Ada sedikit bahan obrolan menarik bahwasannya tontonan TV menentukan letak kehidupan kelas sosial kita. Contoh sederhana adalah acara dangdut, baik itu ajang pencarian bakat penyanyi dangdut, atau sekadar nyanyi-nyanyi live dan disiarkan secara nasional. Katanya, mereka yang menonton tersebut berada di kasta menengah ke bawah.
Sedang acara pencarian bakat populer seperti Indonesian Idol atau The Voice adalah kasta sosial sebaliknya. Ya, sesat pikir dan justifikasi sembrono itu memang sudah melekat kuat dalam budaya populer televisi. Sebagaimana dulu acara Planet Remaja dan MTv yang memetakan generasi Y ke dalam beberapa wadah. Atau generalisasi baby boomer ketika diberikan pilihan The Beatles atau The Rolling Stones.
Namun, seiring berjalannya waktu, budaya pop televisi kian menemukan bentuk aslinya ketika hegemoni sinetron rasanya tidak bisa dipatahkan dalam jajaran teratas perihal rating dan share. Sinetron RCTI dan SCTV berlomba menuju puncak, pun hadir lagi FTV azab yang selalu mengintai keduanya. Sisanya tayangan berderai air mata yang ngemis rating dari para penikmatnya.
Awalnya cukup serampangan ketika mengatakan tayangan televisi bisa mengeruk ceruk-ceruk kelas sosial tertentu. Namun, seiring berjalannya waktu, acara yang mengutamakan kuantitas ketimbang kualitas ini jelas menargetkan mangsa pasar dalam kelas sosial tertentu. Yang paling akrab, sinetron kejar tayang jelas mengincar mereka yang berada dalam taraf menengah kebawah.
Sinetron-sinetron dengan judul yang menggunakan font Cataneo BT ini sebenarnya sudah memenuhi gizi konsumsi hiburan beberapa pihak. Dengan menampilkan cerita yang tidak ada ujungnya, tokoh utama yang selalu menawan atau selalu tersiksa, terkadang sudah memenuhi hiburan bagi mereka yang baru pulang kerja.
Sedangkan tayangan seperti talkshow atau tayangan berita, jarang beberapa pihak memutuskan setelah pulang kerja dalam kondisi lelah, malah melihat tontonan yang bikin kepala kembali bekerja. Sinetron, gosip, dan lawak-lawak yang mengandalkan blak-blakannya mulut dalam berucap menjadi sajian yang dinanti. Mereka lebih memilih “masak aer…” yang mudah diterima tanpa harus berpikir lebih jauh.
Ya, seperti samsara yang selalu berputar memang, televisi merupakan sebuah industri. Ketika kelas sosial tertentu memutuskan untuk meninggalkannya, maka mangsa pasar terbesar adalah kelas sosial yang masih bertahan. Lantas, mana sudi generasi Z kembali ke layar kaca lantaran jagad maya sudah memenuhi kebutuhan hiburan mereka.
Kemudian hadirlah Malam-Malam Net yang menurut pandangan saya pribadi, sangat memenuhi asupan bagi mereka yang kehilangan acara The Comment. Pada awal komposisinya, acara ini diisi oleh Surya Insomnia, Dita Fakhrana, dan Zarry Hendrik sempat diprediksi bakal “bungkus” dengan cepat seperti Comedy Night Live, Bisa Ae, dan Emak Net. Namun, nyatanya hingga kini mereka sanggup bertahan.
Belakangan ada pergantian posisi ketika Tora Sudiro masuk menutup celah Zarry Hendrik. Zarry, pencetus Kapitulis, saya rasa memang kurang bisa mengimbangi karakter Surya yang disetel sebagai “anak tongkrongan” dan Dita sebagai “anak manja”. Dan ke mana larinya Zarry Hendrik dalam acara ini?
Masuknya Tora Sudiro membuat acara ini kian bergairah walau beberapa kekurangan seperti lawakan yang terkadang miss acap kali terjadi antara mereka. Jika Zarry hanya memanfatkan kata-kata indah yang sebenarnya nggak indah-indah amat, Tora masuk sebagai “patahan komedi” kala Surya dan Dita sedang “buntu”.
Ada indikasi bahwa acara ini memiliki daya tarik bagi generasi Z untuk kembali duduk dengan manis di depan layar kaca. Apa pun kelas sosialnya, semua bisa masuk dan merasakan related dengan candaan yang mereka bertiga lepaskan. Jaman kejayaan MTv pun sangat dirasa di sini. Sebagaimana Tonight Show & MTv Bujang dan Malam-Malam Net & Insomnia.
