Terhitung dari hari minggu saya berada di Jogja untuk keperluan dinas kerja. Rasanya dilema setiap kali diminta untuk dinas ke tempat yang sudah menjadi rahasia umum mudah sekali dirindukan seperti Jogja. Di satu sisi saya selalu ingin kembali merasakan suasana Jogja, di sisi lain pun akan merasa rindu juga kepada keluarga di beda provinsi. Namun, mau tidak mau tentu saya harus tetap melaksanakan tugas kantor.
Saya berangkat pada minggu siang dari Jakarta dan tiba di Jogja sekira pukul 15.10, lalu beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke penginapan yang sudah dipesan satu minggu sebelumnya. Pukul 16.00, akhirnya saya tiba di penginapan yang terbilang cukup nyaman untuk dihuni. Rasanya akan lebih tepat jika pergi ke tempat ini untuk berlibur dibanding perjalanan dinas.
Saya langsung menuju kamar untuk mengecek fasilitas yang ada, dan dilanjutkan dengan rebahan sambil menunggu jam makan malam. Setelah maghrib, saya mencari makan di sekitar penginapan. Akhirnya, pilihan saya jatuh kepada kedai kecil yang menjual ifumi. Rasanya kok ya enak membayangkan memakan ifumi yang hangat pada malam hari saat cuaca di Jogja sedang dingin.
Saat makanan diantar, seorang Bapak penjaga kedai (sebut saja Pak Witoyo—nama samaran) membuka obrolan dengan bertanya saya bekerja di mana dan asalnya dari mana. Sebab, beliau baru saja melihat saya dan nampak asing, tidak seperti pembeli lainnya yang memang sudah langganan. Sambil makan, kami bercerita singkat tentang keseharian atau kebiasaan di sekitar.
Entah bagaimana asal-muasalnya, obrolan malah berlanjut ke cerita mistis yang pernah dialami selama 20 tahun menjaga kedai. Pak Witoyo bercerita dari awal kedai dibuka selama 24 jam, karena memang tempat tinggalnya masih di satu tempat yang sama. Jadi, jika sedang mengantuk khususnya di malam hari, bisa sambil istirahat dan tidur. Istri dan anak pun senantiasa menjaga kedai secara bergantian.
Diceritakan oleh Pak Witoyo, pernah suatu ketika di sekitar pukul 23.00 ada seorang pria yang baru saja pulang bekerja mengendarai motor dan memesan nasi goreng. Pria tersebut sudah memberi uang lebih dulu dan diminta untuk menunggu selagi nasi goreng dimasak. Namun, saat Pak Witoyo menoleh ke meja pelanggan, pembeli tersebut tidak nampak sama sekali. Uang yang sebelumnya diberi dan disimpan dalam laci pun raib.
Itu hanya salah satu cerita mistis yang Pak Witoyo ceritakan. Hari sudah semakin larut, saya bergegas kembali ke penginapan. Dalam perjalanan saya teringat suatu wejangan jika bercerita dan memikirkan hal mistis, sama saja dengan mengundang makhluk tak kasat mata ke sekitar kita. Saya mulai merasa was-was meski sudah tiba di kamar. Tv dinyalakan agar suasana terasa ramai.
Tidak lama saya rebahan, pintu kamar ada yang mengetuk tiga kali, “tok, tok, tok”. Awalnya saya tidak curiga, karena ada kemungkinan penjaga penginapan ingin memastikan fasilitas aman dan tercukupi. Namun, setelah saya buka pintu, nyatanya tidak ada orang satu pun di lorong. Pikir saya, mungkin sudah lewat karena terlalu lama tidak ada respon.
Tak lama, ada ketukan berikutnya, “tok, tok, tok”, kini saya langsung bergegas, namun untuk memastikan, saya cek terlebih dulu melalui kaca kecil pada pintu (yang dapat melihat suasana di luar namun tidak bisa melihat suasana di dalam kamar dari luar). Tidak ada siapa-siapa di sana, sampai akhirnya ada sosok wanita berjubah putih berambut panjang melewati pintu. Bukannya jalan, tapi melayang. Spontan saya langsung lari kembali ke kasur dan menutup diri dengan selimut.
Dalam ketakutan dan jantung yang berdegub cukup kencang. Saya terbangun dari mimpi. Ternyata, saya ketiduran dan waktu sudah menunjukan pukul 20.10, saatnya bergegas makan malam sebelum semakin larut. Tanpa diduga, saya menemukan kedai makan yang sama persis seperti di mimpi sebelumnya. Saya akhirnya memesan mie goreng, karena tidak ingin mengalami cerita mistis yang sama persis seperti mimpi.
Tapi, ada yang berbeda. Yang melayani bukan Pak Witoyo, melainkan seorang perempuan dewasa. Setelah saya coba tanya dan sedikit berbincang, dia salah satu anak dari pemilik kedai tersebut. Bapak pemilik kedai sudah tiada lima tahun lalu karena sakit, dan dia adalah Pak Witoyo.
BACA JUGA Pengalaman Numpang Tidur di Kuburan atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.