapi, kondisi itu justru jadi anugerah buat kota ini. Sebab, dengan luas daerah yang nggak begitu besar, tapi jumlah universitasnya melimpah, menjadikan kota ini dipenuhi oleh mahasiswa. Sehingga, keakraban dan pertemuan antarmahasiswa lintas perguruan tinggi lebih mudah terjadi dan dikembangkan.
Kondisi ini sangat kontras dengan Surabaya. Meski jumlah universitas di Kota Pahlawan jauh lebih banyak, tapi antarperguruan tinggi punya jarak tempuh yang cukup jauh. Sehingga, menjadi fenomena yang cukup mustahil antarmahasiswa untuk berdiskusi, apalagi bisa jadi akrab.
Aktivisme mahasiswa lebih hidup
Saya sangat sepakat dengan tulisan Mas Reza yang bilang bahwa banyak mahasiswa Surabaya yang tabu dengan buku dan anti pada forum diskusi. Oleh karena itu, sebagai mahasiswa Surabaya, saya beberapa kali ke Malang hanya untuk menghadiri diskusi. Sebab, forum-forum diskusi di kota ini lebih hidup.
Nggak hanya itu, kegiatan aktivisme mahasiswa juga lebih terasa di Malang daripada Surabaya. Salah satunya, kalian bisa membaca tulisan Mas Raffi di sini. Dari tulisan itu aja, saya rasa sudah sedikit terlihat kalo mahasiswa di Kota Apel lebih peduli pada isu-isu pelanggaran kemanusiaan yang memang seharusnya disuarakan. Kalo di Surabaya, boro-boro bergerak, peduli aja nggak!
Toko buku dan penerbit banyak
Perihal buku, Surabaya jelas kalah telak! Selain warganya nggak suka baca, pilihan toko buku di sini terhitung sedikit. Sehingga, saya sering mengalami kesusahan untuk mencari buku yang saya incar, utamanya buku-buku sosial.
Perkara ini, Malang selalu menjadi dan punya solusinya. Sebab, toko buku indie di kota ini terhitung lebih subur daripada di Surabaya. Begitu pun dengan penerbit bukunya. Selain itu, tradisi membaca di sini juga lebih nyaman, nggak akan dipelototi begitu lama atau dijuluki sok pintar. Intinya, kultur baik literasinya berbeda jauh dengan Surabaya.
Toleransi mahasiswa di Malang lebih tinggi
Berdasar pengalaman saya yang sering bermain ke UB, universitas di sana jauh lebih beragam daripada di Surabaya. Banyak mahasiswa luar pulau yang menjadikan malang sebagai daerah rujukan untuk kuliah. Oleh karena itu, menurut saya, mahasiswanya lebih toleran daripada di Surabaya.
Contoh gampangnya bahasa. Di sana mayoritas interaksi mahasiswa menggunakan bahasa Indonesia agar satu sama lain saling mengerti. Sedangkan, mahasiswa Surabaya sendiri selalu menggunakan bahasa jawa untuk interaksi sehari-hari. Sehingga, mahasiswa dari luar pulau seringkali dipaksa untuk memahami dan mengikuti budaya yang ada.
Tentu saja perkara bahasa, sebenarnya debatable. Jika berkaca pada Jogja yang jelas-jelas jadi jujugan, semua akan belajar bahasa Jawa pada waktunya. Tapi ini juga ada faktor lain yang “memaksa” orang-orang pada akhirnya belajar bahasa Jawa. Bisa dibahas di lain waktu.
Secara biaya hidup dan keamanan, juga menang
Kalo tolok ukur yang dipakai untuk menjadikan kota Surabaya dan Jember sebagai kota Pelajar adalah biaya hidup dan keamanan, Malang jelas lebih menang. Nggak lebih murah daripada Jember memang, tapi juga nggak semahal di Surabaya. Berdasar pengalaman, saya pernah diajak teman UB untuk makan nasi dengan ayam kecap serta sayur sop hanya membayar 7 ribu rupiah. Enaknya, gratis es teh pula. Bayangkan, murah kan?
Intinya, daerah ini masih murah dan terjangkau bagi mahasiswa dengan sangu pas-pasan.
Dari segi keamanan pun juga menang. Sejauh ini saya belum mendengar keluh kesah teman-teman saya yang khawatir ada kejahatan-kejahatan seperti klitih maupun gangster.
Oleh karena itu, Saya rasa nggak ada daerah yang lebih pantas dipanggil sebagai kota pelajar, selain Malang. Surabaya jelas nggak ada apa-apanya dan saya harap warga Jogja lebih legowo mulai sekarang. Kan udah punya gelar Kota Istimewa, mosok kurang?
Oh, nanya KTP? Nih di dompet.
Penulis: Naimatul Chariro
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.