Formula yang awalnya anak tongkrongan, anak manja, dan satunya nggak jelas pun kini berubah. Surya memegang kendali dengan representasi kelas ekonomi rendah. Candaannya seperti gayung bentuk love, kos-kosan bercat hijau sampai ember dari kaleng cat pun related dengan apa yang terjadi pada kelas tersebut. Secara berurutan, Tora sebagai golongan menengah dan Dita golongan kaya menjadi tabung bagi penggemarnya yang berasal dari beragam kelas sosial.
Hal berikutnya perihal pemilihan bintang tamu. Siapa sangka bahwa pedangdut seperti Nazar, Jenita Janet, dan Chacha Sherly bisa ngeblend dengan gaya lawak mereka. Stigma dangdut adalah komsumsi kelas bawah di sini disambut secara menyenangkan dan cocok dengan guyonan mereka bertiga. Seakan, stigma dangdut nggak cocok buat gen Z meluruh dan malah stigma itu diumpat “Persetan!” sekencang-kencangnya.
Para penonton yang kebanyakan generasi Z, di kolom komentar kanal YouTube Malam-Malam Net, sepakat: “Dangdut? Emang kenapa?” Puncaknya adalah episode Nazar. Di acara lain, dirinya selalu dieksploitasi kisah cintanya. Sementara dalam acara ini saya melihat sisi “manusia” seorang Nazar. Sama seperti di Tonight Show, Nazar memperlihatkan kapasitasnya sebagai penghibur yang utuh.
Pun Jenita Janet dan Chacha Sherly, tidak melulu dilibatkan dalam candaan model “masak aer…” yang menyerang fisik. Di sini mereka terlihat menikmati.
Bintang tamu lain pun memberikan ruang bagi idola baru generasi Z seperti Tiara Idol dan Ziva Idol. Uniknya, Tora Sudiro dan Surya yang tidak bisa disebut generasi Z seakan bisa paham bagaimana cara “memperlakukan” bintang tamu yang umurnya jauh di bawah mereka.
Berhubung ini adalah acara malam di atas jam 22, yang membuat saya kurang sreg adalah terkadang acara ini menghadirkan bintang tamu dengan maksud eksploitasi keseksiannya. Padahal, formula tepat yang dilakukan kepada pedangdut bisa diterapkan pada bintang tamu tersebut. Namun, sudah jarang Malam-Malam Net memakai formula tersebut lantaran mereka sudah mendapatkan pakem-pakem untuk menarik penontonnya tanpa berpangku tangan pada keseksian bintang tamunya.
Hadirnya selai kacang Krabby Patty, Master Dustin “Zero Logic” Tiffany, sebagai kameo mendatangkan kesemringahan tersendiri. Sebagaimana kita tahu, Dustin lah yang mengajak beberapa generasi Z dengan “keunikan”-nya guna mampir dan melihat acara ini. Dustin menyedot masa dari kanal Youtube, terkhusus penikmat kanal MLI, untuk melihat Dustin di acara Malam-Malam di Net TV.
Progres acara ini terlihat dari jumlah subscriber kanal YouTube yang bertambah pesat dan dipercayanya mereka mengisi program malam Net. TV di bulan Ramadhan. Namun, dalam pandangan saya, meningkatnya jumlah subscriber kanal YouTUbe tidak menjamin rating dan share mereka bagus. Ada indikasi bahwa mereka lebih menunggu episode terbaru di YouTube ketimbang menyalakan televisi. Mengambil keuntungan melalui YouTube? Saya rasa tidak mudah untuk menutup biaya produksi.
Ya, pada intinya patut disyukuri bahwa televisi masih ada tayangan yang waras sebagai produk konsumsi hiburan. Kala para artis terjun ke YouTube dan tak ubahnya membuat platform ini layaknya televisi streaming, berharap kepada siapa lagi bagi kita yang ingin acara sehat bagi jasmani dan rohani?
Terkadang, kemajuan itu berputar balik. Sesuatu yang dianggap mati, bisa saja kembali menjadi berarti lantaran muncul satu “melati” yang mengeluarkan harum mewangi dalam tajuk Malam-Malam Net TV.
Ya, saya paham alinea di atas sungguh berlebihan, namun itu adalah perasaan senang saya lantaran kala trending YouTube diisi konglomerat televisi, bukankah ini saatnya untuk kita kembali mengunjungi televisi? Sudah saatnya untuk kembali, duduk manis sembari memakan camilan, menunggu jam tayang program kesayangan.
BACA JUGA Perspektif Mantan Produser Acara TV pas Nonton Acara yang Nampilin Kehidupan Orang Miskin dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.